A. Pendahuluan
Perjanjian
(TRIPs) Trade- Related Aspect of Intellectual Property Rights adalah salah
satu perjanjian dalam WTO (Word Trade Organization) yang dihasilkan pada Putaran
Urugay Round. Setiap Negara angota WTO wajib untuk meratifikasi perjanjian TRIPs
serta mengimplementasikannya melalui hukum nasional pada masing-masing negara.[1] Konsekuensi dari
meratifikasi persetujuan TRIPs wajib menyesuaikan semua peraturan perundang-undangan
di bidang hak kekayaan intelektual dengan peraturan yang terdapat dalam TRIPs. Pelaksanaan
TRIPs adalah kewajiban bagi seluruh anggota WTO yang berjumlah 153 negara atas hak
atas kemudahan akses pada perdagangan internasional oleh WTO. Adanya persetujuan
TRIPs mengubah berbagai sistem paten di banyak negara karena adanya pengaturan standar
pada berlakunya ketentuan kekayaan intelektual. Pada bidang paten pengaturan
standar bagi anggota WTO mengacu pada pasal di Article 1 sampai 12, serta
Article 19 Paris Covention (1967). Adanya ketentuan TRIPs mendorong terjadinya perjanjian
antara WIPO serta WTO pada tahun 1995, yang secara umum berisi aturan aksesibilitas
hukum dan regulasi serta database di WIPO oleh negara-negara anggota WTO.[2]
Perjanjian
TRIPs menganut prinsip non diskriminasi yang diwujudkan melalui pemberian status
most- favoured nation dan national treatment yang sama pada seluruh negara
anggota dan adanya transparansi. Perjanjian TRIPs mengatur pemberian perlindungan
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada beberapa sector yakni Indikasi Geografis, Merek
Dagang, Hak Cipta, Desain Industri, Sir kuit Terpadu, Paten, serta Lisensi Anti
Competitif. Tentang paten, menurut Endang Purwaningsih terdapat landasan pembenaran
pemberian perlindungan paten yakni sebagai berikut:
1. Insentif bagi kegiatan research
and development yang dapat memacu perkembangan teknologi agar inovasinya
agar lebih cepat (Incentive to create invention).
2. Penghargaan
(Rewarding) terhadap penemu atas manfaat dari penemuannya bagi
pengembangan teknologi dan industry dunia. Penghargaan ditujukan kepada penemu yang
telah bersusah dengan waktu serta biaya, sehingga dapat menghasilkan suatu penemuan
maka penemuan tersebut perlu dihargai.
3. Paten sebagai sumber informasi, dimana
dengan adanya disclosure clause, penemuan yang telah diumumkan dapat digunakan
oleh pihak lain untuk membuat sebuah perbaikan maupun penyempurnaan dan seterusnya
sehingga terjadi improvement on the improvement.[3]
Hak
kebendaan yang yang sempurna bagi pemilik dinamakan ”hak kepemilikan” atau yang
biasa disebut di berbagai undang-undang dinamakan ”property right”. Kekayaan (property)
diartikan sebagai :
that
is perculiar or proper to any person that which belongs exclusively to one; In
the strict legal sense, an aggregate of rights which are guaranted or protected
by goverment; the word is also commonly used to denote everything which is the subject
of ownership, corporeal or incorporeal, tangible or intangible visible or
invisible real or personal everything that has an exchangeable value or which
goes to make up wealth or estate[4]
Sedangkan
hak eksklusif merupakan sebuah hak yang hanya diperuntukkan bagi pemiliknya
sehingga tidak ada pihak lain yang diperbolehkan untuk memanfaatkan hak
tersebut tanpa izin dari pemegangnya. Atas dasar pemahaman hak eksklusif ini paten
memberikan “hak monopoli” (patents are much “legal monopolies” as any other
property rights) pada pemegang paten dalam kurun waktu tertentu. Jika yang
bersangkutan tidak melaksanakan lisensi paten dalam kurun waktu tertentu, maka patennya
dapat dicabut sehingga pihak lain atau masyarakat dapat menikmati hasil dari
penemuan itu tanpa harus mendapatkan ijin dari penemu.
Perlindungan
paten dari jenis obat-obatan pada bidang farmasi menjadi salah satu faktor
terbatasnya akses masyarakat umum terhadap obat-obatan esensial. Hal ini
merupakan topik yang menarik untuk dikaji, terutama di negara-negara berkembang,
salah satunya adalah Brazil. Sebelum serta setelah perjanjian TRIPs (Trade Related
Aspects of Intellectual Property Rights) hal ini secara terang-terangan
menjadi bahan perbincangan yang hangat mengenai keterkaitan antara paten obat serta
akses masyarakat umum terhadap obat-obatan.[5] Topik mengenai
perlindungan paten obat masih menjadi kontroversi antara negara maju dan negara
berkembang dalam akses masyarakat umum. Pelaksanaan TRIPs pada dasarnya
dianggap hanya menguntungkan negara-negara maju. Karena itu, hal ini
mendapatkan banyak kritikan-kritikan. Salah satunya mengenai pengaruh TRIPs
terhadap paten bidang obat-obatan atau farmasi. Perlindungan paten selama 20 tahun
terhadap obat-obatan membuat harga obat menjadi sangat tidak kompetitif. Contohnya
adalah harga obat Flucanazole untuk penderita HIV/AIDS.[6]
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Implementasi Lisensi Wajib TRIPs Agreement dalam Produk Pharmacy di Brazil?
C. Pembahasan
dan Hasil Diskusi
Tomy
Suryo menyatakan sejak negosiasi antar negara di putaran Uruguay, banyak negara
dan pihak-pihak tertentu yang mengkhawatirkan dampak negatif dari perlindungan paten
obat terutama di negara-negara berkembang. Maka, sebagian besar negara-negara berkembang
bernegosiasi supaya perjanjian TRIPs memberikan pasal-pasal yang bisa
mengurangi dampak negatif dari paten obat. Ketika perjanjian TRIPs diluncurkan,
seluruh negara sepakat agar dapat menyisipkan pasal-pasal pelindung (The TRIPs Safeguards)
dalam perjanjian TRIPs yang terdiri dari impor parallel, bolar provision,
lisensi wajib dan penggunaan paten oleh pemerintah. Perjanjian TRIPs terdiri
dari 12 pasal yang berkaitan erat dengan perlindungan paten obat serta 3 pasal mengenai
kebijakan untuk menangani dampak paten obat atau yang lebih dikenal sebagai pasal
pelindung TRIPs (the TRIPs Safeguards). Salah satu pasal penting hasil dari
negosiasi-negosiasi tersebut yakni adanya pasal 8 dalam perjanjian TRIPs. Pasal
tersebut memberikan mandat kepada anggota WTO agar melakukan tindakan-tindakan yang
perlu dilakukan untuk melindungi kesehatan masyarakat. Dalam pasal perjanjian
TRIPs dinyatakan[7]:
1. Members may, in formulating or amending
their laws and regulations, adopt measures necessary to protect public health
and nutrition, and to promote the public interest in sectors of vital
importance to their socio - economic and technological development, provided that
such measures are consistent with the provisions of this Agreement.
2. Appropriate measures, provided that they
are consistent with the provisions of this agreement, may be needed to prevent the
abuse of intellectual property rights by right holders or the resort to practices
which unreasonably restrain trade or adversely affect the international
transfer of technology.
Sekalipun
pasal ini memungkinkan kepada negara-negara anggota WTO melakukan tindakan-tindakan
yang diperlukan untuk melindungi kesehatan masyarakat namun sayangnya perjanjian
TRIPs tidak menetapkan standar internasional dan persyaratan hukum yang seragam
bagi anggota WTO. Hal ini sangatlah fatal, karena akibatnya menurut Tomy Suryo Utomo
adalah bagaimana melaksanakan pasal-pasal pelindung tersebut termasuk bagaimana
menterjemahkan dan mengimplementasikan pasal-pasal tersebut dengan pandangan
yang berbeda-beda diantara negara anggota WTO khusunya antara negara maju dan
negara berkembang.[8]
Eksploitasi atas hak eksklusif
melalui hak kekayaan intelektual yang berlebihan dapat menimbulkan
ketidakadilan sosial (social unjust). Terlepas dari ketentuan-ketentuan
sesungguhnya yang tentunya ditujukan untuk melindungi kepentingan privat.
Namun, TRIPs juga harus menjaga ruang untuk memberikan perlindungan terhadap
kepentingan umum. Namun sayangnya, makna dan kriteria kepentingan umum tersebut
tidak diatur lebih lanjut dalam TRIPs, namun diserahkan kepada masing-masing negara
anggota WTO. Dengan adanya hal tersebut, dapat terjadi multi-interpretasi
terhadap makna sesungguhnya dari kepentingan umum. Untuk menghindari
multi-interpretasi makna kepentingan umum yang sangat sulit untuk didefinisikan
secara tepat tersebut, maka yang harus dilakukan adalah menemukan kriteria-kriteria
dari kepentingan umum. Dengan demikian maka akan mempermudah pembentukan
aturan. Dengan kriteria kepentingan umum yang tepat maka kepentingan umum dalam
perlindungan paten tidak akan menjadikan negara tertentu bertindak
sewenang-wenang terhadap pemegang paten dan sebaliknya kepentingan pihak-pihak
lainnya tetap terlindungi. Maka, upaya untuk menemukan kriteria kepentingan
umum dalam perundangundangan di bidang paten, baik yang berlaku secara
internasional maupun nasional, perlu dilakukan.[9]
Seiring dengan semakin banyak
penduduk miskin yang ada di negara-negara dunia yang terjangkit penyakit
menular serta berbahaya seperti HIV/AIDS, TBC serta penyakit infeksi lainnya,
pemanfaatan yang dilakukan terhadap pasal-pasal pelindung di berbagai negara
berkembang dan terbelakang juga terlihat semakin meningkat dan sangat
dibutuhkan. Brazil, Afrika Selatan dan India yang merupakan contoh negara-negara
yang sangat peduli terhadap arti penting pasal-pasal pelindung serta telah
menerapkan ketentuan itu untuk mengatasi masalah domestik di bidang kesehatan
masyarakat umum.[10]
Akan
tetapi, perselisihan hukum yang terjadi antara negara maju dan berkembang
menunjukkan bahwa pasal-pasal pelindung TRIPs adalah pasal-pasal yang lemah dan
tidak berarti karena penafsiran dan pengartian pasal tersebut lebih sering
menggunakan perspektif serta kepentingan dari negara maju selaku produsen HKI.
Semenjak akses terhadap obat esensial yang murah telah menjadi sebuah masalah
serius di berbagai negara, lembaga swadaya masyarakat dan negara-negara
berkembang mendesak Dewan WTO (the WTO council) untuk memasukan topik
kesehatan masyarakat umum dalam agenda pertemuan tingkat menteri WTO (the
WTO Ministerial Meeting) di Seattle pada tahun 1999. Akan tetapi, saat itu
tidak banyak pihak yang menaruh perhatian kepada masalah serius tersebut hingga
diadakannya pertemuan tingkat menteri keempat yang diselenggarakan di Doha pada
tahun 2001 (Mercurio, 2004).[11]
Melalui
pertemuan yang dilaksanakan di Doha, Qatar pada tanggal 9 sampai 14 November
2001, pertamakalinya anggota WTO mengadopsi sebuah resolusi yang mempertegas
keterkaitan antara TRIPS dan kesehatan masyarakat yang disebut dengan Deklarasi
Doha (the Doha Declaration). Deklarasi Doha berisi tujuh paragraph yang menyediakan
sebuah interpretasi terhadap Pasal 7 dan 8 Perjanjian TRIPS. Paragraf 1-3
merupakan pembukaan dari deklarasi, Pasal 4-7 merupakan pasal pelaksana
(bersifat operatif)
Paragraph
1: “We recognize the gravity of the public health problems afflicting many
developing and least-developed countries, especially those resulting from
HIV/AIDS, tuberculosis, malaria and other epidemics.”
Paragraf
ini merujuk keprihatinan terhadap meluasnya penyakit menular di berbagai negara
berkembang dan terbelakang. Paragraf ini juga menekankan pada berbagai jenis
penyakit terlantar yang perlu ditangani dengan segera. Meskipun Perjanjian
TRIPS telah memasukkan permasalahan kesehatan masyarakat di dalam beberapa
pasal terkait, keberadaan pasal-pasal tersebut sangat tergantung dari penafsiran
para anggota WTO. Dalam praktek, perbedaan penafsiran terhadap ketentuan
tersebut cenderung melahirkan konflik antar sesama anggota (negaranegara
berkembang dan maju) khususnya berkaitan dengan pelaksanaan lisensi wajib.
Sayangnya,
selama proses perundingan deklarasi Doha, pemerintah AS mencoba untuk membatasi jenis-jenis
penyakit yang akan disebutkan di dalam paragraf deklarasi hanya terhadap
HIV/AIDS saja dan mengecualikan beberapa peryakit tertentu, seperti Malaria dan
TBC. Motivasi dibalik usaha tersebut adalah untuk melindungi kepentingan
perusahaan farmasi di negaranegara maju yang banyak diuntungkan oleh produksi
obat-obatan di bidang penyakit Malaria dan TBC. Namun, deklarasi akhirnya menyebut-kan
beberapa jenis penyakit yang tidak hanya merujuk kepada satu jenis penyakit
seperti yang dikehendaki pemerintah AS
tetapi juga menyebutkan beberapa jenis penyakit tambahan di dalam paragraf 1.[12]
Pada
tahun 1996, untuk pertama kalinya pemerintah Brazil melakukan program uji coba terapi
obat Anti Retroviral (ARV) atau yang disebut juga dengan Highly Active
Antiretroviral Therapy (HAART), sebagai salah satu upaya untuk memberikan
perawatan serta pengobatan yang lebih maksimal terhadap ODHA (Orang dengan
HIV/AIDS). HAART sendiri merupakan sebuah terapi yang dilakukan dengan mengkombinasikan
tiga jenis obat ARV yang berbeda menjadi satu obat ARV generik. Tiga obat ARV yang
dipakai dalam terapi tersebut yakni yang pertama adalah Lamivudine yang hak patennya
dipegang oleh GlaxoSmithKline, lalu Saquinavir yang hak patennya dipegang oleh
Roche, serta Ritonavir yang hak patennya dipegang oleh Abbott Laboratories.
Karena program HAART memiliki manfaat dan juga menjadi pengobatan yang ampuh
dan signifikan bagi para ODHA, berbagai kalangan kelompok masyarakat sipil pun menekan
pemerintah Brazil untuk dapat menjadikan terapi pengobatan tersebut menjadi
program nasional. Akhirnya, Pada tanggal 14 Mei 1996 pemerintah Brazil pun mulai
meratifikasi serta mengimplementasikan salah satu aturan dalam Trade Related
Aspects of Intellectual PropertyRights Agreement (TRIPS) ke dalam undang-undang
nasional negara Brazil dengan disahkannya Undang-Undang Paten No. 9279 tahun
1996.[13]
Menururut
perjanjian internasional pertimbangan kepentingan umum dalam perlindungan paten
telah diatur dalam Perjanjian TRIPs dan juga konvensi Paris (Paris Convention).
Dalam TRIPs kepentingan umum tercermin dalam Article 7 yang menentukan:
The
protection and enforcement of intellectual property rights should contribute to
the promotionof technological innovation and to the transfer and dissemination
of technology, to the mutual advantageof producers and users of technological
knowledge and in a manner conducive to social and economicwelfare, and to a
balance of rights and obligations.
Article
7 ini dapat ditafsirkan dengan adanya kepentingan umum melalui penekanan bahwa
perlindungan serta penegakan HKI harus memberikan kontribusi terhadap alih
teknologi serta penyebaran teknologi dengan cara memperhatikan kepentingan yang
seimbang antara penghasil dari pengetahuan teknologi dan pengguna teknologi
tersebut, dan dengan cara yang mendukung kesejahteraan sosial dan ekonomi dan
menyeimbangkan hak dan kewajiban.
Selain
itu, berdasarkan Article 8 TRIPs negara anggota WTO dapat mengambil Langkah
yang segera dan penting untuk mengatasi masalah yang timbul dari sector
masyarakat[14]
termasuk dalam menyusun maupun mengubah undang-undang dan peraturannya, untuk
mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi kesehatan dan gizi
masyarakat publik, serta untuk mengedepankan kepentingan umum dalam
sektor-sektor yang sangat penting bagi perkembangan sosial ekonomi dan
teknologinya. Juga dimungkinkan negara-negara anggota WTO untuk mengambil
langkah-langkah yang patut untuk mencegah penyalahgunaan HKI oleh pemegang hak
atau praktik-praktik yang yang dapat memengaruhi alih teknologi secara internasional.
Namun semuanya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam Perjanjian TRIPs. Terlepas bahwa semuanya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan
TRIPs lainnya, akan tetapi ketentuan ini merupakan pengakuan yang tegas terhadap
hak-hak tiap negara anggota WTO untuk melindungi kepentingan umum dalam pengaturan
HKI secara nasional.[15] Pada tanggal 14 Mei 1996,
pemerintahan Brazil mengajukan legislasi nasional mengenai hukum kekayaan intelektual
yang memungkinkan penggunaan lisensi wajib (SICE, 2013). Hal tersebut sesuai
dengan yang tercantum pada pasal 31 TRIPS, yang berbunyi:
“Where
the law of a Member allows for other use (7) of the subject matter of a patent
without the authorization of the right holder, including use by the government or
third parties authorized by the government, the following provisions shall be
respected: … This requirement may be waived by a Member in the case of a national
emergency or other circumstances of extreme urgency or in cases of public non-commercial
use. In situations of national emergency or other circumstances of extreme
urgency, the right holder shall, nevertheless, be notified as soon as reasonably
practicable. In the case of public noncommercial use, where the government or contractor,
without making a patent search, knows or has demonstrable grounds to know that
a valid patent is or will be used by or for the government, the right holder shall
be informed promptly;”
Berdasarkan
pasal 31 diatas, suatu negara dapat menerapkan kebijakan compulsory licensing
atau lisensi wajib, dimana negara tersebut dapat memproduksi barang yang telah
dipatenkan tanpa harus mendapatkan persetujuan dari pihak pemegang paten. Banyak
negara berkembang yang ragu untuk mengambil kebijakan lisensi wajib karena dianggap
dapat merusak hubungan perdagangan dengan pihak pemegang paten maupun negara asal
pihak pemegang paten (AVERT, 2011). Namun pemerintah Brasil tetap ingin
menerapkan lisensi wajib tersebut karena kasus HIV-AIDS telah menjadi kondisi darurat
kesehatan masyarakat dan dianggap sebagai ancaman human security negaranya, disamping
itu pemerintah Brasil juga ingin menghemat anggaran kesehatannya, dimana harga obat
ARV semakin meningkat akibat adanya penerapan paten TRIPs.
Implikasi kebijakan
trips di Brazil adalah wajib lisensi produk farmasi di Brazil untuk melindungi hak
atas kesehatan. Berdasarkan konstitusi Brazil tahun 1988 memberikan hak kesehatan
kepada seluruh warga negara dan mengamanatkan pembentukan sistem pelayanan
kesehatan nasional. Jadi, ketika ada kasus epidemi HIV/AIDS di Brazil yang
dapat dianggap sebagai nasional darurat, pemerintah Brasil mengeluarkan lisensi
wajib untuk obat untuk mengamankan pasien, karena harga obat HIV/AIDS mahal. Namun, itu harus diingat
bahwa Brazil adalah anggota TRIPs Agreement; akibatnya, Brasil harus
mematuhi Perjanjian TRIPs dalam melaksanakan kewajiban
lisensi. Berdasarkan Pasal 31 (b) TRIPs Agreement, Brazil secara konsisten
mengambil posisi dalam mendukung kesehatan masyarakat dalam mencoba untuk
bernegosiasiikat keseimbangan antara HKI farmasi dan akses ke obat-obatan.[16] pemerintah
Brasil memunculkan pasal 68 dalam Undang-Undang Paten No. 9279 tahun 1996 yang
berbunyi:
(1) The following also occasion a compulsory
license:
I) nonexploitation of the object of the patent
within the Brazilian territory for failure to manufacture or incomplete
manufacture of the product, or also failure to make full use of the patented process,
except cases where this is not economically feasible, when importation shall be
permitted; or
II) commercialization that does not
satisfy the needs of the market.
(2) A license may be requested only by a person
having a legitimate interest and having technical and economic capacity to
effectively exploit the object of the patent, that shall be destined
predominantly for the domestic market, in which case the exception contained in
Item I of the previous Paragraph shall be extinguished.
(3) In the case that a compulsory license
is granted on the grounds of abuse of economic power, the licensee who proposes
local manufacture shall be assured a period, limited to the provisions of
Article 74, to import the object of the license, provided that it was introduced
onto the market directly by the titleholder or with his consent.
(4) In the case of importation to exploit
a patent and in the case of importation as provided for in the preceding Paragraph,
third parties shall also be allowed to import a product manufactured according
to a process or product patent, provided that it has been introduced onto the
market by the titleholder or with his consent.
(5) The compulsory license that is the
subject of Paragraph 1 shall only be required when 3 (three) years have elapsed
since the patent was granted.
Implementasi
dari undang-undang tersebut pada akhirnya diwujudkan dalam lisensi wajib “local
working” untuk memproduksi obat ARV generik. Berdasarkan kebijakan yang
telah disepakati tersebut, setiap perusahaan farmasi asing diberikan waktu 3 tahun
sejak memperoleh hak paten untuk memperkenalkan invensi mereka dan membangun berbagai
fasilitas dengan tujuan alih teknologi. Jika ada perusahaan farmasi asing yang gagal
dalam persyaratan tersebut, pemerintah Brasil dapat mengijinkan sebuah perusahaan
farmasi lokal untuk memproduksi obat dalam bentuk generik tanpa persetujuan
dari pemegang paten.[17]
Puncaknya
terjadi pada tahun 1997, pemerintah Brasil akhirnya menerapkan kebijakan
lisensi wajib untuk memproduksi tiga obat ARV yang digunakan dalam program HAART
karena ketiga produsen obat ARV tersebut gagal memenuhi persyaratan “local
working”. Pada tahun 1998, pemerintah Brasil juga menerapkan kebijakan lisensi wajibnya
untuk memproduksi obat AZT versi generik melalui perusahaan farmasi lokalnya.
Dengan menerapkan kebijakan tersebut, ternyata pemerintah Brasil mampu menghemat
anggaran kesehatan mereka untuk mengimpor obat ARV sebanyak 83 persen. Program HAART
dan kebijakan lisensi wajib yang dilakukan oleh pemerintah Brasil sangat
berhasil, terbukti sejak dimulainya program HAART pada tahun 1996 hingga tahun 2000,
angka kematian ODHA di Brasil terus menurun. Selain itu, program HAART juga
mampu menurunkan jumlah ODHA yang menjalani rawat inap sebanyak 358.000 kasus, sehingga
turut menghemat anggaran kesehatan Brasil sebesar US$ 1 milyar. Bahkan atas keberhasilannya
tersebut, pemerintah Brasil mendapatkan penghargaan “Human Rights and Culture
of Peace” dari UNESCO.[18]
D. Kesimpulan
Brazil
merupakan salah satu negara berkembang yang mengalami masalah kesehatan seperti
HIV/AIDS. Sebagai negara berkembang, Brazil memiliki dana yang terbatas untuk
menanggulangi kesehatan public masyarakat Brazil. Sedangkan dana yang
dibutuhkan bagi negara Brazil untuk menanggulangi epidemi (yang salah satunya
adalah HIV/AIDS) tidaklah sedikit. Maka dengan adanya lisensi wajib, dapat
menjadi pangsa pasar yang potensial bagi Brazil untuk membuat obat generic dan
menghemat penggunaan dana untuk penggunaan obat HIV/AIDS. Dengan adanya perjanjian
TRIPs, terutama Deklarasi Doha, negara-negara berkembang seperti Brazil dapat
menanggulangi masalah kesehatan masyarakat publik. Meskipun tidak semua negara
benar-benar menerima keputusan dari Deklarasi Doha. Dimana negara-negara maju
seperti Amerika Serikat merasa dirugikan dengan adanya kebijakan lisensi wajib
bagi paten obat-obatan.
[1] Achmad Amri Ichsan, Analisis Yuridis Terhadap Lisensi
Wajib dan Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah Berdasarkan Pejanjian TRIPs, Jurnal
Ilmu Hukum Legal Opinion, Vol. 2, No. 1, 2014, hlm. 2
[2] Samariadi, Pelaksanaan Compulsory Licencing Paten
Obat-obatan Bidang Farmasi di Indonesia Dikaitkan dengan Doha Declaration On
The TRIPs Agreement and Public Health, Jurnal De Lega Lata, Vol. 1, No.
2, 2016, hlm. 449
[3] Achmad Amri Ichsan, Analisis Yuridis Terhadap Lisensi
Wajib dan Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah Berdasarkan Pejanjian TRIPs, Jurnal
Ilmu Hukum Legal Opinion, Vol. 2, No. 1, 2014, hlm. 2
[4] Tony Hanoraga, Niken Prasetyawati, Lisensi Wajib Paten
Sebagai Salah Satu Wujud Pembatasan Hak Eksklusif Paten, Jurnal Sosial
Humaniora, Vol. 8, No. 2, 2015, hlm. 160
[5] Ibid, hlm.
161
[6] Samariadi, Pelaksanaan Compulsory Licencing Paten
Obat-obatan Bidang Farmasi di Indonesia Dikaitkan dengan Doha Declaration On
The TRIPs Agreement and Public Health, Jurnal De Lega Lata, Vol. 1, No.
2, 2016, hlm. 450
[7] Achmad Amri Ichsan, Analisis Yuridis Terhadap Lisensi
Wajib dan Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah Berdasarkan Pejanjian TRIPs, Jurnal
Ilmu Hukum Legal Opinion, Vol. 2, No. 1, 2014, hlm. 4
[8] Achmad Amri Ichsan, Analisis Yuridis Terhadap Lisensi
Wajib dan Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah Berdasarkan Pejanjian TRIPs, Jurnal
Ilmu Hukum Legal Opinion, Vol. 2, No. 1, 2014, hlm. 4
[9] Winner
Sitorus, Kepentingan Umum dalam Perlindungan Paten, Jurnal Yuridika,
Vol. 29, No. 1, 2014, hlm. 41
[10] Tomi Suryo Utomo, Implikasi Pasal-Pasal Pelindung (The
TRIPs Safeguard) dalam UU Paten Indonesia: Kritik, Evaluasi dan Saran Dari
Prespektif Akses Terhadap Obat Murah dan Terjangkau, Jurnal Hukum,
Vol.14, No. 2, 2007, hlm. 272
[11] Tomi Suryo Utomo, Deklarasi Doha dalam Prespektif
Akses Obat Murah dan Terjangkau: Sebuah Pelengkap Perjanjian TRIPs, Jurnal
UNISIA, Vol. 30, No. 64, 2007, hlm 123
[12] Tomi Suryo Utomo, Deklarasi Doha dalam Prespektif
Akses Obat Murah dan Terjangkau: Sebuah Pelengkap Perjanjian TRIPs, Jurnal
UNISIA, Vol. 30, No. 64, 2007. Hlm. 123
[13] Mandra Farandy Janitra, Strategi Brasil Menghadapi
TRIPs dan Tuntutan Amerika Serikat dalam MMenangani Kasis HIV dan AIDS, Jurnal
Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1, 2014 hlm. 398
[14] Tomi Suryo Utomo, Eksistensi ‘The TRIPs Safeguards’ Di
Dalam Perjanjian TRIPs: Dalam Perspektif Kesehatan Masyarakat, Jurnal Mimbar
Hukum, Vol. 20, No. 2, 2008, hlm. 193
[15] Winner
Sitorus, Kepentingan Umum dalam Perlindungan Paten, Jurnal Yuridika,
Vol. 29, No. 1, 2014, hlm. 43
[16] Sri Wartini, The Legal Implication Of
Compulsory Licence Pharmaceutical Product in The TRIPs Agreement To The
Protection Of The Right To Health In Developing Countries, Jurnal Dinamika
Hukum, Vol. 18, No. 1, 2018, hlm. 2
[17] Mandra Farandy Janitra, Strategi Brasil Menghadapi
TRIPs dan Tuntutan Amerika Serikat dalam Menangani Kasus HIV dan AIDS, Jurnal
Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1, 2014 hlm. 340
[18] Ibid