Monday, December 27, 2021

Implementasi Lisensi Wajib TRIPs Agreement dalam Produk Pharmacy di Brazil

 

picture: https://www.exyip.com/2021/06/24/how-the-trips-agreement-impacts-global-intellectual-property-policies/

A.    Pendahuluan

Perjanjian (TRIPs) Trade- Related Aspect of Intellectual Property Rights adalah salah satu perjanjian dalam WTO (Word Trade Organization) yang dihasilkan pada Putaran Urugay Round. Setiap Negara angota WTO wajib untuk meratifikasi perjanjian TRIPs serta mengimplementasikannya melalui hukum nasional pada masing-masing negara.[1] Konsekuensi dari meratifikasi persetujuan TRIPs wajib menyesuaikan semua peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual dengan peraturan yang terdapat dalam TRIPs. Pelaksanaan TRIPs adalah kewajiban bagi seluruh anggota WTO yang berjumlah 153 negara atas hak atas kemudahan akses pada perdagangan internasional oleh WTO. Adanya persetujuan TRIPs mengubah berbagai sistem paten di banyak negara karena adanya pengaturan standar pada berlakunya ketentuan kekayaan intelektual. Pada bidang paten pengaturan standar bagi anggota WTO mengacu pada pasal di Article 1 sampai 12, serta Article 19 Paris Covention (1967). Adanya ketentuan TRIPs mendorong terjadinya perjanjian antara WIPO serta WTO pada tahun 1995, yang secara umum berisi aturan aksesibilitas hukum dan regulasi serta database di WIPO oleh negara-negara anggota WTO.[2]

Perjanjian TRIPs menganut prinsip non diskriminasi yang diwujudkan melalui pemberian status most- favoured nation dan national treatment yang sama pada seluruh negara anggota dan adanya transparansi. Perjanjian TRIPs mengatur pemberian perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada beberapa sector yakni Indikasi Geografis, Merek Dagang, Hak Cipta, Desain Industri, Sir kuit Terpadu, Paten, serta Lisensi Anti Competitif. Tentang paten, menurut Endang Purwaningsih terdapat landasan pembenaran pemberian perlindungan paten yakni sebagai berikut:

1. Insentif bagi kegiatan research and development yang dapat memacu perkembangan teknologi agar inovasinya agar lebih cepat (Incentive to create invention).

2.  Penghargaan (Rewarding) terhadap penemu atas manfaat dari penemuannya bagi pengembangan teknologi dan industry dunia. Penghargaan ditujukan kepada penemu yang telah bersusah dengan waktu serta biaya, sehingga dapat menghasilkan suatu penemuan maka penemuan tersebut perlu dihargai.

3. Paten sebagai sumber informasi, dimana dengan adanya disclosure clause, penemuan yang telah diumumkan dapat digunakan oleh pihak lain untuk membuat sebuah perbaikan maupun penyempurnaan dan seterusnya sehingga terjadi improvement on the improvement.[3]

Hak kebendaan yang yang sempurna bagi pemilik dinamakan ”hak kepemilikan” atau yang biasa disebut di berbagai undang-undang dinamakan ”property right”. Kekayaan (property) diartikan sebagai :

that is perculiar or proper to any person that which belongs exclusively to one; In the strict legal sense, an aggregate of rights which are guaranted or protected by goverment; the word is also commonly used to denote everything which is the subject of ownership, corporeal or incorporeal, tangible or intangible visible or invisible real or personal everything that has an exchangeable value or which goes to make up wealth or estate[4]

Sedangkan hak eksklusif merupakan sebuah hak yang hanya diperuntukkan bagi pemiliknya sehingga tidak ada pihak lain yang diperbolehkan untuk memanfaatkan hak tersebut tanpa izin dari pemegangnya. Atas dasar pemahaman hak eksklusif ini paten memberikan “hak monopoli” (patents are much “legal monopolies” as any other property rights) pada pemegang paten dalam kurun waktu tertentu. Jika yang bersangkutan tidak melaksanakan lisensi paten dalam kurun waktu tertentu, maka patennya dapat dicabut sehingga pihak lain atau masyarakat dapat menikmati hasil dari penemuan itu tanpa harus mendapatkan ijin dari penemu.

Perlindungan paten dari jenis obat-obatan pada bidang farmasi menjadi salah satu faktor terbatasnya akses masyarakat umum terhadap obat-obatan esensial. Hal ini merupakan topik yang menarik untuk dikaji, terutama di negara-negara berkembang, salah satunya adalah Brazil. Sebelum serta setelah perjanjian TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) hal ini secara terang-terangan menjadi bahan perbincangan yang hangat mengenai keterkaitan antara paten obat serta akses masyarakat umum terhadap obat-obatan.[5] Topik mengenai perlindungan paten obat masih menjadi kontroversi antara negara maju dan negara berkembang dalam akses masyarakat umum. Pelaksanaan TRIPs pada dasarnya dianggap hanya menguntungkan negara-negara maju. Karena itu, hal ini mendapatkan banyak kritikan-kritikan. Salah satunya mengenai pengaruh TRIPs terhadap paten bidang obat-obatan atau farmasi. Perlindungan paten selama 20 tahun terhadap obat-obatan membuat harga obat menjadi sangat tidak kompetitif. Contohnya adalah harga obat Flucanazole untuk penderita HIV/AIDS.[6]

 

 

 

 

 

 

 

B.    Rumusan Masalah

1.     Bagaimana Implementasi Lisensi Wajib TRIPs Agreement dalam Produk Pharmacy di Brazil?

 

C.    Pembahasan dan Hasil Diskusi

Tomy Suryo menyatakan sejak negosiasi antar negara di putaran Uruguay, banyak negara dan pihak-pihak tertentu yang mengkhawatirkan dampak negatif dari perlindungan paten obat terutama di negara-negara berkembang. Maka, sebagian besar negara-negara berkembang bernegosiasi supaya perjanjian TRIPs memberikan pasal-pasal yang bisa mengurangi dampak negatif dari paten obat. Ketika perjanjian TRIPs diluncurkan, seluruh negara sepakat agar dapat menyisipkan pasal-pasal pelindung (The TRIPs Safeguards) dalam perjanjian TRIPs yang terdiri dari impor parallel, bolar provision, lisensi wajib dan penggunaan paten oleh pemerintah. Perjanjian TRIPs terdiri dari 12 pasal yang berkaitan erat dengan perlindungan paten obat serta 3 pasal mengenai kebijakan untuk menangani dampak paten obat atau yang lebih dikenal sebagai pasal pelindung TRIPs (the TRIPs Safeguards). Salah satu pasal penting hasil dari negosiasi-negosiasi tersebut yakni adanya pasal 8 dalam perjanjian TRIPs. Pasal tersebut memberikan mandat kepada anggota WTO agar melakukan tindakan-tindakan yang perlu dilakukan untuk melindungi kesehatan masyarakat. Dalam pasal perjanjian TRIPs dinyatakan[7]:

1. Members may, in formulating or amending their laws and regulations, adopt measures necessary to protect public health and nutrition, and to promote the public interest in sectors of vital importance to their socio - economic and technological development, provided that such measures are consistent with the provisions of this Agreement.

2. Appropriate measures, provided that they are consistent with the provisions of this agreement, may be needed to prevent the abuse of intellectual property rights by right holders or the resort to practices which unreasonably restrain trade or adversely affect the international transfer of technology.

Sekalipun pasal ini memungkinkan kepada negara-negara anggota WTO melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melindungi kesehatan masyarakat namun sayangnya perjanjian TRIPs tidak menetapkan standar internasional dan persyaratan hukum yang seragam bagi anggota WTO. Hal ini sangatlah fatal, karena akibatnya menurut Tomy Suryo Utomo adalah bagaimana melaksanakan pasal-pasal pelindung tersebut termasuk bagaimana menterjemahkan dan mengimplementasikan pasal-pasal tersebut dengan pandangan yang berbeda-beda diantara negara anggota WTO khusunya antara negara maju dan negara berkembang.[8]

            Eksploitasi atas hak eksklusif melalui hak kekayaan intelektual yang berlebihan dapat menimbulkan ketidakadilan sosial (social unjust). Terlepas dari ketentuan-ketentuan sesungguhnya yang tentunya ditujukan untuk melindungi kepentingan privat. Namun, TRIPs juga harus menjaga ruang untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan umum. Namun sayangnya, makna dan kriteria kepentingan umum tersebut tidak diatur lebih lanjut dalam TRIPs, namun diserahkan kepada masing-masing negara anggota WTO. Dengan adanya hal tersebut, dapat terjadi multi-interpretasi terhadap makna sesungguhnya dari kepentingan umum. Untuk menghindari multi-interpretasi makna kepentingan umum yang sangat sulit untuk didefinisikan secara tepat tersebut, maka yang harus dilakukan adalah menemukan kriteria-kriteria dari kepentingan umum. Dengan demikian maka akan mempermudah pembentukan aturan. Dengan kriteria kepentingan umum yang tepat maka kepentingan umum dalam perlindungan paten tidak akan menjadikan negara tertentu bertindak sewenang-wenang terhadap pemegang paten dan sebaliknya kepentingan pihak-pihak lainnya tetap terlindungi. Maka, upaya untuk menemukan kriteria kepentingan umum dalam perundangundangan di bidang paten, baik yang berlaku secara internasional maupun nasional, perlu dilakukan.[9]

            Seiring dengan semakin banyak penduduk miskin yang ada di negara-negara dunia yang terjangkit penyakit menular serta berbahaya seperti HIV/AIDS, TBC serta penyakit infeksi lainnya, pemanfaatan yang dilakukan terhadap pasal-pasal pelindung di berbagai negara berkembang dan terbelakang juga terlihat semakin meningkat dan sangat dibutuhkan. Brazil, Afrika Selatan dan India yang merupakan contoh negara-negara yang sangat peduli terhadap arti penting pasal-pasal pelindung serta telah menerapkan ketentuan itu untuk mengatasi masalah domestik di bidang kesehatan masyarakat umum.[10] 

Akan tetapi, perselisihan hukum yang terjadi antara negara maju dan berkembang menunjukkan bahwa pasal-pasal pelindung TRIPs adalah pasal-pasal yang lemah dan tidak berarti karena penafsiran dan pengartian pasal tersebut lebih sering menggunakan perspektif serta kepentingan dari negara maju selaku produsen HKI. Semenjak akses terhadap obat esensial yang murah telah menjadi sebuah masalah serius di berbagai negara, lembaga swadaya masyarakat dan negara-negara berkembang mendesak Dewan WTO (the WTO council) untuk memasukan topik kesehatan masyarakat umum dalam agenda pertemuan tingkat menteri WTO (the WTO Ministerial Meeting) di Seattle pada tahun 1999. Akan tetapi, saat itu tidak banyak pihak yang menaruh perhatian kepada masalah serius tersebut hingga diadakannya pertemuan tingkat menteri keempat yang diselenggarakan di Doha pada tahun 2001 (Mercurio, 2004).[11]

Melalui pertemuan yang dilaksanakan di Doha, Qatar pada tanggal 9 sampai 14 November 2001, pertamakalinya anggota WTO mengadopsi sebuah resolusi yang mempertegas keterkaitan antara TRIPS dan kesehatan masyarakat yang disebut dengan Deklarasi Doha (the Doha Declaration). Deklarasi Doha berisi tujuh paragraph yang menyediakan sebuah interpretasi terhadap Pasal 7 dan 8 Perjanjian TRIPS. Paragraf 1-3 merupakan pembukaan dari deklarasi, Pasal 4-7 merupakan pasal pelaksana (bersifat operatif)

Paragraph 1: “We recognize the gravity of the public health problems afflicting many developing and least-developed countries, especially those resulting from HIV/AIDS, tuberculosis, malaria and other epidemics.”

Paragraf ini merujuk keprihatinan terhadap meluasnya penyakit menular di berbagai negara berkembang dan terbelakang. Paragraf ini juga menekankan pada berbagai jenis penyakit terlantar yang perlu ditangani dengan segera. Meskipun Perjanjian TRIPS telah memasukkan permasalahan kesehatan masyarakat di dalam beberapa pasal terkait, keberadaan pasal-pasal tersebut sangat tergantung dari penafsiran para anggota WTO. Dalam praktek, perbedaan penafsiran terhadap ketentuan tersebut cenderung melahirkan konflik antar sesama anggota (negaranegara berkembang dan maju) khususnya berkaitan dengan pelaksanaan lisensi wajib.

Sayangnya, selama proses perundingan deklarasi Doha, pemerintah  AS mencoba untuk membatasi jenis-jenis penyakit yang akan disebutkan di dalam paragraf deklarasi hanya terhadap HIV/AIDS saja dan mengecualikan beberapa peryakit tertentu, seperti Malaria dan TBC. Motivasi dibalik usaha tersebut adalah untuk melindungi kepentingan perusahaan farmasi di negaranegara maju yang banyak diuntungkan oleh produksi obat-obatan di bidang penyakit Malaria dan TBC. Namun, deklarasi akhirnya menyebut-kan beberapa jenis penyakit yang tidak hanya merujuk kepada satu jenis penyakit seperti yang dikehendaki pemerintah  AS tetapi juga menyebutkan beberapa jenis penyakit tambahan di dalam paragraf 1.[12]

Pada tahun 1996, untuk pertama kalinya pemerintah Brazil melakukan program uji coba terapi obat Anti Retroviral (ARV) atau yang disebut juga dengan Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART), sebagai salah satu upaya untuk memberikan perawatan serta pengobatan yang lebih maksimal terhadap ODHA (Orang dengan HIV/AIDS). HAART sendiri merupakan sebuah terapi yang dilakukan dengan mengkombinasikan tiga jenis obat ARV yang berbeda menjadi satu obat ARV generik. Tiga obat ARV yang dipakai dalam terapi tersebut yakni yang pertama adalah Lamivudine yang hak patennya dipegang oleh GlaxoSmithKline, lalu Saquinavir yang hak patennya dipegang oleh Roche, serta Ritonavir yang hak patennya dipegang oleh Abbott Laboratories. Karena program HAART memiliki manfaat dan juga menjadi pengobatan yang ampuh dan signifikan bagi para ODHA, berbagai kalangan kelompok masyarakat sipil pun menekan pemerintah Brazil untuk dapat menjadikan terapi pengobatan tersebut menjadi program nasional. Akhirnya, Pada tanggal 14 Mei 1996 pemerintah Brazil pun mulai meratifikasi serta mengimplementasikan salah satu aturan dalam Trade Related Aspects of Intellectual PropertyRights Agreement (TRIPS) ke dalam undang-undang nasional negara Brazil dengan disahkannya Undang-Undang Paten No. 9279 tahun 1996.[13]

Menururut perjanjian internasional pertimbangan kepentingan umum dalam perlindungan paten telah diatur dalam Perjanjian TRIPs dan juga konvensi Paris (Paris Convention). Dalam TRIPs kepentingan umum tercermin dalam Article 7 yang menentukan:

The protection and enforcement of intellectual property rights should contribute to the promotionof technological innovation and to the transfer and dissemination of technology, to the mutual advantageof producers and users of technological knowledge and in a manner conducive to social and economicwelfare, and to a balance of rights and obligations.

Article 7 ini dapat ditafsirkan dengan adanya kepentingan umum melalui penekanan bahwa perlindungan serta penegakan HKI harus memberikan kontribusi terhadap alih teknologi serta penyebaran teknologi dengan cara memperhatikan kepentingan yang seimbang antara penghasil dari pengetahuan teknologi dan pengguna teknologi tersebut, dan dengan cara yang mendukung kesejahteraan sosial dan ekonomi dan menyeimbangkan hak dan kewajiban.

Selain itu, berdasarkan Article 8 TRIPs negara anggota WTO dapat mengambil Langkah yang segera dan penting untuk mengatasi masalah yang timbul dari sector masyarakat[14] termasuk dalam menyusun maupun mengubah undang-undang dan peraturannya, untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi kesehatan dan gizi masyarakat publik, serta untuk mengedepankan kepentingan umum dalam sektor-sektor yang sangat penting bagi perkembangan sosial ekonomi dan teknologinya. Juga dimungkinkan negara-negara anggota WTO untuk mengambil langkah-langkah yang patut untuk mencegah penyalahgunaan HKI oleh pemegang hak atau praktik-praktik yang yang dapat memengaruhi alih teknologi secara internasional. Namun semuanya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Perjanjian TRIPs. Terlepas bahwa semuanya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan TRIPs lainnya, akan tetapi ketentuan ini merupakan pengakuan yang tegas terhadap hak-hak tiap negara anggota WTO untuk melindungi kepentingan umum dalam pengaturan HKI secara nasional.[15] Pada tanggal 14 Mei 1996, pemerintahan Brazil mengajukan legislasi nasional mengenai hukum kekayaan intelektual yang memungkinkan penggunaan lisensi wajib (SICE, 2013). Hal tersebut sesuai dengan yang tercantum pada pasal 31 TRIPS, yang berbunyi:

“Where the law of a Member allows for other use (7) of the subject matter of a patent without the authorization of the right holder, including use by the government or third parties authorized by the government, the following provisions shall be respected: … This requirement may be waived by a Member in the case of a national emergency or other circumstances of extreme urgency or in cases of public non-commercial use. In situations of national emergency or other circumstances of extreme urgency, the right holder shall, nevertheless, be notified as soon as reasonably practicable. In the case of public noncommercial use, where the government or contractor, without making a patent search, knows or has demonstrable grounds to know that a valid patent is or will be used by or for the government, the right holder shall be informed promptly;”

Berdasarkan pasal 31 diatas, suatu negara dapat menerapkan kebijakan compulsory licensing atau lisensi wajib, dimana negara tersebut dapat memproduksi barang yang telah dipatenkan tanpa harus mendapatkan persetujuan dari pihak pemegang paten. Banyak negara berkembang yang ragu untuk mengambil kebijakan lisensi wajib karena dianggap dapat merusak hubungan perdagangan dengan pihak pemegang paten maupun negara asal pihak pemegang paten (AVERT, 2011). Namun pemerintah Brasil tetap ingin menerapkan lisensi wajib tersebut karena kasus HIV-AIDS telah menjadi kondisi darurat kesehatan masyarakat dan dianggap sebagai ancaman human security negaranya, disamping itu pemerintah Brasil juga ingin menghemat anggaran kesehatannya, dimana harga obat ARV semakin meningkat akibat adanya penerapan paten TRIPs.

Implikasi kebijakan trips di Brazil adalah wajib lisensi produk farmasi di Brazil untuk melindungi hak atas kesehatan. Berdasarkan konstitusi Brazil tahun 1988 memberikan hak kesehatan kepada seluruh warga negara dan mengamanatkan pembentukan sistem pelayanan kesehatan nasional. Jadi, ketika ada kasus epidemi HIV/AIDS di Brazil yang dapat dianggap sebagai nasional darurat, pemerintah Brasil mengeluarkan lisensi wajib untuk obat untuk mengamankan pasien, karena harga obat HIV/AIDS mahal. Namun, itu harus diingat bahwa Brazil adalah anggota TRIPs Agreement; akibatnya, Brasil harus mematuhi Perjanjian TRIPs dalam melaksanakan kewajiban lisensi. Berdasarkan Pasal 31 (b) TRIPs Agreement, Brazil secara konsisten mengambil posisi dalam mendukung kesehatan masyarakat dalam mencoba untuk bernegosiasiikat keseimbangan antara HKI farmasi dan akses ke obat-obatan.[16]  pemerintah Brasil memunculkan pasal 68 dalam Undang-Undang Paten No. 9279 tahun 1996 yang berbunyi:

(1) The following also occasion a compulsory license:

I) nonexploitation of the object of the patent within the Brazilian territory for failure to manufacture or incomplete manufacture of the product, or also failure to make full use of the patented process, except cases where this is not economically feasible, when importation shall be permitted; or

II) commercialization that does not satisfy the needs of the market.

(2) A license may be requested only by a person having a legitimate interest and having technical and economic capacity to effectively exploit the object of the patent, that shall be destined predominantly for the domestic market, in which case the exception contained in Item I of the previous Paragraph shall be extinguished.

(3) In the case that a compulsory license is granted on the grounds of abuse of economic power, the licensee who proposes local manufacture shall be assured a period, limited to the provisions of Article 74, to import the object of the license, provided that it was introduced onto the market directly by the titleholder or with his consent.

(4) In the case of importation to exploit a patent and in the case of importation as provided for in the preceding Paragraph, third parties shall also be allowed to import a product manufactured according to a process or product patent, provided that it has been introduced onto the market by the titleholder or with his consent.

(5) The compulsory license that is the subject of Paragraph 1 shall only be required when 3 (three) years have elapsed since the patent was granted.

Implementasi dari undang-undang tersebut pada akhirnya diwujudkan dalam lisensi wajib “local working” untuk memproduksi obat ARV generik. Berdasarkan kebijakan yang telah disepakati tersebut, setiap perusahaan farmasi asing diberikan waktu 3 tahun sejak memperoleh hak paten untuk memperkenalkan invensi mereka dan membangun berbagai fasilitas dengan tujuan alih teknologi. Jika ada perusahaan farmasi asing yang gagal dalam persyaratan tersebut, pemerintah Brasil dapat mengijinkan sebuah perusahaan farmasi lokal untuk memproduksi obat dalam bentuk generik tanpa persetujuan dari pemegang paten.[17]

Puncaknya terjadi pada tahun 1997, pemerintah Brasil akhirnya menerapkan kebijakan lisensi wajib untuk memproduksi tiga obat ARV yang digunakan dalam program HAART karena ketiga produsen obat ARV tersebut gagal memenuhi persyaratan “local working”. Pada tahun 1998, pemerintah Brasil juga menerapkan kebijakan lisensi wajibnya untuk memproduksi obat AZT versi generik melalui perusahaan farmasi lokalnya. Dengan menerapkan kebijakan tersebut, ternyata pemerintah Brasil mampu menghemat anggaran kesehatan mereka untuk mengimpor obat ARV sebanyak 83 persen. Program HAART dan kebijakan lisensi wajib yang dilakukan oleh pemerintah Brasil sangat berhasil, terbukti sejak dimulainya program HAART pada tahun 1996 hingga tahun 2000, angka kematian ODHA di Brasil terus menurun. Selain itu, program HAART juga mampu menurunkan jumlah ODHA yang menjalani rawat inap sebanyak 358.000 kasus, sehingga turut menghemat anggaran kesehatan Brasil sebesar US$ 1 milyar. Bahkan atas keberhasilannya tersebut, pemerintah Brasil mendapatkan penghargaan “Human Rights and Culture of Peace” dari UNESCO.[18]


 

D.    Kesimpulan

Brazil merupakan salah satu negara berkembang yang mengalami masalah kesehatan seperti HIV/AIDS. Sebagai negara berkembang, Brazil memiliki dana yang terbatas untuk menanggulangi kesehatan public masyarakat Brazil. Sedangkan dana yang dibutuhkan bagi negara Brazil untuk menanggulangi epidemi (yang salah satunya adalah HIV/AIDS) tidaklah sedikit. Maka dengan adanya lisensi wajib, dapat menjadi pangsa pasar yang potensial bagi Brazil untuk membuat obat generic dan menghemat penggunaan dana untuk penggunaan obat HIV/AIDS. Dengan adanya perjanjian TRIPs, terutama Deklarasi Doha, negara-negara berkembang seperti Brazil dapat menanggulangi masalah kesehatan masyarakat publik. Meskipun tidak semua negara benar-benar menerima keputusan dari Deklarasi Doha. Dimana negara-negara maju seperti Amerika Serikat merasa dirugikan dengan adanya kebijakan lisensi wajib bagi paten obat-obatan.



[1] Achmad Amri Ichsan, Analisis Yuridis Terhadap Lisensi Wajib dan Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah Berdasarkan Pejanjian TRIPs, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Vol. 2, No. 1, 2014, hlm. 2

[2] Samariadi, Pelaksanaan Compulsory Licencing Paten Obat-obatan Bidang Farmasi di Indonesia Dikaitkan dengan Doha Declaration On The TRIPs Agreement and Public Health, Jurnal De Lega Lata, Vol. 1, No. 2, 2016, hlm. 449

[3] Achmad Amri Ichsan, Analisis Yuridis Terhadap Lisensi Wajib dan Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah Berdasarkan Pejanjian TRIPs, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Vol. 2, No. 1, 2014, hlm. 2

[4] Tony Hanoraga, Niken Prasetyawati, Lisensi Wajib Paten Sebagai Salah Satu Wujud Pembatasan Hak Eksklusif Paten, Jurnal Sosial Humaniora, Vol. 8, No. 2, 2015, hlm. 160

[5] Ibid, hlm. 161

[6] Samariadi, Pelaksanaan Compulsory Licencing Paten Obat-obatan Bidang Farmasi di Indonesia Dikaitkan dengan Doha Declaration On The TRIPs Agreement and Public Health, Jurnal De Lega Lata, Vol. 1, No. 2, 2016, hlm. 450

[7] Achmad Amri Ichsan, Analisis Yuridis Terhadap Lisensi Wajib dan Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah Berdasarkan Pejanjian TRIPs, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Vol. 2, No. 1, 2014, hlm. 4

[8] Achmad Amri Ichsan, Analisis Yuridis Terhadap Lisensi Wajib dan Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah Berdasarkan Pejanjian TRIPs, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Vol. 2, No. 1, 2014, hlm. 4

[9] Winner Sitorus, Kepentingan Umum dalam Perlindungan Paten, Jurnal Yuridika, Vol. 29, No. 1, 2014, hlm. 41

[10] Tomi Suryo Utomo, Implikasi Pasal-Pasal Pelindung (The TRIPs Safeguard) dalam UU Paten Indonesia: Kritik, Evaluasi dan Saran Dari Prespektif Akses Terhadap Obat Murah dan Terjangkau, Jurnal Hukum, Vol.14, No. 2, 2007, hlm. 272

[11] Tomi Suryo Utomo, Deklarasi Doha dalam Prespektif Akses Obat Murah dan Terjangkau: Sebuah Pelengkap Perjanjian TRIPs, Jurnal UNISIA, Vol. 30, No. 64, 2007, hlm 123

[12] Tomi Suryo Utomo, Deklarasi Doha dalam Prespektif Akses Obat Murah dan Terjangkau: Sebuah Pelengkap Perjanjian TRIPs, Jurnal UNISIA, Vol. 30, No. 64, 2007. Hlm. 123

[13] Mandra Farandy Janitra, Strategi Brasil Menghadapi TRIPs dan Tuntutan Amerika Serikat dalam MMenangani Kasis HIV dan AIDS, Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1, 2014 hlm. 398

[14] Tomi Suryo Utomo, Eksistensi ‘The TRIPs Safeguards’ Di Dalam Perjanjian TRIPs: Dalam Perspektif Kesehatan Masyarakat, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 20, No. 2, 2008, hlm. 193

[15] Winner Sitorus, Kepentingan Umum dalam Perlindungan Paten, Jurnal Yuridika, Vol. 29, No. 1, 2014, hlm. 43

[16] Sri Wartini, The Legal Implication Of Compulsory Licence Pharmaceutical Product in The TRIPs Agreement To The Protection Of The Right To Health In Developing Countries, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 18, No. 1, 2018, hlm. 2

[17] Mandra Farandy Janitra, Strategi Brasil Menghadapi TRIPs dan Tuntutan Amerika Serikat dalam Menangani Kasus HIV dan AIDS, Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1, 2014 hlm. 340

[18] Ibid

Saturday, December 4, 2021

POLITIK HUKUM: KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR NIKEL INDONESIA




picture by https://kumparan.com/itmaamul-wafaa-s/politik-hukum-indonesia-2020-1vHTpuw6G6K

 Latar belakang

            Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara yang memiliki cadangan nikel terbanyak di dunia. Hampir 4 juta metric ton dari keseluruhan 80 juta metric ton cadangan nikel dunia tersimpan di Indonesia. Dengan 5,74% total cadangan nikel dunia, Indonesia menduduki peringkat ke-6 penghasil nikel terbesar dunia.[1] Selain Indonesia, Filipina merupakan negara sasaran impor dengan produksi nikel terbesar pertama didunia. Produksi nikel Filipina mencapai 530.000 metric ton. Akan tetapi, bijih nikel produksi Indonesia dinilai memiliki kualitas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan Filipina. Sementara konsumsi terbesar nikel per tahun diduduki oleh Eropa dan China. Pada tahun 2015 misal, sekitar 50% keseluruhan konsumsi nikel dunia dikonsumsi oleh China, sedangkan konsumsi nikel Eropa mencapai angka 20%.[2]

            Tepat pada tanggal 1 desember 2020, pemerintah Indonesia menerbitkan kebijakan mengenai larangan ekspor nikel. Nikel yang dimaksudkan adalah bijih nikel dengan kadar di bawah 1,7%. Larangan ini tercantum dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).[3] Kebijakan ini dimaksudkan untuk menjaga keberlanjutan pasokan bahan baku dan smelter yang ada di Indonesia. Kebijakan ini menimbulkan perseteruan antara Indonesia dan Uni Eropa (UE).

Terbitnya larangan ekspor nikel mentah ini mulanya merupakan tindakan balasan pemerintahan Indonesia terhadap Uni Eropa (UE). Berawal dari dikeluarkannya Resolusi Parlemen tentang Palm Oil and Deforestation of Rainforest (minyak kelapa sawit (CPO) dan deforestasi hutan hujan) atau Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan-BPPK pada tahun 2017 oleh Uni Eropa (UE). putusan dalam jajak pendapat parlemen menyatakan untuk tidak mengguanakan minyak kelapa sawit (CPO) sebagai bahan baku utama biodiesel mulai tahun 2021. Putusan tersebut dilakukan untuk mengurangi emisi karbon secara global sebagai bentuk komitmen Eropa terhadap Protokol Kyoto.[4] Tidak hanya mengatasnamakan dampak terhadap lingkungan, parlemen bahkan menyinggung mengenai isu pelanggaran HAM, pembukaan hutan secara illegal, pekerja lokal tak berupah dan isu negatif lainnya.

            Larangan penggunaan minyak sawit sebagai bahan utama biodiesel oleh Uni Eropa (UE) menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi Indonesia. Sebagai negara pengekspor minyak kelapa sawit (CPO) terbesar, Indonesia telah menyumbang sekitar 55% pasokan minyak kelapa sawit (CPO) dunia. Minyak kelapa sawit (CPO) sendiri merupakan sektor utama ekspor non-migas Indonesia. Sedangkan Uni Eropa (UE) merupakan tujuan ekspor utama kedua setelah India. Maka, kebijakan yang dikeluarkan oleh parlemen Uni Eropa (UE) menimbulkan kerugian yang sangat besar. Kerugian berupa sekitar 4,78 ton CPO yang seharusnya diekspor ke Uni Eropa. selain itu kerugian juga berimbas kepada 4,2 juta orang tenaga kerja sektor kelapa sawit dan 12 juta orang yang bekerja di sektor turunannya.[5]

Rumusan Masalah

1.       Bagaimana skema kebijakan larangan ekspor nikel?

2.       Bagaimana keuntungan dan dampak proyek percepatan program kendaraan listrik berbasis baterai EV?

Pembahasan

            Politik hukum dapat dilihat dalam proses maupun penerapaan hukum itu sendiri. Dalam aspek kehidupan negara maka tujuan negara itu terdapat dalam bingkai hukum. Kesepakatan mengenai  kebijakan  hukum  dalam mencapai  tujuan  negara  dilakukan secara  demokratis  oleh  lembagalembaga  politik  sebagai  wujud representasi  rakyat.  Mahfud  MD mengatakan  Politik  hukum  adalah legal  policy  atau  garis  (kebijakan) resmi  tentang  hukum  yang  akan diberlakukan  baik  dengan  pembuatan hukum  baru  maupun  dengan penggantian  hukum  lama,  dalam rangka  mencapai  tujuan  negara.[6] Dalam kasus ini, tujuan negara Indonesia adalah menjadi raja baterai dunia. 

Uni Eropa (UE) merupakan salah satu importir terbesar nikel Indonesia. Nikel di negara-negara tersebut digunakan dalam berbagai industri stainless steel, teknologi dan mesin. Indonesia sebagai salah satu eksportir utama nikel dunia memiliki peran yang besar sebagai pemasok bahan baku utama penggunaan nikel UE. Seakan lupa dengan larangan penggunaan CPO yang sebelumnya mengatasnamakan kerusakan lingkungan, UE melayangkan gugatan terhadap Indonesia atas larangan ekspor nikel yang terapat dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Dalam gugatan yang ditujukan kepada organisasi perdagangan dunia WTO (World Trade Organization), UE menyatakan bahwa keputusan Indonesia melarang ekspor nikel menyulitkan industri UE dan menimbulkan persaingan bisnis yang tidak fair.[7] UE tidak menyebutkan bahwa dalam produksi nikel, terdapat dampak lingkungan kegiatan pertambangan yang sama buruknya dengan pengolahan dan produksi CPO.

Gugatan yang dilayangkan oleh UE tidak menyurutkan keputusan pemerintah dalam pelaksanaan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Larangan ekspor nikel tetap berlaku mulai tahun 2020. Pemerintah Indonesia memiliki alasan yang cukup kuat. Presiden Joko Widodo dalam pidatonya menyatakan tidak akan mundur dengan adanya gugatan yang dilayangkan UE terhadap Indonesia kepada WTO.[8] Tidak hanya nikel, setelah kerja keras yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia menyeimbangkan isu lingkungan hidup dan pengelolaan sawit, Indonesia akan tetap memperjuangkan ekspor CPO menghadapi larangan parlemen UE.

Dalam Prespektif Hukum Lingkungan, kesejahteraan yang menjadi tujuan politik hukum nasional tidak cukup hanya dilandaskan pada negara hukum dan demokrasi, namun juga harus berlandaskan pada prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan. Prinsip tersebut harus menjadi arahan dalam pembuatan kebijakan lingkungan. Jika tidak, maka kesejahteraan yang dicapai tidak akann bertahan lama, karena sumber daya alam (SDA) sebagai salah satu elemen pembangunan tidak dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.[9]

Teori ekologi politik menilai bahwa keputusan pengelolaan sumber daya alam tidak bisa dipahami hanya dari sudut pandang teknis yang memprioritaskan efisiensi. Sebaliknya, seperti pendapat Adams, “‘kehijauan’ dari perencanaan pembangunan akan ditemukan bukan dalam kepeduliannya dengan ekologi atau lingkungan di dalam dirinya, tetapi dalam keprihatinannya dengan masalah kekendalian, kekuasaan, dan kedaulatan“. Penemuan-penemuan utama teori ekologi politik mengutarakan bahwa pola-pola pengembangan sumber daya muncul dari interaksi antara sistem alam (misalnya kualitas, kuantitas, dan lokasi air) dan sistem sosial (misalnya penyebaran kekuasaan ekonomi, sosial, dan politikdidalam suatu masyarakat). Namun, pemerintah justru terlalu asyik berpikir tentang pemahaman struktur sosial dan tidak memberikan perhatian seperlunya untuk memahami dan mendokumentasikan perubahan lingkungan, yang tidak selalu merupakan akibat dari sumber-sumber ekonomi dan politik. Dan politik yang dimaksudkan menurut teori ini adalah kapitalisme.

Pada dasarnya, larangan terhadap produk tambang mentah telah dirumuskan sejak tahun 2009. dimana terdapat kebijakan yang mengharuskan para investor untuk melakukan pengolahan pada smelter dalam negeri. Kebijakan ini dilakukan agar bahan tambang memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan bahan mentah. Kebijakan ini tercantum dalam Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Minerba.[10] Alasan adanya kebijakan larangan ekspor nikel tidak jauh berbeda dengan keberadaan UU Minerba untuk mengolah barang tambang menjadi barang setangah jadi agar memiliki nilai yang lebih tinggi.

Sebagai tindak lanjut larangan ekspor nikel, pemerintah Indonesia tengah bersiap untuk menjadi produsen nikel tingkat hulu, menengah, hingga hilir. Sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang nikel melimpah, Indonesia memiliki potensi besar untuk merajai pasar nikel. Nikel adalah salah satu bahan baku komponen mobil listrik. Dengan teknologi yang dimiliki, Indonesia dapat mengubah nikel dengan kadar rendah menjadi cobalt dan lithium yang merupakan bahan baku komponen baterai electric vehicle (EV) kendaraan listrik yang saat ini tengah digemari pengembangannya di pasar internaisonal. Program ini tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 55 tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai electric vehicle (EV) untuk Jalan. Dengan adanya progam ini, harga nikel mentah (ore nikel) yang tadinya hanya US$ 40 per ton meningkat hingga perkiraan US$17.000 ketika nikel telah diubah menjadi bahan siap produksi. Dengan permintaan pasar yang meningkat terhadap kendaraan bertenaga listrik, maka Indonesia dapat meraup keuntungan yang besar.[11] Akan tetapi, pembangunan industri baterai electric vehicle (EV) membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Saat ini Presiden bersama BUMN serta Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sedang mengupayakan gelontoran dana investasi serta mitra usaha. Beberapa perusahaan besar yang bergerak di bidang baterai electric vehicle (EV) dan kendaraan tenaga listrik menjadi sasaran negosiasi. Beberapa perusahaan telah sepakat untuk menjadi mitra bisnis maupun investor pada pembangunan industri baterai electric vehicle (EV) di Indonesia. Sebagaimana tertera dalam siaran pers BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), BUMN bersama perusahaan raksasa LG akan bekerja sama membangun industri produksi sel baterai electric vehicle (EV) dengan dana rencana investasi mencapai US$ 9,8 miliar.[12] Beberapa investor lain yang akan berinvestasi membangun smelter pengolahan nikel antara lain PT Vale Indonesia Tbk (INCO), Sumitomo Metal Mining Co Ltd Ningbo Lygend dan Tsinghan Group.[13] Selain investor dan mitra dalam pembangunan industri baterai VE, Indonesia juga memulai kerjasama dengan perusahaan kendaraan listrik diantaranya Tesla, CATL, Samsung, BYD, Farasis, dan Panasonic.[14] Tesla yang sebelumnya menyatakan akan mengganti bahan baku pembuatan baterai dari nikel menjadi besi pada akhirnya sepakat untuk bekerja sama dengan Indonesia dalam pembangunan ESS.

Dengan dibangunnya industri sel baterai VE hingga mobil listrik, diperkiraan dapat memaksimalkan penyerapan tenaga kerja. Selain itu, pemerintah juga memperkirakan peningkatan ekonomi dalam negeri dan peningkatan pendapatan APBN. Dengan adanya larangan ekspor nikel sebagaimana tercantum dalam dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Namun, bila ditinjau lebih jauh, kekuasaan pemerintahan menerbitkan izin tambang secara sepihak. Sehingga tidak ada partisipasi dari warga dan pihak, baik sebagai pemilik lahan, maupun warga lain yang berpotensi menerima dampak tidak langsung dari aktivitas tambang. Memang saat ini indonesia mengaku sebagai negara demokrasi, namun yang terjadi pada aspek ini produk hukum yang dihasilkan oleh pemerintah cenderung konserfatif dan hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Terdapat berbagai dampak negative yang seakan tertutupi dengan semangat pemerintah untuk menjadi raja baterai dunia. Telah menjadi issue lama bahwa industri ekstraktif di Indonesia punya dampak besar terhadap peningkatan pengerukan kekayaan alam dan penggundulan tanah, yang bisa memperparah krisis iklim. Tidak hanya iklim di Indonesia namun juga dunia. Padahal telah diketahui bahwa hutan yang ada di Indonesia terutama Kalimantan termasuk salah satu paru-paru bumi. Meskipun dalam hukum yang tertulis di atas kertas, perizinan harus memenuhi ketentuan yang menyatakan untuk tidak melakukan proses penambangan yang dapat merusak lingkungan. Ketentuan ini tercantum dalam ketentuan lama dan ketentuan baru dalam Undang-Undang Cipta Kerja.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat pada 2020 ada sebanyak 3.092 lubang tambang yang tidak direklamasi di Indonesia, termasuk 814 di antaranya terdapat di Kalimantan Selatan. Dapat dibayangkan berapa tambahan lubang yang akan dibuat untuk mengimbangi program KKLB. Salah satu kasus yang tidak luput dari kegiatan pertambangan adalah kausu yang dialami oleh 27 warga Kabupaten Konawe di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara yang dikriminalisasi atas tudingan menghalang-halangi aktivitas tambang, melakukan pengancaman, hingga penganiayaan. Padahal yang dilakukan oleh 27 warga tersebut adalah mempertahankan hak kepemilikan atas tanah yang menjadi lahan pertambangan.

Selain itu, perusahaan beberapa kali berupaya menerobos lahan warga dengan dukungan aparat kepolisian bersenjata. Seperti pada warga Bahodopi, Banggai, Morowali Utara di Sulawesi Tengah, dan Weda, Buli, Pulau Obi di Maluku Utara. Konflik-konflik tersebut melibatkan aktor negara serta non negara. Dampak lingkungan yang disebabkan oleh pembuangan limbah nikel ke laut juga terjadi di Morowali dan Pulau Obi, Maluku Utara yang dilakukan oleh perusahaan tambang nikel. Hal ini dapat merusak ekosistem di perairan tersebut. peningkatan industri KLBB akan menghancurkan wilayah-wilayah lain sebagaimana yang terjadi dengan Pulau Obi.

 


 

Daftar Pustaka

Akib,Dr. Muhammad, 2016, PolitikHukum Lingkungan, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta

Gusti Satriawan, Kebijakan Indonesia Dalam Melarang Ekspor Mineral Mentah Tahun 2009-2014, Jurnal FISIP Vol. 2 Vo. 2, Oktober 2015

Hidayat, Eko, 2018 “Kontribusi Politik Hukum dalam Pembangunan Hukum Progresif di Indonesia” Jurnal Hukum Ekonomi Syariah Vol. 10 No. 02

Izzati dan Suhartono, 2019, Kebijakan Percepatan Larangan Ekspor Ore Nikel dan Upaya Hilirisasi Nikel, INFO SINGKAT, Vol. XI, No. 231/I/Puslit/Desember/2019

Muas Mustika Ananda, Upaya China Dalam Memenuhi Kebutuhan Nikel Dalam Negeri Pasca Kebijakan UU Minerba No. 04 Tahun 2009, e journal Ilmu Hubungan Internasional, Vol 7 No. 3, 2019

Rangkuman Gugatan Uni Eropa Terhadap Larangan Ekspor Nikel Oleh Indonesia Di WTO, Lembar Fakta, Akses 12 April 2021

Siaran Pers Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) 30 Desember 2020, Jakarta

Windratmo Suwarno, Kebijakan Sawit Uni Eropa (UE) dan Tantangan bagi Diplomasi Ekonomi Indonesia, Jurnal Hubungan Internasional, Vol. 8 No. 1, April – September 2019

Sekar Wiji Rahayu danFajar Sugianto, Implikasi Kebijakan dan Deskriminasi Pelarangan Ekspor dan Impor Minyak kelapa sawit (CPO) dan Bijih Nikel Terhadap Perekonomian Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, Vol 16 No. 2 Agustus 2020

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d952d7986e38/larangan-ekspor-nikel-berisiko-timbul-ketidakpastian-hukum/ akses 11 april 2021

https://www.cnbcindonesia.com/news/20191212121629-4-122490/eropa-gugat-ri-soal-nikel-jokowi-siapkan-lawyer-terbaik Akses 12 April 2021

https://www.cnbcindonesia.com/market/20190510155740-17-71758/4-pabrik-baterai-mobil-listrik-dibangun-siapa-untung Akses 13 April 2021

https://money.kompas.com/read/2021/02/01/193916926/dari-tesla-hingga-lg-ini-7-perusahaan-global-calon-mitra-industri-baterai Akses 13 April 2021

 

           



[1] Izzati dan Suhartono, 2019, Kebijakan Percepatan Larangan Ekspor Ore Nikel dan Upaya Hilirisasi Nikel, INFO SINGKAT, Vol. XI, No. 231/I/Puslit/Desember/2019, Hlm 19

[2] Mustika Muas, Ananda, Upaya China Dalam Memenuhi Kebutuhan Nikel Dalam Negeri Pasca Kebijakan UU Minerba No. 04 Tahun 2009, e journal Ilmu Hubungan Internasional, Vol 7 No. 3 2019, Hlm 1200

[4] Wiji Rahayu, Sekar, Fajar Sugianto, Implikasi Kebijakan dan Deskriminasi Pelarangan Ekspor dan Impor Minyak kelapa sawit (CPO) dan Bijih Nikel Terhadap Perekonomian Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, Vol 16 No. 2 Agustus 2020, Hlm. 225

[5] Suwarno, Windratmo, Kebijakan Sawit Uni Eropa (UE) dan Tantangan bagi Diplomasi Ekonomi Indonesia, Jurnal Hubungan Internasional, Vol. 8 No. 1, April – September 2019, Hlm. 23

[6] Eko Hidayat, “Kontribusi Politik Hukum dalam Pembangunan Hukum Progresif di Indonesia” Jurnal Hukum Ekonomi Syariah Vol. 10 No. 02, 2018, hlm 121

[7] Rangkuman Gugatan Uni Eropa Terhadap Larangan Ekspor Nikel Oleh Indonesia Di WTO, Lembar Fakta, Akses 12 April 2021

[9] Dr. Muhammad Akib, 2016, PolitikHukum Lingkungan, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, hlm. 6

[10] Satriawan, Gusti, Kebijakan Indonesia Dalam Melarang Ekspor Mineral Mentah Tahun 2009-2014, Jurnal FISIP Vol. 2 Vo. 2, Oktober 2015, Hlm 1

[11] Wiji Rahayu, Sekar, Fajar Sugianto, Implikasi Kebijakan dan Deskriminasi Pelarangan Ekspor dan Impor Minyak kelapa sawit (CPO) dan Bijih Nikel Terhadap Perekonomian Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, Vol 16 No. 2 Agustus 2020, Hlm. 227                                                                                                                

[12] Siaran Pers Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) 30 Desember 2020, Jakarta

Implementasi Lisensi Wajib TRIPs Agreement dalam Produk Pharmacy di Brazil

  picture: https://www.exyip.com/2021/06/24/how-the-trips-agreement-impacts-global-intellectual-property-policies/ A.     Pendahuluan Perj...