Wednesday, May 31, 2017

Biografi Imam Al-Ghazali



BIOGRAFI IMAM AL GHAZALI- Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali.  Kadang-kadang di ucapkan Al-Ghozzali (dua) kata ini yang berasal dari kata Ghazzal, yang artinya tukang pintal benang karena pekerjaan ayahnya memintal benang wol sedangkan al ghazali yang kedua, diambil dari ghazalah, nama Kampung kelahiran  Al- Ghazali. Yang terakhir ini inlah yang banyak dipakai.[1] Sedangkan Al-Ghazali lahir di Thus bagian dari kota Kurasan, Irak pada 450 H (1056 M). Ayahnya tergolong orang yang hidup sangat sederhana sebagai pemintal benang, tetapi mempunyai semangat keagamaan yang tinggi seperti terlihat pada simpatiknya kepada ulama’ dan mengharapkan anaknya menjadi ulama’ yang selalu memberi nasehat kepada umat. Itulah sebabnya, ayahnya sebelum wafat menitipkan anaknya, Al-Ghozali dan  audaranya, Ahmad yang ketika itu masih kecil, kepada seorang ahli tasawuf untuk mendapatkan didikan dan bimbingan.[2] Diperkirakan Al-Ghozali, hidup dalam suasana kesederhanaan sufi tersebut sampai usia 15 tahun (450-465 H).

 Imam Al-Ghazali lebih dikenal sebagai ulama thasawuf dan akidah. Oleh sebab itu sumbangannya terhadap bidang falsafah dan ilmu pengetahuan lain tidak boleh dinafikan. Al-Ghazali merupakan seorang ahli Sufi yang bergelar "Hujjatul Islam". Abu Hamid Ibnu Muhammad Al-Tusi Al-Ghazali adalah tokoh yang dilahirkan di Thus, Parsi pada tahun 450 Hijrah. Sejak kecil lagi, beliau telah menunjukkan keupayaan yang luar biasa menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan. Beliau bukan saja produktif dari segi menghasilkan buku dan karya tetapi merupakan seorang ahli fikir Islam yang terulung.

Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan begitu mendalam sehingga mendorongnya menggembara dan merantau dari satu tempat ke tempat yang lain untuk berguru dengan ulama-ulama yang hidup pada zamannya. Sewaktu berada di Baghdad, Al-Ghazali telah dilantik sebagai Mahaguru Universitas Baghdad. Pada tahun 488 H (1095 M) Al-Ghozali dilanda keragu-raguan, skeptis, terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (hukum, teologi dan filsafat), kegunaan pekerjaanya, dan karya-karya yang dihasilkannya, sehingga ia menderita penyakit selama 2 bulan, dan sulit diobati. Karena itu, Al-Ghozali tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai guru besar di madrasah Nizhamiyah. Akhirnya ia menimggalkan Baghdad menuju kota Damaskus.

 Selama kira-kira dua tahun Al-Ghozali di kota ini, ia melakukan uzlah, riyadhah, dan mujahadah. Kemudian ia pindah ke bait al-Maqdis, Palestina untuk melaksanakan ibadah serupa, setelah itu tergerak hatinya untuk menunaikan ibadah haji dan menziarahi maqam Rasulullah.[3]

Sepulang dari tanah suci, Al-Ghozali mengunjungi kota kelahirannya, Thus disini pun ia tetap berkhalwat. Keadaan skeptis Al-Ghozali berlangsung selama 10 tahun4. Pada periode itulah ia menulis karyanya yang terbesar ihya Ulumudin Karena desakan penguasa saljuk. Al-Ghozali mengajar kembali pada madrasah Nizhamiyah di Naisabur, tetapi hanya berlangsung selama 2 tahun, kemudian ia kembali ke Thus untuk mendirikan madrasah bagi para fuqaha’, dan sebuah Zawiyah atau khanaqah untuk para mutasawwifin. Imam Al -Ghazali yang bergelar Hujjatul Islam meninggal dikota kelahirannya Thus pada hari Senin 14 Jumadil Akhir 505 H (111 M).


CORAK PEMIKIRAN TASAWUF IMAM AL-GHAZALI

Di dalam tasawufnya, Imam al-Ghozali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi, ditambah dengan doktrin Ahlussunnah Wal Jamaah yang kebangkitannya kembali dipelopori oleh al-Imam Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari. Dari paham tasawufnya itu, beliau menjauhkan semua kecenderungan genotis yang mempengaruhi para filosuf Islam, sekte Isma'iliyah, aliran Syi’ah, Ikhwan al-Shofa, dan lain-lain. Beliau menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan. Itulah sebabnya dapat dikatakan bahwa tasawuf al-Ghozali benar-benar bercorak Islam.

Corak tasawufnya lebih ditekankan pada adab dan tatakrama. Beliau berkata: Adab adalah pendidikan dhohir dan bathin, oleh karenanya apabila seorang hamba telah berbuat baik secara dhohir dan bathin maka ia telah menjadi sufi yang beradab. Barang siapa selalu berperilaku sesuai dengan Sunah maka Allah SWT akan menerangi hatinya dengan cahaya kemarifatan karena tidak ada kedudukan yang lebih mulia dari mengikuti Nabi Muhammad yang dicintai Allah dalam perintah, perbuatan, dan ahlaknya, baik dalam niat, ucapan maupun perbuatan.

 Tasawuf Al - Ghazali menghimpun akidah, syariat dan akhlak dalam suatu sistematika yang kuat dan amat berbobot, karena teori - teori tasawufnya lahir dari kajian dan pengalaman pribadi setelah melaksanakan suluk dalam riyadhah dan  ujahadah yang intensif dan berkesinambungan, sehingga dapat dikatakan bahwa seumur hidupnya ia bertasawuf. Dalam pandangannya, Ilmu Tasawuf mengandung 2 bagian penting, pertama  menyangkut ilmu mu'amalah dan bagian kedua menyangkut ilmu mukasyafah, hal ini diuraikan dalam karyanya Ihya 'Ulumiddin, Al -Ghazali menyusun menjadi 4 bab  utama dan masing-masing dibagi lagi kedalam 10 pasal yaitu :

·         Bab pertama : tentang ibadah (rubu' al - ibadah)
·         Bab kedua : tentang adat istiadat (rubu' al - adat)
·         Bab ketiga : tentang hal -hal yang mencelakakan (rubu' al - muhlikat)
·         Bab keempat : tentang maqamat dan ahwal (rubu' al - munjiyat)

ersihan diri dan pembeningan hati terus menerus sehingga mampu mencapai musyahadah. Oleh karena itu ia menekankan pentingnya pelatihan jiwa, penempatan moral atau akhlak yang terpuji baik disisi manusia maupun Tuhan.[4]

 AJARAN TASAWUF AL-GHAZALI

Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-jama’ah. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral yang dapat di lihat dalam karya-karyanya seperti Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al Hidayah, M’raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad. Al Ghazali menilai negatif terhadap syathahat dan ia sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan wujud), untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya

a.      Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat

Menurut Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada, alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir-qolb dan roh. Pada saat sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya akan mengalami iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya kepada sang sufi sehingga yang dilihatnya hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke tingkat ma’rifat.

b.      PandanganAl-Ghazali tentang As-As’adah

Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah) di dalam kitab Kimiya As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya; nikmatnya mata terletak pada ketika melihat gambar yang bagus dan indah, nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara merdu.

MA’RIFATULLAH DALAM WACANA

Menurut Abdul Qadir al-Jailani, Ma’rifat adalah tidak dapat dibeli atau dicapai melalui usaha manusia. Ma’rifat adalah anugerah dari Allah swt. Setelah seseorang berada pada tingkatan ma’rifat, maka akan mengenal rahasia-rahasia Allah.  Allah memperkenalkan rahasia-rahasia-Nya kepada mereka hanya apabila hati mereka hidup dan sadar melalui zikrullah. Dan hati memiliki bakat, hasrat, dan keinginan untuk menerima rahasia Ketuhanan.

Menurut Tgk. H. Abdullah Ujong Rimba ma’rifat dalam pandangan sufi adalah mengetahui bagaimana hakikat Allah yang sebenarnya. Para sufi membagi ilmu mereka kepada empat bagian yaitu; ilmu syari’at, ilmu thariqat, ilmu hakikat, dan ilmu ma’rifat. Tujuan terakhir dari sufi ahli tharikat adalah ilmu ma’rifat yakni ilmu mengetahui hakikat Allah karena demikian zat Allah dan sifat-sifat-Nya dijadikan sebagai maudhu’ ilmu tasawuf yaitu ilmu latihan untuk mencapai hakikat guna untuk mencapai ma’rifat (mengetahui hakikat Allah swt).

Ma’rifatullah menurut konsep al-Ghazali adalah berupaya untuk mengenal Tuhan sedekat-dekatnya yang diawali dengan pensucian jiwa dan zikir kepada Allah secara terus-menerus, sehingga pada akhirnya akan mampu melihat Tuhan dengan hati nuraninya.31 Ma’rifah yang paling lezat adalah yang paling mulia daripadanya. Kadar kemuliaannya, menurut kadar kemuliaan ilmu yang telah diketahuinya. Jikalau dalam ilmu yang diketahui itu lebih agung, lebih sempurna, lebih mulia dan lebih besar, maka mengetahuinya itu akan menjadi ilmu yang paling lezat, paling mulia dan yang paling baik.

Maqam Dan Hal Ma’rifatullah

Ma’rifatullah menurut konsep al-Ghazali adalah berupaya untuk mengenal Tuhan  edekat-dekatnya yang diawali dengan pensucian jiwa dan zikir kepada Allah secara  erus-menerus, sehingga pada akhirnya akan mampu melihat Tuhan dengan hati sanubarinya.

Ma’rifatullah adalah sebagai pengarah yang akan meluruskan orientasi hidup seorang muslim. Dari sinilah dia menyadari bahwa hidupnya bukan untuk siapapun kecuali hanya untuk Allah, jika seseorang hidup dengan menegakkan prinsipprinsip ma’rifatullah ini, insya Allah alam semesta ini akan Allah tundukkan untuk melayaninya. Misalnya dalam beramal bukan untuk dilihat oleh orang lain agar mendapatkan pujian, bekerja bukan karena ada pemimipin di depan baru akan bekerja.

Maksudnya apapun amalan dan pekerjaan yang dilakukan sematamata untuk   endapatkan keridhaan dari Allah swt. Dengan fasilitas itulah, manusia akan  emperoleh kemudahan dalam setiap urusan yang dihadapi dan diperbuatnya. Menurut al-Ghazali, seorang muslim selayaknya memahami bahwa keindahan cinta yang paling hakiki adalah ketika mencintai Allah swt. Pondasi utama yang harus dibangun oleh seorang muslim untuk menggapai keindahan cinta tersebut dengan mengenal Allah.
Bagi seorang muslim,  ma’rifatullah adalah bekal untuk meraih prestasi hidup setinggi-setingginya.  Sebaliknya, tanpa ma’rifatullah, tidak mungkin seorang muslim memiliki keyakinan dan keteguhan hidup. Berdasarkan penjelasan di atas dalam kondisi ini, maka Allah kemudian mengisi hati orang tersebut dan memenuhi hatinya dengan rahmat, memancarkan nur-Nya, melapangkan dada, membuka padanya rahasia alam malakut, tersingkaplah dari hati orang tersebut kelengahan sebab kelembutan rahmat-Nya, serta berkilaulah di sana hakikat masalah-masalah ilahiyat. Para nabi dan waliullah memperoleh pengetahuan dan dadanya terpenuhi oleh nur dengan cara serupa ini.

Mereka memperolehnya tanpa belajar dan membaca, tetapi dengan zuhud di dunia dan membebaskan diri dari belenggunya, mengosongkan hati dari kotoran-kotorannya, serta menghadap secara utuh kepada Allah. Ini bisa terjadi karena barangsiapa keberadaannya untuk Allah, maka Allah juga baginya.

 ٞ ليۡوَفَ هۦِۚبِّرَّ نمِّ رٖونُ ىٰلَعَ وَهُفَ مِلَٰسۡإِلۡلِ هۥُرَدۡصَ هُلَّلٱ حَرَشَ نمَفَأَ ٢٢ نٍيبِمُّ لٖلَٰضَ يفِ كَئِلَٰٓوْأُ هِۚلَّلٱ رِكۡذِ نمِّ مهُبُولُقُ ةِيَسِقَٰلۡلِّ
Artinya:  Maka Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)?...” (Q.S. Az-Zumar: 22)
Berdasarkan penjelasan ayat di atas, sama-sama berbicara tentang cahaya Tuhan. Cahaya tersebut ternyata dapat diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang dia kehendaki. Mereka mendapatkan cahaya akan dengan mudah mendapatkan petunjuk hidup, sedangkan merekan yang tidak mendapatkan cahaya akan mendapatkan kesesatan hidup. Dalam ma’rifah kepada Allah yang didapat seorang sufi adalah cahaya. Dengan demikian, ajaran ma’rifah sangat dimungkinkan terjadi dalam Islam.

1.      Maqam

Pengertian dan macam-macam maqam.

Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia.[5] Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah.[6] Dalam bahasa Inggris  aqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga.

a.      Maqam Taubat

Al-Taubah berasal dari bahasa Arab taba, yatubu, taubatan yang artinya kembali.34 Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal kebajikan. Harun Nasution, mengatakan taubat yang dimaksud sufi ialah taubat yang sebenarnya, taubat yang tidak akan membawa kepada dosa lagi.[7]

 Menurut imam al-Ghazali taubat adalah kembali (ruju’). Dengan demikian, taubat kembali dari yang dicela syara’ menuju pada sesuatu yang dituju syara’.[8] Taubat adalah rumah tingkat pertama bagi seorang salik. Ia adalah ibarat batu pondasi pertama yang harus ditapaki manusia dalam perjalanannya menuju Allah. Untuk mencapai taubat yang sesungguhnya dan dirasakan diterima oleh Allah terkadang tidak dapat dicapai satu kali saja. 

b.      Maqam Zuhud         

Secara harfiah al-zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian.[9] sedangkan menurut Harun Nasution zuhud artinya keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Selanjutnya al-Qusyairi mengatakan bahwa di antara para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan zuhud. Menurut al-Ghazali, Zuhud berarti membenci dunia demi mencintai akhirat.[10]
Lebih lanjut ia menjelaskan sikap zuhud dalam melihat dunia dan meninggalkan perhiasannya yang kelak pasti akan musnah adalah salah satu ciri istimewa orang-orang yang saleh dan orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah swt. Ia juga mengatakan hakikat keimanan ini dengan mengatakan dimulai dengan menampakkan hakikat keimanan dengan menjauhkan jiwa dari kemewahan dunia dan menyertai tindakan keimanan dengan keyakinan.

c.       Maqam Sabar

Secara harfiah, sabar berarti tabah hati.  Menurut Zun al-Nun al-Mishry, sabar artinya  menjauhkan dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapatkan cobaan, dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi. Selanjutnya Ibn Atha mengatakan sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap yang baik. Dan pendapat lain mengatakan sabar berarti menghilangkan rasa mendapatkan cobaan tanpa menunjukkan rasa kekal.

d.      Maqam Tawakkal

Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri. Menurut Sahalbin Abdullah bahwa  tawakkal adalah apabila seorang hamba di hadapan Allah seperti bangkai di hadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti semaunya yang memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun al-Qashshar mengatakan tawakkal adalah berpegang teguh pada Allah.[11]  Pengertian tawakkal yang demikian itu sejalan pula dengan yang dikemukakan Harun Nasution. Ia mengatakan tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah. Selamanya dalam keadaan tenteram, jika mendapat pemberian berterima kasih, jika mendapat apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada qada dan qadar Tuhan.

e.       Maqam Khauf (Takut)

Khauf  atau takut menurut pandangan Imam al-Ghazali adalah rasa sakit dalam  hati karena khawatir akan terjadinya sesuatu yang tidak disenangi pada masa datang. Hati seseorang terikat dengan Allah dan dia tidak melihat apa-apa di alam ini selain Allah, sibuk menyaksikan keagungan Allah dan keindahan kehadiran Allah di sisi-Nya secara terus-menerus. Jika ia mengalami hal ini, maka ia tidak akan merasa takut dan tidak pula memiliki harapan, sebab keadaannya telah jauh berada di atasnya. Menurut Imam al-Ghazali, titik terendah dari derajat khauf adalah jika manusia menjauhkan diri dari segala yang haram. Sikap ini disebut dengan wara’. Derajat selanjutnya adalah menjauhi segala sesuatu yang memungkinkannya terjebak dalam  perbuatan  haram  atau perbuatan  yang syubhat (tidak jelas halal-haramnya).

Sikap ini disebut dengan ‘takwa’. Khauf juga bisa mendorong manusia meninggalkan sesuatu yang sebenarnya tidak haram, namun karena ia takut kalau di dalamnya terkandung unsur haram, maka ia meninggalkannya.         

f.       Maqam Ar-Raja’ (Harapan)

Ar-Raja’ atau pengharapan adalah salah satu maqam para salik (penempuh jalan  menuju Allah). Menurut Imam al-Ghazali, Ar-Raja’ adalah suatu keadaan di mana hati merasa nyaman karena menanti sesuatu yang cintai atau didambakan. Keberadaan sesuatu yang dicintai itu pastilah didahului dengan adanya sebab Ar-Raja’telah didefinisikan oleh al-Qusyairi dalam pernyataannya, “Ar-Raja’ adalah keterikatan hati dengan sesuatu yang dicintai yang akan didapatkan pada hari esok.[12]

2.      Hal

Imam al-Ghazali berkata: hal adalah kedudukan yang dimiliki seorang hamba pada suatu waktu. Hamba itu akan menjadi jernih hatinya pada saat berada dalam hal itu dan sesudahnya. Lebih lanjut al-Ghazali mengatakan hal adalah satu waktu dimana seorang hamba pada saat tertentu hatinya berubah, inilah yang disebut dengan hal. Imam At Thusi mengatakan: hal adalah kejernihan yang menempati atau kejernihan yang ditempati hati.[13]

 Ahmad bin Ujaibah mengatakan; amal dilakukan dengan menggerakkan badan dengan melalui mujahadah. Sedangkan hal adalah gerakan hati yang dilakukan dengan bersabar menghadapi penderitaan. Sementara maqam adalah ketenangan hati. Sesuai dengan penjelasan di atas, hal adalah pemberian Allah. Ia bisa berubah dan hilang. Sedangkan maqam hanya bisa didapatkan dengan cara beramal, usaha, dan usaha keras yang dilakukan secara kontinyu dan tidak terputus. Maqam bisa didapatkan oleh seorang hamba setelah ia membersihkan jiwanya dari segala sesuatu yang bisa membuatnya melalaikan Tuhan.





Biografi Benazir Bhutto



Biografi Benazir Bhutto. Wanita kelahiran Karachi, Pakistan, 21 Juni 1953 ini merupakan wanita pertama yang memimpin sebuah negara Muslim di masa pasca kolonial. Benazir yang karismatis terpilih sebagai Perdana Menteri Pakistan pada tahun 1988, namun 20 bulan kemudian, kekuasaannya dijatuhkan oleh presiden negara itu yang didukung militer, Ghulam Ishaq Khan, yang secara kontroversial menggunakan Amandemen ke-8 untuk membubarkan parlemen dan memaksa diselenggarakannya pemilihan umum. Benazir terpilih kembali pada tahun 1993, namun tiga tahun kemudian diberhentikan di tengah berbagai skandal korupsi oleh presiden yang berkuasa waktu itu, Farooq Leghari, yang juga menggunakan kekuasaan pertimbangan khusus yang diberikan oleh Amandemen ke-8.

Benazir adalah anak sulung dari mantan Perdana Menteri Pakistan, Zulfikar Ali Bhutto (yang digantung oleh pemerintah militer Pakistan di bawah keadaan luar biasa) dan Begum Nusrat Bhutto, seorang suku Kurdi Iran. Kakek dari pihak ayahnya adalah Sir Shah Nawaz Bhutto, seorang Sindhi dan tokoh penting dalam gerakan kemerdekaan Pakistan.

Benazir belajar di Taman Kanak-kanak Lady Jennings dan kemudian di Convent of Jesus and Mary di Karachi. Setelah dua tahun belajar di Rawalpindi Presentation Convent, ia dikirim ke Jesus and Mary Convent di Murree. Ia lulus ujian O-level (dalam sistem pendidikan Inggris, setara dengan SMA kelas 1). Pada bulan April 1969, ia diterima di Radcliffe College, Universitas Harvard. Bulan Juni 1973, Benazir lulus dari Harvard dengan gelar dalam ilmu politik. Ia juga terpilih sebagai anggota Phi Beta Kappa. Ia kemudian masuk ke Universitas Oxford pada musim gugur 1973 dan lulus dengan gelar Magister dalam bidang Filsafat, Politik, dan Ekonomi. Ia terpilih menjadi Presiden dari Oxford Union yang bergengsi

Setelah menyelesaikan pendidikan universitasnya, Benazir kembali ke Pakistan, tetapi karena ayahnya dipenjarakan dan kemudian dihukum mati, ia dikenakan tahanan rumah. Setelah diizinkan kembali ke Inggris pada tahun 1984, ia menjadi pemimpin Partai Rakyat Pakistan (PPP), partai ayahnya, di pengasingan, namun ia tidak dapat membuat kekuatan politiknya dapat dirasakan di Pakistan hingga wafatnya Jenderal Muhammad Zia-ul-Haq.

Tanggal 16 November 1988, dalam sebuah pemilihan umum terbuka pertama dalam waktu lebih dari sepuluh tahun, partai Benazir, PPP, berhasil mendapat jumlah kursi terbanyak di Dewan Nasional. Benazir diambil sumpahnya sebagai Perdana Menteri sebuah pemerintahan koalisi pada 2 Desember 1988 dan dengan usia 35 tahun ia menjadi orang termuda serta perempuan pertama yang memimpin sebuah negara dengan mayoritas rakyatnya beragama Islam di zaman modern.

Setelah dipecat oleh presiden Pakistan saat itu dengan tuduhan korupsi, partai Benazir kalah dalam pemilihan umum yang diselenggarakan di bulan Oktober. Ia menjadi pemimpin oposisi sementara Nawaz Sharif menjadi perdana menteri selama tiga tahun berikutnya. Ketika pemilihan umum Oktober 1993 kembali diadakan, yang dimenangkan oleh koalisi PPP, yang mengembalikan Bhutto ke dalam jabatannya hingga 1996, ketika pemerintahannya sekali lagi dibubarkan atas tuduhan korupsi.

Benazir dituduh melakukan korupsi namun belakangan namanya dibersihkan. Ia juga dituduh melakukan pencucian uang negara di bank-bank Swiss, dalam sebuah kasus yang masih tetap berada di pengadilan Swiss. Suaminya, Asif Ali Zardari, mendekam selama delapan tahun di penjara, meskipun ia tidak pernah terbukti bersalah. Ia ditempatkan di sebuah tahanan tersendiri dan mengaku mengalami siksaan. Kelompok-kelompok hak-hak asasi manusia juga mengklaim bahwa hak-hak Zardari telah dilanggar. Mantan perdana menteri Nawaz Sharif baru-baru ini meminta maaf atas keterlibatannya dalam penahanan yang berkepanjangan atas Zardari dan kasus-kasus yang diajukan melawan Benazir. Zardari dibebaskan pada bulan November 2004.

Benazir sejak tahun 1999 tinggal dalam pengasingan di Dubai, Uni Emirat Arab dan di sana ia mengasuh anak dan ibunya yang menderita penyakit Alzheimer. Ia juga berkeliling dunia untuk memberikan kuliah dan tetap menjaga hubungannya dengan para pendukung Partai Rakyat Pakistan.

Benazir dan ketiga orang anaknya (Bilawal, Bakhtawar, dan Asifa) dipersatukan kembali bersama suami serta ayah mereka pada bulan Desember 2004 setelah lebih dari lima tahun terpisah. Benazir telah bersumpah untuk kembali ke Pakistan dan mencalonkan diri kembali sebagai Perdana Menteri dalam pemilihan umum yang dijadwalkan pada November 2007 mendatang. Tanggal 18 Oktober 2007, ia kembali ke Pakistan untuk mempersiapkan diri mengahadapi pemilu. Dalam perjalanan menuju sebuah pertemuan, dua buah bom meledak di dekat rombongan yang membawanya. Benazir selamat, namun sedikitnya 126 orang tewas dalam peristiwa tersebut.


Metode Istinbath Hukum

Istinbath Hukum-Istinbath hukum merupakan sebuah cara pengambilan hukum dari sumbernya. Ilmu yang membahas tentang istinbath hukum (metodologi penggalian hukum), dinamakan ushul fiqh. Untuk memahami syari’at Islam yang dibawa Rasulullah, ulama ushuliyyin mengemukakan dua bentuk pendekatan, yaitu melalui kaidahkaidah kebahasaan dan melalui pendekatan maqashid al-syari’ah (tujuan syara’ dalam menetapkan hukum).

  Bentuk-bentuk Istinbath Hukum

Untuk memahami teks-teks ini secara tepat, para ulama telah menyusun semantik khusus untuk keperluan istinbath hukum. Yaitu :

1.       Metode Bayani

disebut dengan al-qawaid al-ushulliyah al-lughawiyyah, atau dilalat al-lafadz, yaitu metode istinbath melalui penafsiran terhadap kata yang digunakan dalam nash dan susunan kalimatnya sendiri. Para ulama membagi pembahasan tentang makna lafadz kepada empat bagian, yaitu:

a.       dari segi cakupan artinya, dibagi menjadi tiga, yaitu khas, amm dan musytarak

b.      dari segi artinya dalam pemakaian, terbagi empat, yaitu haqiqat, majaz, sharih dan kinayah

c.    dari segi kemudahan dan kesulitan memahaminya, terbagi menjadi  dalil yang jelas ( dhahir, nash, mufassar dan muhkam) dan dalil yang samar (khafy, musykil, mujmal dan mutasyabih)

d.      dari segi cara menemukan makna yang dimaksud oleh teks, terbagi menjadi ibarat alnash, isyarat al-nash dan dilalat aliqtidha’

Contoh pembahasan metode bayani sebagaimana lafadz khas yang muqayyad yaitu lafadz khash yang diberi lafadz yang dapat mempersempit keluasan artinya, adalah firman Allah dalam surat al-Nisa ayat 92:

“Dan barang siapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba shaya yang beriman serta membayar diat yang diserhkan kepada keluarganya …”. (Q.S. al-Nisa’: 92)


Pada ayat tersebut terdapat tiga lafadz khash yang muqayyad. Pertama, lafadz qatala (membunuh) yang diqayyidkan dengan lafadz khata’an (karena salah). Sehingga dengan demikian kewajiban membayar kafarat yang semacam itu dibebankan terhadap pembunuhan yang dilakukan karena kesalahan, bukan pembunuhan karena yang lain. 

Kedua, lafadz raqabalin (hamba sahaya) yang diqayyidkan dengan mukhminatin (yang beriman). Oleh karena itu, tidaklah cukup memerdekakan hamba sahaya yang bukan orang beriman. Ketiga lafadz diyatun (denda) yang diqayyidkan dengan lafadz musallamatun (yang diserahkan). Dengandemikian denda itu harus diserahkan kepada keluarga orang yang terbunuh.

2.      Metode Ta’lili

Merupakan metode yang berusaha menemukan illat (alasan) dari pensyariatkan suatu hukum. digunakan untuk mengetahu apakah sesuatu ketentuan dapat diteruskan berlaku atau sudah sepantasnya berubah karena illat yang mendasarinya telah bergeser.

 Dirumuskan dalam sebuah kaidah kulliyah; al-hukm yadurru ma’a al-illat wujudan wa’adaman. Banyaknya ketentuan fiqh yang dapat dilihat dari dua segi; pertama, pemahaman tentang illat hukum itu sendiri yang berubah. Kedua, pemahaman terhadap illat masih tetap seperti sediakala.

Unsur dan syarat qiyas; pertama, untuk masalah pokok (maqis alaih) harus mempunyai ketentuan yang berdasarkan dalil nash dan tidak ada keterangan bahwa ketentuan tersebut berlaku dan Kedua, untuk masalah baru (maqis) harus tidak ada ketentuan nash yang mengaturnya secara langsung, Ketiga, untuk illat yang ada pada masalah pokok betul-betul ditemukan pada masalah baru dan relatif sama kualitasnya.

Sedangkan kekuatan illat yang tidak sama ada yang jelas dan ada yang tersembunyi itu karena ada pertimbangan khusus. dinamakan istihsan atau qiyas khafi.

3.      Methode Istishlahi

perpanjangan dari metode ta’lili, Dimaksudkan dengan istihslahi atau mashalih mursalah adalah penetapan suatu ketentuan berdasarkan asas kemaslahatan yang diperoleh dari dalil-dalil umum, karena untuk masalah tersebut tidak ditemukan dalil-dalil khusus. Dalam menggunakan metode ini ada dua hal penting yang harus diperhatikan, yaitu:

a.    sasaran-sasaran yang ingin dicapai dan dipertahankan oleh syari’at melalui aturan-aturan yang dibebankan kepada manusia ( dharuriyah, hajiyyah dan tahsiniyah ).

Dharuriyah yakni hal-hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia yang harus ada demi kemaslahatan mereka. Hajjiyah yakni hal-hal yang sangat dihajatkan dalam kehidupan manusia untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dan menolak halangan dan Tahsiniyah yaitu tindakan dan sifat yang harus dijauhi oleh akal yang sehat, dipegangi oleh adat kebiasaan yang bagus dan dihajati oleh kepribadian yang kuat.

b.     persyaratan penggunaan metode istishlahi.  Masalah yang ingin diketahui kedudukan hukumnya, dikembalikan kepada dalil-dalil umum yang biasanya merupakan gabungan makna dari beberapa ayat al-Qur'an, hadits atau kedua-duanya.

Urgensi Istinbath Hukum dan Aplikasinya

Periode awal yang muncul dan karya-karya yang terkemudian merupakan hasil perkembangan sejarah. Terdapat dua methode dalam pendekatan sejarah, yaitu historicocritical method dan hermeneutic method.

Historicocritical method merupakan sebuah pedekatan kesejaharan yang padaprinsipnya bertujuan menemukan fakta-fakta obyektif secara utuh dan ncari nilai-nilai tertentu yang terkandung di dalamnya. Sedangkan hermeneutic method adalah metode untuk memahami dan menafsirkan teks-teks kuno seperti teks kitab suci, sejarah dan hukum.

Contoh aplikasi kedua metode tersebut ada dalam menghukumi poligmai. Perdebatan poligami dimulai dari pemahaman terhadap surat al-Nisa ayat 3:

“Kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.” (Q.S. al-Nisa: 3).22
Ayat itulah yang dianggap sebagai dasar pembolehkan poligami. Tetapi, menurut Fazlur Rahman, poligami merupakan suatu yang di luar etika manusia. Rahman berpendapat bahwa al-Qur'an dalam menerima poligami hanya bersifat sementara dan membuat perbaikan terhadapnya lewat rancangan-rancangan hukum. Pada hakikatnya cita-cita moral al-Qur'an menuju pada konsep monogami.23 Pendapat tersebut, Rahman kemukakan berdasarkan argumentasi al-Qur'an sendiri yang tercantum dalam surat al-Nisa ayat 129:

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antra isteri-isterimu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung ….”. (Q.S. al-Nisa: 129)
Menurut Rahman, tidak mungkin seorang suami dapat berbuat adil terhadap isteri-isterinya meski ia sangat meninginkannya sebagaimana tercantum dalam ayat tersebut. Bagi Rahman, secara jelas al-Qur'an menyatakan mustahil mencintai lebih dari seorang wanita dalam acara yang sama. Memang al-Qur'an membenarkan poligami, tetapi itu merupakan untuk menerima sementara struktur sosial Arab tentang kebiasaan hidup berpoligami, tetapi pada hakikatnya, idea moral al-Qur'an adalah monogami.

Salah satu tujuan hukum Islam adalah untuk menciptakan kamslahatan manusia baik
di dunia maupun di akhirat  membawa maslahat bagi umat Islam, khususnya pemeliharaan stabilitas politik, memerangi orang-orang murtad (ahl al-riddat).

Abu Hanifah dan Syafi’ipun mempraktekkannya, baik dilakukan secara sadar atau tidak. Apalagi Hanafi yang dikenal sebagai seorang yang paling menonjol dalam menggunakan proporsi akal dalam ijtihadnya, sangat sulit untuk mengatakan bahwa ia tidak mempertimbangkan maslahat. Prinsip istihsan yang ia kembangkan, kalau dianalisa lebih jauh dalam pembinaan hukum Islam (fiqh), justru berpijak atas dasar maslahat. Sedangkan al-Syafi’i, praktek qiyas yang dilakukannya seringkali berdasar atas maslahat.

Implementasi Lisensi Wajib TRIPs Agreement dalam Produk Pharmacy di Brazil

  picture: https://www.exyip.com/2021/06/24/how-the-trips-agreement-impacts-global-intellectual-property-policies/ A.     Pendahuluan Perj...