BIOGRAFI IMAM
AL GHAZALI- Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin
Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali. Kadang-kadang di ucapkan Al-Ghozzali (dua) kata ini yang berasal dari
kata Ghazzal, yang artinya tukang pintal benang karena pekerjaan ayahnya memintal
benang wol sedangkan al ghazali yang kedua, diambil dari ghazalah, nama
Kampung kelahiran Al- Ghazali. Yang
terakhir ini inlah yang banyak dipakai.[1]
Sedangkan
Al-Ghazali lahir di Thus bagian dari kota Kurasan, Irak pada 450 H (1056 M).
Ayahnya tergolong orang yang hidup sangat sederhana sebagai pemintal benang,
tetapi mempunyai semangat keagamaan yang tinggi seperti terlihat pada
simpatiknya kepada ulama’ dan mengharapkan anaknya menjadi ulama’ yang selalu
memberi nasehat kepada umat. Itulah sebabnya, ayahnya sebelum wafat menitipkan
anaknya, Al-Ghozali dan audaranya, Ahmad
yang ketika itu masih kecil, kepada seorang ahli tasawuf untuk mendapatkan
didikan dan bimbingan.[2]
Diperkirakan
Al-Ghozali, hidup dalam suasana kesederhanaan sufi tersebut sampai usia 15
tahun (450-465 H).
Imam Al-Ghazali lebih dikenal sebagai ulama
thasawuf dan akidah. Oleh sebab itu sumbangannya terhadap bidang falsafah dan
ilmu pengetahuan lain tidak boleh dinafikan. Al-Ghazali merupakan seorang ahli
Sufi yang bergelar "Hujjatul Islam". Abu Hamid Ibnu Muhammad
Al-Tusi Al-Ghazali adalah tokoh yang dilahirkan di Thus, Parsi pada tahun 450
Hijrah. Sejak kecil lagi, beliau telah menunjukkan keupayaan yang luar biasa
menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan. Beliau bukan saja produktif dari
segi menghasilkan buku dan karya tetapi merupakan seorang ahli fikir Islam yang
terulung.
Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan
begitu mendalam sehingga mendorongnya menggembara dan merantau dari satu tempat
ke tempat yang lain untuk berguru dengan ulama-ulama yang hidup pada zamannya.
Sewaktu berada di Baghdad, Al-Ghazali telah dilantik sebagai Mahaguru
Universitas Baghdad. Pada tahun 488 H (1095 M) Al-Ghozali dilanda
keragu-raguan, skeptis, terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (hukum, teologi
dan filsafat), kegunaan pekerjaanya, dan karya-karya yang dihasilkannya,
sehingga ia menderita penyakit selama 2 bulan, dan sulit diobati. Karena itu,
Al-Ghozali tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai guru besar di madrasah
Nizhamiyah. Akhirnya ia menimggalkan Baghdad menuju kota Damaskus.
Selama kira-kira dua tahun Al-Ghozali di kota
ini, ia melakukan uzlah, riyadhah, dan mujahadah. Kemudian ia pindah ke bait
al-Maqdis, Palestina untuk melaksanakan ibadah serupa, setelah itu tergerak
hatinya untuk menunaikan ibadah haji dan menziarahi maqam Rasulullah.[3]
Sepulang dari tanah suci, Al-Ghozali
mengunjungi kota kelahirannya, Thus disini pun ia tetap berkhalwat. Keadaan
skeptis Al-Ghozali berlangsung selama 10 tahun4.
Pada periode itulah ia menulis karyanya yang terbesar ihya Ulumudin
Karena desakan penguasa saljuk. Al-Ghozali mengajar
kembali pada madrasah Nizhamiyah di Naisabur, tetapi hanya berlangsung selama 2
tahun, kemudian ia kembali ke Thus untuk mendirikan madrasah bagi para fuqaha’,
dan sebuah Zawiyah atau khanaqah untuk para mutasawwifin. Imam Al
-Ghazali yang bergelar Hujjatul Islam meninggal dikota kelahirannya Thus pada
hari Senin 14 Jumadil Akhir 505 H (111 M).
CORAK PEMIKIRAN TASAWUF IMAM
AL-GHAZALI
Di dalam
tasawufnya, Imam al-Ghozali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan
al-Qur’an dan Sunnah Nabi, ditambah dengan doktrin Ahlussunnah Wal Jamaah yang
kebangkitannya kembali dipelopori oleh al-Imam Abu al-Hasan Ali bin Ismail
al-Asy’ari. Dari paham tasawufnya itu, beliau menjauhkan semua kecenderungan genotis
yang mempengaruhi para filosuf Islam, sekte Isma'iliyah, aliran Syi’ah,
Ikhwan al-Shofa, dan lain-lain. Beliau menjauhkan tasawufnya dari paham
ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan. Itulah sebabnya
dapat dikatakan bahwa tasawuf al-Ghozali benar-benar bercorak Islam.
Corak
tasawufnya lebih ditekankan pada adab dan tatakrama. Beliau berkata: Adab
adalah pendidikan dhohir dan bathin, oleh karenanya apabila seorang hamba telah
berbuat baik secara dhohir dan bathin maka ia telah menjadi sufi yang beradab.
Barang siapa selalu berperilaku sesuai dengan Sunah maka Allah SWT akan
menerangi hatinya dengan cahaya kemarifatan karena tidak ada kedudukan yang
lebih mulia dari mengikuti Nabi Muhammad yang dicintai Allah dalam perintah,
perbuatan, dan ahlaknya, baik dalam niat, ucapan maupun perbuatan.
Tasawuf
Al - Ghazali menghimpun akidah, syariat dan akhlak dalam suatu sistematika yang
kuat dan amat berbobot, karena teori - teori tasawufnya lahir dari kajian dan
pengalaman pribadi setelah melaksanakan suluk dalam riyadhah dan ujahadah yang intensif dan berkesinambungan,
sehingga dapat dikatakan bahwa seumur hidupnya ia bertasawuf. Dalam
pandangannya, Ilmu Tasawuf mengandung 2 bagian penting, pertama menyangkut ilmu mu'amalah dan bagian kedua
menyangkut ilmu mukasyafah, hal ini diuraikan dalam karyanya Ihya 'Ulumiddin,
Al -Ghazali menyusun menjadi 4 bab utama
dan masing-masing dibagi lagi kedalam 10 pasal yaitu :
·
Bab
pertama : tentang ibadah (rubu' al - ibadah)
·
Bab
kedua : tentang adat istiadat (rubu' al - adat)
·
Bab
ketiga : tentang hal -hal yang mencelakakan (rubu' al - muhlikat)
·
Bab
keempat : tentang maqamat dan ahwal (rubu' al - munjiyat)
ersihan diri
dan pembeningan hati terus menerus sehingga mampu mencapai musyahadah. Oleh
karena itu ia menekankan pentingnya pelatihan jiwa, penempatan moral atau
akhlak yang terpuji baik disisi manusia maupun Tuhan.[4]
AJARAN TASAWUF AL-GHAZALI
Di
dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur'an dan
sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-jama’ah. Corak
tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral yang dapat di
lihat dalam karya-karyanya seperti Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan
Al-Amal, Bidayah Al Hidayah, M’raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad. Al Ghazali menilai
negatif terhadap syathahat dan ia sangat menolak paham hulul dan utihad
(kesatuan wujud), untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni
pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan
dengan-Nya
a. Pandangan
Al-Ghazali tentang Ma’rifat
Menurut
Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui
peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada, alat untuk memperoleh
ma’rifat bersandar pada sir-qolb dan roh. Pada saat sir, qalb dan roh yang
telah suci dan kosong itu dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat mengetahui
rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya akan mengalami iluminasi (kasyf) dari
Allah dengan menurunkan cahayanya kepada sang sufi sehingga yang dilihatnya
hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke tingkat ma’rifat.
b. PandanganAl-Ghazali tentang As-As’adah
Menurut
Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah
(ru’yatullah) di dalam kitab Kimiya As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah
(kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu
sesuai dengan ciptaannya; nikmatnya mata terletak pada ketika melihat gambar
yang bagus dan indah, nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara merdu.
MA’RIFATULLAH DALAM WACANA
Menurut Abdul
Qadir al-Jailani, Ma’rifat adalah tidak dapat dibeli atau dicapai melalui usaha
manusia. Ma’rifat adalah anugerah dari Allah swt. Setelah seseorang berada pada
tingkatan ma’rifat, maka akan mengenal rahasia-rahasia Allah. Allah memperkenalkan rahasia-rahasia-Nya
kepada mereka hanya apabila hati mereka hidup dan sadar melalui zikrullah. Dan
hati memiliki bakat, hasrat, dan keinginan untuk menerima rahasia Ketuhanan.
Menurut Tgk.
H. Abdullah Ujong Rimba ma’rifat dalam pandangan
sufi adalah mengetahui bagaimana hakikat Allah yang sebenarnya. Para sufi
membagi ilmu mereka kepada empat bagian yaitu; ilmu syari’at, ilmu thariqat, ilmu
hakikat, dan ilmu ma’rifat. Tujuan terakhir dari sufi ahli tharikat adalah ilmu
ma’rifat yakni ilmu mengetahui hakikat Allah karena demikian zat Allah dan sifat-sifat-Nya
dijadikan sebagai maudhu’ ilmu tasawuf yaitu ilmu latihan untuk mencapai
hakikat guna untuk mencapai ma’rifat (mengetahui hakikat Allah swt).
Ma’rifatullah
menurut konsep al-Ghazali adalah berupaya untuk mengenal Tuhan sedekat-dekatnya
yang diawali dengan pensucian jiwa dan zikir kepada Allah secara terus-menerus,
sehingga pada akhirnya akan mampu melihat Tuhan dengan hati nuraninya.31 Ma’rifah
yang paling lezat adalah yang paling mulia daripadanya. Kadar kemuliaannya,
menurut kadar kemuliaan ilmu yang telah diketahuinya. Jikalau dalam ilmu yang
diketahui itu lebih agung, lebih sempurna, lebih mulia dan lebih besar, maka mengetahuinya
itu akan menjadi ilmu yang paling lezat, paling mulia dan yang paling baik.
Maqam Dan Hal Ma’rifatullah
Ma’rifatullah
menurut konsep al-Ghazali adalah berupaya untuk mengenal Tuhan edekat-dekatnya yang diawali dengan pensucian
jiwa dan zikir kepada Allah secara
erus-menerus, sehingga pada akhirnya akan mampu melihat Tuhan dengan
hati sanubarinya.
Ma’rifatullah
adalah sebagai pengarah yang akan meluruskan orientasi hidup seorang muslim.
Dari sinilah dia menyadari bahwa hidupnya bukan untuk siapapun kecuali hanya
untuk Allah, jika seseorang hidup dengan menegakkan prinsipprinsip
ma’rifatullah ini, insya Allah alam semesta ini akan Allah tundukkan untuk
melayaninya. Misalnya dalam beramal bukan untuk dilihat oleh orang lain agar
mendapatkan pujian, bekerja bukan karena ada pemimipin di depan baru akan
bekerja.
Maksudnya apapun amalan dan pekerjaan yang dilakukan
sematamata untuk endapatkan keridhaan
dari Allah swt. Dengan fasilitas itulah, manusia akan emperoleh kemudahan dalam setiap urusan yang
dihadapi dan diperbuatnya. Menurut al-Ghazali, seorang muslim selayaknya
memahami bahwa keindahan cinta yang paling hakiki adalah ketika mencintai Allah
swt. Pondasi utama yang harus dibangun oleh seorang muslim untuk menggapai
keindahan cinta tersebut dengan mengenal Allah.
Bagi seorang
muslim, ma’rifatullah
adalah bekal untuk meraih prestasi hidup setinggi-setingginya. Sebaliknya, tanpa ma’rifatullah, tidak
mungkin seorang muslim memiliki keyakinan dan keteguhan hidup. Berdasarkan
penjelasan di atas dalam kondisi ini, maka Allah kemudian mengisi hati orang
tersebut dan memenuhi hatinya dengan rahmat, memancarkan nur-Nya, melapangkan
dada, membuka padanya rahasia alam malakut, tersingkaplah dari hati orang
tersebut kelengahan sebab kelembutan rahmat-Nya, serta berkilaulah di sana
hakikat masalah-masalah ilahiyat. Para nabi dan waliullah memperoleh
pengetahuan dan dadanya terpenuhi oleh nur dengan cara serupa ini.
Mereka
memperolehnya tanpa belajar dan membaca, tetapi dengan zuhud di dunia dan
membebaskan diri dari belenggunya, mengosongkan hati dari kotoran-kotorannya,
serta menghadap secara utuh kepada Allah. Ini bisa terjadi karena barangsiapa
keberadaannya untuk Allah, maka Allah juga baginya.
ٞ ليۡوَفَ هۦِۚبِّرَّ نمِّ رٖونُ ىٰلَعَ وَهُفَ مِلَٰسۡإِلۡلِ هۥُرَدۡصَ هُلَّلٱ حَرَشَ نمَفَأَ ٢٢ نٍيبِمُّ لٖلَٰضَ يفِ كَئِلَٰٓوْأُ هِۚلَّلٱ رِكۡذِ نمِّ مهُبُولُقُ ةِيَسِقَٰلۡلِّArtinya: Maka Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)?...” (Q.S. Az-Zumar: 22)
Berdasarkan
penjelasan ayat di atas, sama-sama berbicara tentang cahaya Tuhan. Cahaya
tersebut ternyata dapat diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang dia kehendaki.
Mereka mendapatkan cahaya akan dengan mudah mendapatkan petunjuk hidup, sedangkan merekan yang tidak mendapatkan cahaya
akan mendapatkan kesesatan hidup. Dalam ma’rifah kepada Allah yang didapat
seorang sufi adalah cahaya. Dengan demikian, ajaran ma’rifah sangat
dimungkinkan terjadi dalam Islam.
1. Maqam
Pengertian
dan macam-macam maqam.
Secara harfiah
maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal
mulia.[5]
Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh
oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah.[6]
Dalam bahasa Inggris aqamat dikenal
dengan istilah stages yang berarti tangga.
a. Maqam Taubat
Al-Taubah
berasal dari bahasa Arab taba, yatubu, taubatan yang artinya kembali.34
Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas
segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan
mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal
kebajikan. Harun Nasution, mengatakan taubat yang dimaksud sufi ialah taubat
yang sebenarnya, taubat yang tidak akan membawa kepada dosa lagi.[7]
Menurut imam al-Ghazali taubat adalah kembali
(ruju’). Dengan demikian, taubat kembali dari yang dicela syara’ menuju pada
sesuatu yang dituju syara’.[8]
Taubat adalah rumah tingkat pertama bagi seorang salik. Ia adalah ibarat batu
pondasi pertama yang harus ditapaki manusia dalam perjalanannya menuju Allah.
Untuk mencapai taubat yang sesungguhnya dan dirasakan diterima oleh Allah
terkadang tidak dapat dicapai satu kali saja.
b. Maqam Zuhud
Secara
harfiah al-zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian.[9] sedangkan menurut Harun Nasution zuhud artinya keadaan
meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Selanjutnya al-Qusyairi mengatakan
bahwa di antara para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan zuhud. Menurut
al-Ghazali, Zuhud berarti membenci dunia demi mencintai akhirat.[10]
Lebih lanjut
ia menjelaskan sikap zuhud dalam melihat dunia dan meninggalkan perhiasannya
yang kelak pasti akan musnah adalah salah satu ciri istimewa orang-orang yang
saleh dan orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah swt. Ia juga mengatakan
hakikat keimanan ini dengan mengatakan dimulai dengan menampakkan hakikat
keimanan dengan menjauhkan jiwa dari kemewahan dunia dan menyertai tindakan
keimanan dengan keyakinan.
c. Maqam Sabar
Secara harfiah,
sabar berarti tabah hati. Menurut Zun al-Nun al-Mishry, sabar
artinya menjauhkan dari hal-hal yang
bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapatkan cobaan,
dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam
bidang ekonomi. Selanjutnya Ibn Atha mengatakan sabar artinya tetap tabah dalam
menghadapi cobaan dengan sikap yang baik. Dan pendapat lain mengatakan sabar
berarti menghilangkan rasa mendapatkan cobaan tanpa menunjukkan rasa kekal.
d. Maqam Tawakkal
Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri. Menurut Sahalbin
Abdullah bahwa tawakkal adalah apabila seorang
hamba di hadapan Allah seperti bangkai di hadapan orang yang memandikannya, ia
mengikuti semaunya yang memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun
al-Qashshar mengatakan tawakkal adalah berpegang teguh pada Allah.[11] Pengertian
tawakkal yang demikian itu sejalan pula dengan yang dikemukakan Harun Nasution.
Ia mengatakan tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah.
Selamanya dalam keadaan tenteram, jika mendapat pemberian berterima kasih, jika
mendapat apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada qada dan qadar Tuhan.
e. Maqam Khauf (Takut)
Khauf atau takut menurut pandangan Imam al-Ghazali
adalah rasa sakit dalam hati karena
khawatir akan terjadinya sesuatu yang tidak disenangi pada masa datang. Hati
seseorang terikat dengan Allah dan dia tidak melihat apa-apa di alam ini selain
Allah, sibuk menyaksikan keagungan Allah dan keindahan kehadiran Allah di
sisi-Nya secara terus-menerus. Jika ia mengalami hal ini, maka ia tidak akan
merasa takut dan tidak pula memiliki harapan, sebab keadaannya telah jauh
berada di atasnya. Menurut Imam al-Ghazali, titik terendah dari derajat khauf
adalah jika manusia menjauhkan diri dari segala yang haram. Sikap ini disebut
dengan wara’. Derajat selanjutnya adalah menjauhi segala sesuatu yang
memungkinkannya terjebak dalam perbuatan
haram atau perbuatan
yang syubhat (tidak jelas halal-haramnya).
Sikap ini
disebut dengan ‘takwa’. Khauf juga bisa mendorong manusia meninggalkan sesuatu
yang sebenarnya tidak haram, namun karena ia takut kalau di dalamnya terkandung
unsur haram, maka ia meninggalkannya.
f. Maqam Ar-Raja’ (Harapan)
Ar-Raja’ atau
pengharapan adalah salah satu maqam para salik (penempuh jalan menuju Allah). Menurut Imam al-Ghazali,
Ar-Raja’ adalah suatu keadaan di mana hati merasa nyaman karena menanti sesuatu
yang cintai atau didambakan. Keberadaan sesuatu yang dicintai itu pastilah
didahului dengan adanya sebab Ar-Raja’telah didefinisikan oleh al-Qusyairi
dalam pernyataannya, “Ar-Raja’ adalah keterikatan hati dengan sesuatu yang
dicintai yang akan didapatkan pada hari esok.[12]
2.
Hal
Imam
al-Ghazali berkata: hal adalah kedudukan yang
dimiliki seorang hamba pada suatu waktu.
Hamba itu akan menjadi jernih hatinya pada saat berada dalam hal itu dan
sesudahnya. Lebih lanjut al-Ghazali mengatakan hal adalah satu waktu dimana
seorang hamba pada saat tertentu hatinya berubah, inilah yang disebut dengan
hal. Imam At Thusi mengatakan: hal adalah kejernihan yang menempati atau kejernihan
yang ditempati hati.[13]
Ahmad bin Ujaibah mengatakan; amal dilakukan
dengan menggerakkan badan dengan melalui mujahadah. Sedangkan hal adalah
gerakan hati yang dilakukan dengan bersabar menghadapi penderitaan. Sementara maqam
adalah ketenangan hati. Sesuai dengan
penjelasan di atas, hal adalah pemberian Allah. Ia bisa berubah dan hilang.
Sedangkan maqam hanya bisa didapatkan dengan cara beramal, usaha, dan usaha
keras yang dilakukan secara kontinyu dan tidak terputus. Maqam bisa didapatkan
oleh seorang hamba setelah ia membersihkan jiwanya dari segala sesuatu yang
bisa membuatnya melalaikan Tuhan.