Masyarakat adat jawa merupakan salah satu
masyarakat yang memiliki budaya yang cukup beragam dan cenderung kental dengan keyakinan
adat dan budaya. Berbagai upacara adat, ramalan dan juga budaya jawa masih
hidup di tengah-tengah masyarakat jawa modern. Salah satu kepercayaan yang
masih sangat kental di masyarakat adalah mengenai keyakinan atas
larangan-larangan yang terdapat dalam aturan adat jawa. Istilah ini sering
disebut dengan pamali.
Menurut masyarakat jawa, apabila
seseorang melanggar hal-hal yang dianggap pamali maka akan menimbulkan kesialan
ataupun kemalangan. Salah satu hal pamali yang terdapat dalam aturan pernikahan
adalah pernikahan persilangan saudara atau biasa disebut dadung kepuntir.
Perkawinan Dadung Kepuntir merupakan
perkawinan yang dilakukan oleh dua keluarga, yang kedua keluarga saling menikahkan antara adik
dengan kakak dan kakak
dengan adiknya.
Sebagaimana istilah-istilah dalam adat, perkawinan dadung kepuntir diistilahkan
secara turun temurun oleh nenek moyang masyarakat adat jawa. Ketika perkawinan dadung
kepuntir dilakukan, maka akan menimbulkan pergunjingan dalam masyarakat dan
mempersulit kehidupan dalam berumah tangga. Terutama terhadap keluarga besar
kedua belah pihak.
Dalam islam, perkawinan
juga memiliki aturan yang tidak boleh dilanggar oleh pemeluknya. Menurut hukum
islam, terdapat beberapa wanita yang tidak boleh dinikahi. Aturan ini tercantum
dalam al-Qur’an surat an-nisa ayat 23 yang berbunyi,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ
الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ
الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ
مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ
بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ
أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Yang artinya:
Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu
yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu
yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua);
anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan)
dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Terdapat dua aturan larangan perkawinan dalam Islam . Yakni larangan yang berlaku ‘selamanya’ dan larangan yang
berlaku hanya pada waktu tertentu (sementara). Wanita yang dilarang untuk
dinikahi selamanya disebut mahram muabbad, sedangkan wanita yang
dilarang untuk dinikahi sementara disebut mahram muaqqad.
Mahram muabbad terbagi menjadi tiga kelompok. Yakni mahram
karena hubungan kekerabatan, hubungan perkawinan, dan hubungan persusuan.
Wanita yang dilarang dinikahi karena
hubungan kekerabatan yakni:
a. Ibu, ibunya ibu, ibunya ayah dan
seterusnya garis lurus ke atas;
b. Anak perempuan, anak perempuannya anak
laki-laki, anak perempuannya anak perempuan dan seterusnya garis lurus ke
bawah;
c. Saudara perempuan sekandung, seayah,
maupun seibu;
d. Saudara perempuan ayah baik hubungan
kepada ayah kandung, seayah atau seibu. Termasuk saudara perempuan kakek
kandung, seayah atau seibu, dan seterusnya garis lurus ke atas.
e. Saudara perempuan ibu, baik
hubungannya kepada ibu secara kandung, seayah, atau seibu. Termasuk saudara
perempuan nenek kandung, seayah atau seibu dan seterusya garis lurus ke atas;
f. Anak perempuan saudara laku-laki, baik
sekandung, seayah atau seibu. Cucu perempuan saudara laki-laki, baik sekandung,
seayah atau seibu, dan seterusnya garis lurus ke bawah.
g. Anak perempuan saudara perempuan baik sekandung, seayah atau seibu. Cucu
perempuan saudara laki-laki, baik sekandung, seayah atau seibu, dan seterusnya
garis lurus ke bawah.
Ketujuh kategori di atas juga berlaku
sebaliknya bagi pihak perempuan.
Kategori selanjutnya yakni dari karena
hubungan perkawinan (musaharah). Terdapat empat wanita yang selama
dilarang dinikahi oleh laki-laki karena hubungan perkawinan, yakni ibu tiri,
menantu, mertua, dan anak tiri. Berbeda dengan tiga wanita lain yang dilarang
untuk dinikahi karena hubungan perkawinan, anak tiri tidak boleh dinikahi
ketika telah terjadi hubungan badan dengan istri (ibu dari anak tersebut) atau telah digauli.
Ketentuan ini
terdapat dalam surat an-nisa ayat 22 yang berbunyi,
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۚ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah
dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya
perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang
ditempuh).
Kategori terakhir wanita yang dilarang
untuk dinikahi selamanya adalah karena hubungan sepersusuan. Mereka adalah ibu
susuan, anak susuan, saudara sepersusuan, paman susuan, bibi susuan, anak
saudara laki-laki atau perempuan susuan.
Sedangkan wanita yang haram dinikahi
sementara (muaqqat) adalah,
1. Dua wanita bersaudara (kakak adik
kecuali setelah meninggal salah satunya);
2. Mantan istri yang telah ditalak dua
kali (kecuali setelah menikah satu kali dengan orang lain kemudian menikah
kembali);
3. Wanita pezina sebelum bertaubat
4. Wanita yang sedang dalam ikatan
laki-laki lain meskipun masih dalam status pinangan ataupun masa iddah (jangan
jadi pebinor)
5. Dalam keadaan ihram
6. Perbedaan agama (bila perempuannya ahlul
kitab, laki-lakinya islam tidak apa-apa)
7. wanita kelima (meskipun masih memiliki
empat istri)
Pada berbagai kategori di atas,
pernikahan silang antar saudara tidak termasuk dalam perkawinan yang dilarang. Oleh
karena itu pernikahan persialangan antar saudara tidaklah dilarang dalam hukum
islam. Lalu bagaimana dengan aturan undang-undang yang merupakan aturan hukum
positif yang berlaku di Indonesia?
Dalam Pasal
2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Jadi, dalam hukum
positif pun perkawinan dadung kepuntir tidak dilarang dan boleh
dilaksanakan :))
Teman-teman bisa cek di undang-undang
perkawinan langsung klik link di bawah
DOWNLOAD DI SINI
Sumber:
Syaiful,
implikasi pemahaman ‘dadung kepuntir’ terhadap pola hubungan dalam keluarga,
Skripsi, UIN Maulana Malik Ibrahim, 2011
Tafsirq.com
abdul
wahab khallaf, usul fiqh, (Jakarta; PT Rineka Cipta: 2015)
www.hukumonline.com
sumber gambar: