Thursday, February 25, 2021

Isbath Nikah

 Pengertian

Isbath nikah adalah pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat agama islam, akan tetapu tidak dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau pegawai pencatat nikah yang berwenang

 

Dokumen yang diperlukan

1.      surat keterangan dari KUA setempat yang menyatakan bahwa pernikahan tersebut belum dicatatkan;

2.      surat keterangan dari kepala desa/lurah yang menerangkan bahwa pemohon telah menikah;

3.      fotokopi KTP pemohon isbat nikah;

4.      membayar biaya perkara; dan

5.      berkas lain yang akan ditentukan hakim dalam persidangan.

 

Dasar Hukum

1.      Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

2.      Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak  sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang;

3.      Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

Wali Adhal

 Pengertian

Wali adhol (adlal) adalah wali nasab yang membangkang (menolak) untuk menikahkan puterinya dengan alasan tertentu.

 

Dokumen Pengajuan Wali adhol

·         Surat Permohonan

·         Fotocopy surat nikah orang tua Pemohon 1 lembar yang dimateraikan di kantor pos

·         Fotocopy KTP calon pengantin laki-laki dan perempuan masing-masing 1 lembar folio tidak dipotong

·         Surat keterangan kepala KUA setempat yang menerangkan penolakan karena adhol

 

Dasar Hukum

1.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;

2.    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

3.    Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

4.    Kompilasi Hukum Islam.


 

Perwalian

 Pengertian

Perwalian (kekuasaan perwalian) merupakan lembaga yang menggantikan kekuasaan orang tua terhadap anak yang belum mencapai usia (umur) tertentu atau belum kawin. Anak yang belum mencapai usia tertentu yaitu anak yang belum berusia 21 tahun menurut ketentuan Pasal 330 KUH Perdata, belum berusia 18 tahun menurut ketentuan Pasal 50 ayat (1) UU No. 1/1974 atau belum berusia 21 tahun menurut ketentuan Pasal 107 ayat (1) KHI. Menyangkut ketentuan belum kawin, hal tersebut dikenal di dalam KUH Perdata, UU No. 1/1974 dan KHI.

Kekuasaan perwalian meliputi kekuasaan terhadap pribadi dan benda/harta kekayaan anak. Pelaksanaan kekuasan perwalian oleh wali diharapkan memberi manfaat bagi anak dan juga harta kekayaannya. Demikian pula halnya jika kekuasaan tersebut berakhir, maka tidak menimbulkan kerugian terhadap pribadi anak dan atau harta kekayaannya.

Menurut Pasal 1 huruf h KHI, perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, atau kedua orang tua masih hidup tetapi tidak cakap melakukan perbuatan hukum

Perwalian menurut hukum perdata terdiri dari 3 (tiga) macam, yaitu; Pertama, perwalian menurut undang-undang (wettelijke voogdij) yaitu perwalian oleh orang tua yang masih hidup setelah salah seorang meninggal dunia terlebih dahulu (Pasal 345 KUH Perdata). Kedua, perwalian karena wasiat orang tua (testtamentair voogdij) yaitu perwalian yang dengan surat wasiat oleh salah seorang dari orang tuanya (Pasal 355 KUH Perdata). Ketiga, perwalian yang ditunjuk oleh hakim (datieve voogdij) (Pasal 359 KUH Perdata).

Perwalian menurut undang-undang yaitu jika satu orang tua meninggal dunia, maka perwalian demi hukum dilakukan oleh orang tua yang hidup. Perwalian dengan wasiat yaitu tiap orang tua yang melakukan kekuasaan orang tua, berhak mengangkat seorang wali bagi anak jika ia meninggal dunia. Perwalian datif yaitu apabila tiada wali menurut undang-undang atau wali dengan wasiat, maka oleh hakim ditetapkan seorang wali.

 

Syarat-Syarat

Menurut ketentuan Pasal 379 KUH Perdata, orang yang tidak boleh menjadi wali; (a) Orang yang sakit ingatan. (b) Orang yang belum dewasa. (c) Orang yang ada di bawah pengampuan. (d) Orang yang telah dipecat dari kekuasaan orang tua atau perwalian. (e) Pejabat pengadilan dan panitia pengadilan. (f) Kepala dan anggota Balai Harta Peninggalan. Seseorang yang telah diangkat sebagai wali dapat minta untuk dibebaskan dari pengangkatan tersebut yaitu: (a) Orang untuk kepentingan Negara harus berada diluar negeri. (b) Anggota tentara dalam dinas aktif. (c) Orang yang telah berusia 60 tahun. (d) Orang yang telah menjadi wali untuk 5 (lima) orang anak lain. (e) Orang yang telah mempunyai 5 (lima) orang anak sah atau lebih.

Pihak-pihak tersebut di atas dapat minta untuk dibebaskan pengangkatan sebagai wali, karena dikhawatirkan tidak dapat menjalankan kekuasaan perwalian dengan baik terhadap anak dan harta kekayaannya. Hal tersebut dapat menimbulkan kerugian terhadap anak yang berada dibawah perwalian pihak-pihak tersebut di atas.

Menurut UU No. 1/1974, bahwa anak tidak berada di bawah kekuasaan orang tua karena: (a) Orang tua telah meninggal dunia kedua-duanya. (b) Orang tua kedua-duanya tidak cakap melakukan tindakan hukum. (c) Orang tua dicabut kekuasaan orang tua keduaduanya.

Dalam Pasal 48 ayat (1) UU No. 1/ 1974 ditentukan, bahwa kekuasaan orang tua di cabut atas permintaan keluarga dalam garis lurus ke atas, saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan putusan pengadila karena ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak-anaknya dan atau berkelakuan buruk sekali.

Dalam Pasal 51 UU No. 1/1974 ditentukan, bahwa wali dapat ditunjuk oleh orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua dengan surat wasiat atau lisan dihadapan 2 (dua) orang saksi. Wali sedapat-dapatnya diambik dari keluarga si anak atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.

Wali disyaratkan seperti tersebut di atas karena wali kewajibannya mengurus anak dan harta kekayaannya serta mewakili si anak di luar dan di depan pengadilan. Anak yang berada di bawah perwalian hendaknya menjadi anak yang baik, maka wali harus berkelakuan baik. Apabila wali mengasuh beberapa anak, maka perlakuannya harus adil terhadap mereka. Apabila anak mempunyai harta kekayaan, maka wali harus jujur dalam mengurus harta tersebut supaya tidak menimbulkan bagi si anak

 

Dasar Hukum

1.    Pasal 330, Pasal 345, Pasal 355, Pasal 359, Pasal 379 KUHPerdata

2.    Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 48, Pasal 50 ayat (1), Pasal 51

3.    Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf h, dan Pasal 107 ayat (1)

Penguasaan Anak

 Pengertian

            Pemeliharaan anak/ Hak asuh (Hadlanah) adalah kegiatan mengasuh, memelihara, dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri. Suami isteri waib memikul ewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, pertumbuhan jasmani, rohani, kecerdasan dan pendidikan agamanya. Kewajiban orangtua itu berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdriri sendiri dan kewajiban itu terus berlaku meskipun perkawinan kepada orang tua putus. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri/ dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tidak cacat fisik/ mental dan belum kawin.

Mengenai kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya, Anda dapat menilik bunyi Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”):

  1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
  2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Mengacu pada Pasal 45 ayat (2) UU Perkawinan diatas mengindikasikan bahwa kasih sayang orang tua terhadap anak tidak boleh diputus ataupun dihalang-halangi. Adanya penguasaan anak secara formil oleh salah satu pihak pada hakikatnya untuk mengakhiri sengketa perebutan anak. Apabila sengketa itu tidak diputus di pengadilan, akan menjadi berlarut-larut, sehingga dampaknya anak menjadi korban, walaupun harus diakui juga bahwa banyak sekali yang tidak mempersoalkan hak asuh anak setelah proses perceraian karena keduanya sepakat mengasuh dan mendidik anak bersama-sama.

Pasal 41 huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perceraian tidak menghapus kewajiban ayah dan ibu untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya. Dalam pasal terebut juga dikatakan bahwa jika ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan yang akan memberi keputusan. Hal ini berarti mengenai hak asuh anak, jika tidak ditemui sepakat antara suami dan isteri maa diselesaikan melalui jalur pengadilan.

Sebagai gambaran mengenai pembagian hak asuh, jika melihat dari Hukum Islam, kita dapat merujuk pada Kompilasi Hukum Islam (“KHI”). Pada Pasal 105 KHI, dalam hal terjadi perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, sedangkan pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.

Namun, didalam  Pasal 156 huruf c KHI menyebutkan bahwa seorang ibu bisa kehilangan hak asuh terhadap anaknya sekalipun si anak masih berusia di bawah 12 tahun:

apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.

Sehingga berdasarkan ketentuan itu, si ayah bisa mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama terkait pemindahan hak asuh anak (hadhanah) yang tentunya disertai dengan alasan-alasan yang kuat untuk mendukung terkabulnya permohonan peralihan hak asuh anak tersebut.

 

Syarat-Syarat Menjalankan Hadlanah

1.    Balig

2.    Berakal

3.    Mampu merawat

4.    Akhlak terpercaya : tiada hadlanah bagi orang yang tidak bisa merawat dan membina akhlak anak, seperti orang fasik, pemabuk, pezina, atau perbuatan haram lainnya.

5.    Islam (dibahas tersendiri)

6.    Merdeka

 

 

Dasar Hukum

1.    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 41 huruf a, dan Pasal 45

2.    Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 105 dan Pasal 156

Hibah

 Pengertian

            Pengertian Hibah terdapat dalam KUH Perdata pasal 1666 yakni

“Hibah adalah suatu perjanjan dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan Cuma-Cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu”

            Hibah dapat dilakukan dengan

 Pasal 1682 KUHPerdata:

“Tiada suatu penghibahan pun kecuali termaksud dalam Pasal 1687 dapat dilakukan tanpa akta notaris, yang minut (naskah aslinya) harus disimpan pada notaris dan bila tidak dilakukan demikian maka penghibahan itu tidak sah.”

 

 

Dasar Hukum

·         Hibah diatur dalam pasal 1666 – 1693 KUH Perdata, Hibah yang diberikan setelah seseorang meninggal disebut hibah wasiat.

·         Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2005 tentang Hibah Kepada Daerah

·         Pasal 22 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tatacara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri

·         Peraturan Menteri Keuangan No. 52/PMK 010/2006 tentang Tata Cara Pemberian Hibah Kepada Daerah

Wasiat

 Pengertian

            Wasiat atau testamen adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Dengan kata lain, wasiat adalah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal. Sedangkan menurut Undang-Undang, Wasiat adalah sebuah akta berisi penyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya (Pasal 875 KUH Perdata), terdapat pula dalam Pasal 957 KUH Perdata “Hibah wasiat ialah suatu penetapan khusus, di mana pewaris memberikan kepada satu atau beberapa orang barang-barang tertentu, atau semua barang-barang dan macam tertentu; misalnya, semua barang-barang bergerak atau barang-barang tetap, atau hak pakai hasil atas sebagian atau semua barangnya.”

 

Jenis wasiat

Dalam Buku ke-2 Bab XIII Bagian Empat mengenai Bentuk Surat Wasiat KUHPerdata. disebutkan:

-         Wasiat Olografis, ditulis tangan dan ditandatangani oleh pewaris sendiri kemudian dititipkan kepada notaris (lihat Pasal 932-937 KUHPerdata);

-         Surat wasiat umum atau surat wasiat dengan akta umum harus dibuat di hadapan notaris (lihat Pasal 938-939 KUHPerdata);

-         Surat wasiat rahasia atau tertutup pada saat penyerahannya, pewaris harus menandatangani penetapan-penetapannya, baik jika dia sendiri yang menulisnya ataupun jika ia menyuruh orang lain menulisnya; kertas yang memuat penetapan-penetapannya, atau kertas yang dipakai untuk sampul, bila digunakan sampul, harus tertutup dan disegel (lihat Pasal 940 KUHPerdata).

 

Syarat dan prosedur wasiat

Dalam hal pembuatan surat wasiat, perlu adanya saksi dengan ketentuan sebagai berikut:

-         Pada pembuatan surat wasiat olografis dibutuhkan dua orang saksi. Adapun prosesnya adalah sebagai berikut, pada saat pewaris menitipkan surat waris, kemudian notaris langsung membuat akta penitipan (akta van de pot) yang ditandatangani oleh notaris, pewaris, serta dua orang saksi dan akta itu harus ditulis di bagian bawah wasiat itu bila wasiat itu diserahkan secara terbuka, atau di kertas tersendiri bila itu disampaikan kepadanya dengan disegel.

-         Pada pembuatan surat wasiat dengan akta umum dibutuhkan dua orang saksi. Proses pembuatan surat wasiat dengan akta umum dilakukan di hadapan notaris yang kemudian ditandatangani oleh pewaris, notaris dan dua orang saksi.

-         Pada pembuatan surat wasiat dengan keadaan tertutup dibutuhkan empat orang saksi. Prosesnya yaitu pada saat penyerahan kepada notaris, pewaris harus menyampailkannya dalam keadaan tertutup dan disegel kepada Notaris, di hadapan empat orang saksi, atau dia harus menerangkan bahwa dalam kertas tersebut tercantum wasiatnya, dan bahwa wasiat itu ditulis dan ditandatangani sendiri, atau ditulis oleh orang lain dan ditandatangani olehnya.

 Dalam hal pembuatan surat wasiat oleh ibu pada saat kedua orang tua masih hidup, perlu adanya persetujuan dari Ayah. Hal ini mengacu pada pengaturan mengenai harta bersama, yaitu Pasal 36 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), yang berbunyi “Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”

Dasar Hukum

            Hibah wasiat diatur dalam pasal 957-972 KUH Perdata

Warisan

 Pengertian

     Warisan berasal dari bahasa Arab Al-miirats, dalam bahasa arab adalah bentuk masdar (infinititif) dari kata waritsa- yaritsu- irtsan- miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah ‘berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain’. Atau dari suatu kaum kepada kaum lain.

            Ahli waris adalah orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan (mewarisi) orang yang meninggal, baik karena hubungan keluargapernikahan, maupun karena memerdekakan hamba sahaya (wala’)

            Harta Warisan yang dalam istilah fara’id dinamakan tirkah (peninggalan) adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal, baik berupa uang atau materi lainyayang dibenarkan oleh syariat Islam untuk diwariskan kepada ahli warisnya.

 

Langkah membuat surat keterangan ahli waris

Dokumen yang diperlukan

·         Surat permohonan (7 rangkap)

·         Fotokopi KTP para pemohon (ahli waris) menggunakan kertas A4

·         Fotokopi kartu keluarga pewaris (almarhum) menggunakan kertas A4

·         Fotokopi buku nikah pewaris (almarhum) menggunakan kertas A4

·         Keterangan silsilah keluarga ahli waris dari kelurahan

·         Surat keterangan kematian dan penguburan

·         Catatan sipil kematian

·         Fotokopi akta lahir seluruh ahli waris

·         Surat pernyataan sebagai ahli waris

 

Langkah mengurus surat keterangan ini adalah sebagai berikut:

·           Membawa seluruh persyaratan kepada RT/RW setempat.

·           Meminta surat pengantar kepada RT/RW setempat.

·           Meminta surat keterangan bermaterai ditandatangani oleh seluruh ahli waris disaksikan dan ditandatangani para saksi, yaitu ketua RT dan RW setempat.

·           Mengajukan permohonan ke kantor kelurahan bagian pelayanan umum.

·           Setelah surat keterangan hak waris selesai dibuat, Anda harus mengajukan fatwa waris ke pengadilan agama atau pengadilan negeri.

 

Dasar Hukum

·         Pasal 49 huruf b No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

·         Pasal 16 huruf h UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

Perceraian

 Pengertian

            Perceraian adalah berakhirnya suatu pernikahan. Perceraian merupakan terputusnya hubungan antara suami istri, disebabkan oleh kegagalan suami atau istri dalam menjalankan obligasi peran masing-masing. Perceraian dipahami sebagai akhir dari ketidakstabilan perkawinan antara suami istri yang kemudian hidup terpisah dan diakui secara sah berdasarkan hukum yang berlaku.

 

Dasar Hukum

            Putusnya perkawinan tercantum dalam beberapa pasal, antara lain :

1. Pasal 38 sampai 41 Bab VIII Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

2. Pasal 116 KHI yang berbunyi, “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”.

3. Tata cara perkawinan tercantum dalam pasal 14 sampai 36 Bab V Peraturan No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

 

Terdapat dua jenis perceraian yakni:

 

a) Cerai Gugat

 

Pengertian

            Adalah tuntutan hak ke pengadilan (dalam bentuk tulisan atau lisan) yang diajukan oleh seorang istri untuk bercerai dari suaminya. Cerai gugat dapat diajukan di Pengadilan Agama ketika para pihak beragama islam

 

Dokumen yang diperlukan

·           Surat Gugatan

·           Surat nikah asli.

·           Fotokopi surat nikah.

·           Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari penggugat.

·           Surat keterangan dari kelurahan.

·           Fotokopi Kartu Keluarga (KK)

·           Fotokopi akte kelahiran anak (jika memiliki anak)

·           Meterai.

 

Dasar Hukum

            Pasal 132 ayat (1) KHI berbunyi:

“Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami.”

 

b) Cerai Talak

Yang dimaksud tentang talak itu sendiri menurut Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.

 

Dokumen yang diperlukan

·           Surat Permohonan

·           Surat nikah asli.

·           Fotokopi surat nikah.

·           Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari penggugat.

·           Surat keterangan dari kelurahan.

·           Fotokopi Kartu Keluarga (KK)

·           Fotokopi akte kelahiran anak (jika memiliki anak)

·           Meterai

 

Dasar Hukum

·           Pasal 114 KHI 

·           Pasal 129 KHI 

Implementasi Lisensi Wajib TRIPs Agreement dalam Produk Pharmacy di Brazil

  picture: https://www.exyip.com/2021/06/24/how-the-trips-agreement-impacts-global-intellectual-property-policies/ A.     Pendahuluan Perj...