Thursday, June 25, 2020

Konsep Negara Hukum



Konsep Negara Hukum Indonesia-Konsep Negara hukum merupakan suatu bentuk Negara yang berdasarkan atas kedaulatan hukum. Hukum/peraturan memiliki kedaulatan tertinggi dalam pemerintahan. masyarakat maupun pemerintah tunduk kepada hukum itu sendiri. Terdapat sebuah pendapat yang mengatakan bahwa “segala yang dilakukan oleh pemerintah itu dilarang sampai terdapat hukum yang memberinya kewenangan dan segala yang dilakukan oleh masyarakat itu boleh dilakukan sampai terdapat hukum yang melarang melakukan sesuatu”. Pendapat tersebut merupakan suatu pandangan bahwa baik pemerintah atau Negara dan masyarakat tunduk terhadap hukum.

            Hukum tercipta bukan semata-mata untuk kepentingan penguasa atau orang-orang tertentu saja namun ia harus tercipta atas tujuan kemanfaatan, keadilan, dan penegakkan hukum yakni dengan memberikan kebaikan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Hukum harus memberikan tujuan tersebut baik secara moral, kesusilaan, ajaran agama, dan nilai-nilai kemanusiaan. Hukum di Negara Indonesia tidak akan mungkin dapat tercipta bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama dan adat kebangsaan Indonesia. Keduanya kerap mempengaruhi peraturan-peraturan hukum yang ada di Indonesia.

       Bentuk Negara hukum yang ada di Indonesia nyata tercantum dalam peraturan konstitusi Undang-undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 2 disebutkan “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”, pada butir tersebut dimaksudkan bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan demokrasi yang mana kedaulatan berada di tangan rakyat, tetapi ada aturan-aturan tegas di dalamnya yakni Undang-undang Dasar. Sehingga sekalipun kedaulatan adalah milik rakyat tetapi proses pelaksanaannya diatur berdasarkan nilai-nilai dan aturan-aturan hukum  dalam konstitusi UUD 45.

        Terdapat kesenimbangan hubungan antara konsep Negara hukum dan konsep Negara demokrasi, sebuah teori kedaulatan hukum dan rakyat. Kedua konsep ini diterapkan secara bersamaan di Negara Indonesia. Hal ini tercantum dalam pasal di 1 ayat 2 konstitusi seperti penjelasan di atas. Bahwa Negara Indonesia menganut kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat. Memang pada dasarnya kedua konsep ini tidaklah saling bertentangan, melainkan keduanya saling mengisi dimana tidak mungkin tercipta suatu Negara hukum tanpa adanya kedaulatan rakyat di dalamnya. Begitu pula dengan konsep Negara demokrasi, konsep tersebut tidak akan dapat berjalan dengan efektif tanpa adanya supremasi hukum yang kuat di dalamnya. Konsep pemikiran ini bukanlah suatu hal yang baru. Pandangan mengenai Negara hukum dan demokrasi saling mengisi dalam unsur-unsur dan penjabaran cirri-ciri kedua konsep tersebut. Maka lebih tepatnya Hukum adalah pilar bagi demokrasi, begitu pula dengan Negara hukum, ia tidak akan berjalan baik tanpa adanya partisipasi rakyat dalam merancang hukum yang sesuai dengan masyarakat yang diatur.

          Pada pasal 1 ayat 3 UUD 45 disebutkan juga bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum” tambahan ayat ini merupakan hasil dari amandemen ke-3 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum (Rechstaat). Negara yang memiliki aturan-aturan dan kedaulatan hukum yang kuat untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara hukum sangat erat dengan kaitannya dengan rule of law, aturan hukum sehingga tidak boleh ada kekuatan lain yang berada di atas hukum itu sendiri demi tercapainya suatu tertib hukum bagi seluruh masyarakat Indonesia.

            Negara hukum adalah konsep bernegara yang ideal, apalagi jika disandangkan dengan Negara demokrasi. keduanya dapat memberikan kemaslahatan bagi rakyat Indonesia sepanjang dijalankan sesuai dengan seharusnya. Negara Indonesia menganut kedua konsep tersebut, yakni antara konsep Negara hukum dan demokrasi.

            Meskipun konsep Negara hukum menjadi dasar dalam pemerintahan Indonesia namun praktik dari implementasi ini masih belum terwujud dengan baik. Bentuk-bentuk lemahnya supremasi hukum, ketidakbermanfaatan hukum, hukum tidak mewakili rasa keadilan masyarakat, hingga maraknya tindakan anarkis dan main hakim sendiri di masyarakat Indonesia adalah wujud dari buruknya implementasi pemerintah dalam menerapkan konsep Negara hukum. Konsep Negara hukum hanya menjadi retorika dan idealisme semata, tidak dapat diimplementasikan dengan seharusnya. Hal ini merupakan tugas besar bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia. Negara hukum jangan hanya menjadi suatu aturan yang tidak dijalankan namun ia harus dapat dijalankan baik oleh masyarakat dan pemerintah. Demi terciptanya suatu masyarakat yang adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia.



Indonesia Sebagai Negara Hukum



Indonesia-Negara Hukum Indonesia sudah berdiri sejak lebih dari enam puluh tahun lamanya kualifikasi sebagai Negara hukum pada tahun 1945 terbaca dalam penjelasan Undang-undang Dasar. Dalam penjelasan mengenai sistem pemerintahan Negara dikatakan “Indonesia ialah Negara yang berdasar atas hukum (rechsstaat)”. Selanjutnya dijelaskan, “Negara Indonesia berdasar atas hukum, tidak berdasarkan kekuasaan belaka.” Sekian puluh tahun kemudian konsep tersebut lebih dipertegas melalui amandemen keempat dan dimasukkan ke dalam batang tubuh konstitusi, yaitu bab I tentang “Bentuk dan Kedaulatan”. Dalam pasal 1 ayat 3 ditulis “Negara Indonesia adalah Negara hukum”.

          Dari amandemen-amandemen dibuktikan secara jelas, Undang-undang Dasar Negara Indonesia tidak statis, melainkan memiliki dinamika. Amandemen keempat tersebut dapat dibaca sebagai keinginan bangsa Indonesia untuk lebih mempertegas identitas negaranya sebagai suatu Negara hukum[1]. Negara hukum di Indonesia berjalan bersamaan dengan prinsip demokrasi ia terbukti dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 2 bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut Undang-undang Dasar”. Hal ini membuktikan bahwa selain sebagai Negara Hukum Indonesia juga menganut Negara demokrasi. Kedua konsep Negara tersebut berjalan bersama di Negara Indonesia sebagai sistem pemerintahan yang ideal. Dimana masyarakat yang mengatur hukum tersebut dan masyarakat pula yang tunduk dalam peraturan hukum yang mereka rancang.

            Pada dasarnya dalam negara demokrasi, konsep Negara hukum merupakan suatu hal mutlak, ia dibutuhkan demi menyelaraskan keadilan dalam kebebasan berdemokrasi. Penyelenggaraan-penyelenggaraan politik perlu diatur sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang jelas. Hukum adalah pilar dalam mengawal Negara demokrasi.

       Penyelenggaraan hak-hak politik dalam demokrasi pada dasarnya menimbulkan gagasan bahwa cara yang terbaik untuk membatasi kekuasaaan pemerintah ialah dengan suatu konstitusi, apakah ia bersifat naskah (written constitution) atau tak bersifat naskah (unwritten constitution). Undang-undang Dasar itu menjamin hak-hak politik dan menyelenggarakan pembagian kekuasaan Negara sedemikian rupa, sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi oleh kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga hukum. Gagasan-gagasan ini dinamakankonstitusionalisme (constitusionalism) sedangkan Negara yang menganut gagasan ini dinamakan constitusional state atau rechtsstaat yaitu Negara Hukum.

       Dalam gagasan konstitusionalisme tidak hanya mengandung pemisahan antara kekuasaan eksekutif, legislative, dan yudikatif semata namun ia mempunya fungsi khusus, yaitu menentukan dan membatasi kekuasaan pemerintah di satu pihak dan di pihak lain menjamin hak-hak asasi dari warga negaranya. Undang-undang Dasar dianggap sebagai perwujudan hukum yang tertinggi yang harus dipatuhi oleh Negara dan pejabat-pejabat pemerintah sekalipun, sesuai dengan dalil : “government by laws, not by men” (pemerintahan berdasarkan hukum, bukan oleh manusia)[2]

Maka dari itu, disini saya akan membahas lebih lanjut mengenai berbagai konsep yang diberikan oleh para ahli dalam membentuk Negara hukum yang sebenarnya, membentuk suatu kedaulatan dimana hukum menjadi pilar utama dalam menyelenggarakan pemerintahan kehidupan berbangsa dan bernegara.



Sejarah Pemikiran Hukum



Sejarah Pemikiran Negara Hukum-Munculnya konsep teori Negara hukum tidak lepas dari pemikiran-pemikiran sebelumnya yakni di masa sejarah dahulu ketika zaman Yunani kuno. Pemikir pertama mengenai Negara hukum sebenarnya sudah sangat lama. Cita Negara hukum untuk pertama sekali dikemukakan oleh Plato yang diungkapkan dalam tiga bukunya yakni pertama politeia(the republica) yang ditulisnya ketika ia masih muda; kedua, Politicos (stateman); dan ketigaNomoi (the law). Dalam buku-bukunya tersebut dia sudah menganggap adanya hukum untuk mengatur warga Negara. Sehingga ia menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang baik ialah yang diatur oleh hukum.

          Pemikiran dari Plato kemudian dilanjutkan oleh muridnya yakni Aristoteles. Ia menyatakan ada tiga unsur dari pemerintahan berkonstitusi yakni pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; kedua pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasar ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi; ketiga pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat bukan atas paksaan-tekanan[3].

        Aristoteles juga merumuskan Negara sebagai Negara hukum yang didalamnya terdapat sejumlah warganegara yang ikut serta dalam permusyawaratan Negara (Acclesia). Yang dimaksudkan dengan Negara hukum disini oleh aristoteles adalah Negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan bagi warganegaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warganegara dan sebagai dasar daripada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warganegara  yang baik. Peraturan sebenarnya menurut Aristoteles ialah peraturan yang mencerminakan keadilan bagi pergaulan antara warganegaranya. Maka menurutnya yang memerintah dalam Negara bukanlah manusia melainkan pikiran yang adil yang tertuang dalam peraturan hukum sedangkan penguasa hhanya memengang hukum dan keseimbangan saja.[4]

      Pemikiran awal pada zaman yunani kuno ini memang masih merupakan konsep awal bagaimana membentuk Negara yang seharusnya. Pemikiran tersebut masih terlalu ideal dan umum maka tidak memberikan mekanisme secara rigid dalam mengembangkan konsep Negara hukum. Hal ini tidak terlepas karena pada saat zaman yunani kuno Negara yang dimaksud masih merupakan sebuah polis yakni kota-kota kecil sehingga pengaturan masyarakat di zaman itu belum memberikan persoalan yang kompleks seperti pada saat ini.
           

Terdapat perbadaan konsep antara keduanya Freidrich Julius Stahl merupakan sarjana yang berasal dari Negara dengan sistem civil law dan A.V. Dicey merupakan sarjana dengan pemikiran yang berasal dari Anglo saxon. Keduanya berada di dua kutub hukum yang berbeda namun terdapat suatu kesamaan, dimana penjabaran prinsip-prinsip dari konsep Negara hukum, keduanya sepakat bahwa ia harus dapat menjamin Hak Asasi Manusia dan mewujudkan suatu supremasi hukum yang kuat. Sehingga pada akhirnya konsep Negara hukum tidak hanya menjadi pandangan ideal semata melainkan ia dapat terwujud dengan menjamin kedaulatan hukum dan perlindungan hak-hak atas manusia.

Lanjutkan >>

Kedaulatan Hukum



Kedaulatan Hukum-Sebelum kita memahami mengenai konsep Negara hukum maka terlebih dahulu dapat kita pahami bahwa dasar berpikir dari konsep Negara hukum sangat erat kaitannya dengan pemikiran-pemikiran yang menganggap bahwa kedaulatan Negara itu berada pada hukum. Menurut teori kedaulatan hukum atau Rechts-souvereiniteit yang merupakan kekuasaan tertinggi di dalam suatu Negara itu adalah hukum itu sendiri. Karena baik raja atau penguasa maupun rakyat atau warganegara, bahkan Negara itu sendiri semuanya tunduk kepada hukum. Semua sikap, tingkah laku dan perbuatannya harus sesuai atau menurut hukum. Menurut Krabbe hukum itu adalah merupakan penjelmaan daripada salah satu bagian dari perasaan manusia[5].

            Bentuk kedaulatan hukum dalam kehidupan bernegara merupakan suatu kebutuhan yang mendasar. Hukum sebagai aturan dasar dimana terdapat rambu-rambu dan arahan bagaimana masyarakat, pemimpin Negara, dan berbagai organ Negara seharusnya dapat bertindak dan bekerja. Hukum disini sebagai pengawal kehidupan bernegara, ia hidup dan dibangun berdasarkan suatu contract social masyarakat dimana mereka membuat aturan-aturan yang seharusnya ditaati. Disana tersimpan harapan dan cita-cita masyarakat mengenai apa yang seharusnya dan apa yang tidak seharusnya dilakukan dalam kehidupan bernegara. Krabe mengemukakan “Negara sebagai pencipta dan penegak hukum di dalam segala kegiatannya harus tunduk pada hukum yang berlaku. Dalam arti ini hukkum membawahkan Negara. Berdasarkan pengertian hukum itu bersumber dari kesadaran hukum rakyat, maka hukum mempunyai wibawa yang tidak berkaitan dengan seseorang secara (impersonal)”.[6]

            Wujud teori kedaulatan hukum merupakan dasar pemikiran awal dimana Negara selayaknya memiliki kedaulatan hukum yang kuat. Maka pemikiran dasar dari teori kedaulatan hukum ini memunculkan berbagai konsep-konsep Negara hukum yang lebih modern.

ABAD XIX

            Di abad XIX freidrich Julius Stahl (eropa continental dengan civil law system) merumuskan unsur-unsur Negara hukum (rechsstaat) yang banyak diilhami oleh Immanuel Kant, sebagai berikut:

1.      Perlindungan HAM
2.      Pemisahan atau pembagian kekuasaan demi jaminan hak itu
3.      Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan
4.      Peradilan administrasi dalam perselisihan

Kemudian pada saat yang hampir sama muncul pula konsep Negara hukum (rule of law) dari A.V. Dicey, yang lahir dalam naungan sistem hukum anglo saxon.

1.      Supremasi hukum (tidak ada kesewenang-wenangan atau seseorang hanya dapat dihukum jika melanggar hukum)
2.      Kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law)
3.      Terjaminnya HAM oleh undang-undang dan keputusan-keputusan pengadilan[7]


Nomokrasi Islam



Nomokrasi Islam-Dalam agama Islam, terdapat konsep Negara hukum yang dirumuskan oleh Prof. Dr. Tahir Azhari S.H. dimana beliau merumuskan menjadi Sembilan prinsip-prinsip dasar Nomokrasi Islam atau Negara hukum. Nomokrasi Islam adalah suatu Negara hukum yang memiliki prinsip-prinsip umum sebagai berikut:

1.      Prinsip kekuasaan sebagai amanah
2.      Prinsip musyawarah (musyawarat)
3.      Prinsip keadilan
4.      Prinsip persamaan
5.      Prinsip pengakuan dan perlindungan setiap hak-hak asasi manusia
6.      Prinsip peradilan bebas
7.      Prinsip perdamaian
8.      Prinsip kesejahteraan
9.      Prinsip ketaatan rakyat[8]

Kesembilan pokok prinsip tersebut tercantum dalam Al-Qur’an dan diterapkan oleh Sunnah Rasulullah. Kesembilan prinsip tersebut terwujud dalam pemerintahan Nabi Muhammad SAW di kota Madinah, yang kemudian membentuk suatu konstitusi tertulis pertama di dunia yang terwujud dalam Piagam Madinah.

Suatu konsep yang berbeda dengan anggapan bahwa konsep Negara Islam adalah Negara Teokrasi yakni Negara berdasarkan atas kekuasaan Tuhan. Melainkan di dalamnya terdapat prinsip-prinsip Negara hukum yang dapat dipelajari sebagai konsep untuk mengimplemtasikannya pada pemerintahan saat ini.


Lanjutkan >>

Negara Hukum Indonesia



Indonesia Sebagai Negara Hukum-Sebagai Negara yang lahir pada zaman modern, maka Indonesia juga menyatakan diri sebagai Negara hukum. Indonesia membentuk suatu dasar pemerintahannya berdasarkan kedaulatan hukum seperti yang dijelaskan pada uraian di  atas. Konsep-konsep pemikiran barat dan Islam juga memiliki pengaruh dalam konsep Negara hukum yang diterapkan di Indonesia.  Ketentuan Indonesia sebagai Negara hukum ini dapat dilihat dalam pembukaan, batang tubuh dan penjelasan UUD 1945.

1.      Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 memuat dalam alinea pertama kata “peri-keadilan”, dalam alinea kedua istilah “adil”, serta dalam alinea keempat perkataan-perkataan “keadilan sosial” dan kemanusiaan yang adil”, semua istilah-istilah ini berindikasi pada pengertian Negara hukum karena bukankah salah satu tujuan hukum itu mencapai keadilan. Kemudian dalam pembukaan UUD 45 alinea keempat ditegaskan “….maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia”. Penganutan pahan konstitusionalisme atau sistem konstitusional, merupakan prinsip lebih khusus dari pada prinsip Negara hokum

2.      Batang tubuh Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum (pasal 1 ayat 3), kemudian “presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-undang Dasar (pasal 4). Ketentuan ini berarti bahwa presiden dalam menjalankan tugasnya harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan dalam UUD.

3.      Penjelasa UUD 1945, yang merupakan penjelasan otentik dan menurut hukum tata Negara Indonesia mempunyai nilai yuridis, dengan huruf besar menyebutkan: “Negara Indonesia berdasarkan hukum (rechsstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Ketentuan terakhir ini memperjelas, apa yang secara tersirat dan tersurat telah dinyatakan dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945.

Dari perumusan dalam Undang-undang Dasar tersebut jelas bahwa Negara Indonesia berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 menganut prinsip-prinsip Negara hukum yang umum berlaku.

Prinsip bahwa Indonesia suatu Negara yang berdasarkan atas hukum dapat dikemukakan dua pemikiran yaitu:

Pertama, bahwa kekuasaan tertinggi di dalam Negara Indonesia adalah hukum yang dibuat oleh rakyat melalui wakil-wakilnya dalam lembaga legislatif. Jadi, suatu kedaulatan hukum sebagai penjelmaan lebih lanjut dari paham kedaulatan rakyat. Pemikiran kedua ialah bahwa sistem pemerintahan Negara memerlukan kekuasaan (power/macht) namun tidak ada suatu kekuasaan pun di Indonesia yang berdasarkan atas hukum.

Sjachran Basah dalam kaitan apa yang dikemukakan di atas berpendapat:

“arti Negara hukum tidak terpisahkan dari pilarnya sendiri, yaitu paham kedaulatan hukum. Paham kedaulatan hukum. Paham itu adalah ajaran yang menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi terletak pada hukum atau tiada kekuasaan lain apapun, terkecuali kekuasaan hukum semata yang dalam hal ini bersumber pada pancasila selaku sumber dari segala sumber hukum…… kemudian hal di atas itu dikontradiktifkan dan dipisahkan secara tegas antara Negara hukum pada satu pihak dan Negara kekuasaan pada pihak lain yang dapat menjelma seperti dalam bentuk diktator, atau bentuk lainnya semacam, yang tidak dikehendaki apabila dilaksanakan di persada pertiwi ini.”

        Pada akhirnya dengan menggaris bawahi prinsip Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum maka konstitusi kita UUD 1945 telah menempatkan hukum dalam posisi yang supreme dan menentukan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia[9]


Demokrasi Indonesia



Negara Hukum dan Demokrasi Indonesia-Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar” dan Negara Indonesia adalah Negara Hukum” dalam kedua aturan tersebut terdapat dua ketentuan yakni kedaulatan berada di tangan rakyat dan konsep Negara hukum. Dalam pengertian modern, Negara hukum itu tidak lain adalah Negara konstitusional atau constitutional state.

            Dengan demokrasi, ruang kebebasan dibuka lebar, tetapi kebebasan itu memerlukan aturan, sehingga dapat terselenggara dengan teratur. Karena itu peranan hukum sangat menentukan dan bahkan berfungsi sebagai pengimbang terhadap kebebasan. Dengan dasar pemikiran itulah maka pengertian demokrasi tidak dapat dipisahkan dan bahkan harus dipandang berpasangan dengan konsep Negara hukum, rechsstaat.

            Sebaliknya Negara hukum rechsstaat  atau the rule of law itu sendiri yang ideal ialah Negara hukum yang demokratis (democratische reachtsstaat). Suatu Negara hukum dapat saja dibangun tanpa dasar demokrasi , tetapi apabila hukum yang ditegakkan itu tidak dibuat berdasarkan prinsip-prinsip dalam demokrasi, maka Negara hukum yang demikian bukanlah Negara hukum yang demokratis.

            Dengan demikian maka terdapat hubungan yang sangat kuat antara demokrasi dan Negara hukum. Keduanya menyatu dalam konsepsi UUD 45 mengenai kedaulatan Negara atau kekuasaan tertinggi dalam Negara Republik Indonesia. Keseimbangan dan hubungan saling melengkapi di antara keduanya adalah sangat penting untuk menjamin agar gagasan Negara hukum dan demokrasi itu membuahkan hasil yang sebaik-baiknya berupa kebebasan (freedom), keadilan (justice), dan kesejahteraan (prosperity).[10]







[1] Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyat, Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H, Gentapublishing, 2009
[2] Dasar-dasar ilmu politik, Prof Miriam Budiarjo, Gramedia, 1998
[3] Negara Hukum Indonesia, Azhary, hal 19-21, UI Press 1995
[4] Ilmu Negara, Moh, Kusnardi, SH, Prof. Dr. Bintarn R. Saragih, MA, Gaya media pratama, 2008
[5] Ilmu Negara, Soehino,S.H hal 156, Penerbit Liberty Yogyakarta
[6] Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Hestu Cipto Handoyo, SH. M.Hum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2003
[7] Hukum Tata Negara I, Narainuun Mangungsong, SH, M.Hum, 2010
[8] Negara Hukum, Prof. Dr. H. Tahir Azhary, SH. Kencana prenada, 2007
[9] Telaah Kritis Teori Negara Hukum, Drs. H. Nukhthoh Arfawie Kurde S.H., M.Hum, Pustaka Pelajar, 2005
[10] Konstitusi Ekonomi, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Buku Kompas, 2010



Konsep Kenabian Al-Mawardi



Argumentasi Kenabian Al Mawardi-Hadirnya seseorang yang membawa ajaran tersebut dari Tuhan dan menjelaskannya kepada manusia sangat penting, karena tanpanya manusia tidak akan mengetahui dan tidak memahami ajaran agama tersebut.

Al Farabi berkesimpulan bahwa kemampuan intelektual manusia perlu untuk dikembangkan dan dididik agar mampu mencapai kesempurnaan. Atas dasar ini, al Farabi menyatakan perlunya seorang guru yang akan menjelaskan dan membimbing manusia untuk mengembangkan kemampuan mereka sehingga mereka bisa mencapai bentuk individu yang sempurna dengan kebaikan yang sebenarnya. Bahkan al Farabi mengaitkan konsep kenabiannya dengan konsep politik.

Menurut al Mawardi, nabi adalah sosok sentral bagi manusia sebagai panutan hingga para penerusnya harus menjadikannya teladan demi menjaga kebaikan manusia itu sendiri.

Pengertian Nabi dan Rasul

Al mawardi mengkategorikan teori kenabian ini dalam kategori ilmu iktisab dengan cara mengetahuinya melalui pembuktian dan menghadirkan dalil. Teori kenabian dengan cara istidlal akal ini juga menunjukkan bahwa adanya perbedaan diantara ulama mengenai perihal kenabian. Karena bila kenabian diketahui dengan akal secara sadar saja, maka tidak boleh adanya perbedaan
Mengenai arti dari kata nabi, para ahli bahasa mendefinisikannya dalam beberapa makna. Kata “al Naby” secara lughawy berasal dari kata-kata “al-naba’” yang berarti “berita yang berarti dan penting”. Dengan demikian “al-naby” adalah “orang yang membawa berita penting.” Seseorang disebut “al-naby” karena membawa berita dari Allah SWT. Selain itu, kata nabi juga diartikan sebagai sesuatu yang ditinggikan dari bumi, maa irtafa’a min al ardhi. Pemaknaan ini didasarkan pada jati diri seorang nabi yang merupakan manusia yang paling tinggi derajatnya dan paling dekat dengan Allah SWT. Sedangkan arti “al-naby” secara teknis atau terminologis adalah “seseorang yang diberi wahyu oleh Allah SWT, baik diperintahkan untuk menyampaikan (tabliigh) atau tidak.” Jika ia diperintahkan untuk menyampaikan kepada yang lain, maka ia disebut “rasuul”.
Al Mawardi mendefinisikan nabi sebagai seorang utusan Allah yang membawa dan menjelaskan segala perintah dan larangan-Nya.
Namun manusia tidak bisa dengan akalnya saja mencapai pengetahuan tersebut. Mereka membutuhkan guru atau pembimbing yang menjelaskan kepada mereka segala hal tentang pengetahuan mengenai Allah. Sehingga dengan begitu, akal manusia bisa memahami hukum-hukum, larangan dan perintah yang telah ditentukan oleh Allah. Sosok guru dan pembimbing tersebut haruslah manusia yang begitu sempurna sehingga derajat kemanusiaannya naik hingga ia mendapatkan petunjuk Allah dan menyampaikannya kepada manusia. Sosok tersebut adalah nabi dan rasul.

Perbedaan nabi dan rasul,

Pertama, mereka yang mengatakan bahwa nabi dan rasul adalah sama dan tidak ada perbedaan antara keduanya. Nabi adalah rasul dan rasul adalah nabi. Rasul adalah mereka yang membawa pesan (ar risaalah) dan nabi diambil dari kata an nabaa’ yang berarti berita karena mereka membawa kabar tentang Allah dan mengajak mereka yang dikabari, dan diambil dari kata an nubuwwah karena ketinggian derajat mereka kepada Allah sehingga mendapatkan wahyu dan petunjuk dari-Nya. Seperti pendapat al Qodhi ‘Abd al Jabbar, bahwa mengenai pembedaan nabi dan rasul pada ayat tersebut tidak menunjukkan perbedaan keduanya dalam jenis. Beliau mendasarkan pendapatnya pada surat al Ahzab ayat 7.
Pendapat kedua adalah mereka yang membedakan antara nabi dan rasul. Alasannya adalah perbedaan nama atau istilah menunjukkan perbedaan sesuatu yang dilekatkan kepadanya istilah atau nama tersebut. Istilah nabi hanya diperuntukkan bagi manusia, seperti halnya 25 nabi yang dikenal semuanya adalah nabi dan rasul hanya saja rasul memiliki posisi lebih tinggi daripada nabi. Sedangkan rasul lebih umum karena mencakup manusia dan malaikat. Seperti yang diketahui bahwa dalam beberapa ayat, malaikat juga disebut dengan rasul, namun mereka tidak disebut dengan nabi. Mereka yang mengatakan antara nabi dan rasul berbeda terbagi kedalam tiga pendapat

Pertama,mereka yang mendapatkan wahyu langsung dari malaikat sebagai agen penyampai wahyu, sedangkan nabi adalah mereka yang mendapatkan wahyu melalui mimpi

Kedua, rasul adalah utusan Allah yang diutus kepada sebuah ummat, sedangkan nabi tidak diutus kepada sebuah ummat. Ketiga, rasul adalah utusan Allah yang datang dengan hukum dan syari’at baru, sedangkan nabi adalah sosok utusan Allah yang tidak datang dengan syari’at baru melainkan hanya menjaga syari’at dari rasul sebelumnya.

Al Mawardi menegaskan bahwa bila rasul dipahami sebagai seseorang yang menerima wahyu dari Allah, maka hal tersebut harus dibuktikan.

tiga syarat yang harus dipenuhi bagi mereka yang mengaku bahwa ia adalah nabi dan rasul:
Pertama: seseorang yang mengaku nabi harus memiliki sifat dan kepribadian yang menunjang kebenaran kenabiannya.
Kedua: seseorang yang mengaku nabi harus dapat memunculkan mu’jizat.

Ketiga: keberadaan mu’jizat harus mengindikaskan keserasian tentang legitimasi kenabian seseorang yang padanya mu’jizat. mu’jizat merupakan bukti empiris tentang kenabian seseorang.

Alasan adanya nabi
Bila nabi dan rasul tidak diutus, maka manusia akan kehilangan sosok pembawa berita, berarti mereka tidak akan mengetahui hukum dan tuntunan hidup mereka. Akhirnya manusia akan mendefinisikan segala hal menurut pribadinya masing-masing, kehidupan manusia akan diisi dengan kejahatan dan ketidakteraturan

Nabi adalah bukti kasih sayang Allah kepada manusia untuk menghindarkan mereka dari kerusakan yang akan memberikan bimbingan dan pendidikan bagi manusia sehingga manusia bisa berkembang menjadi pribadi yang sempurna. Maka, posisi nabi pun memiliki hubungan yang erat dengan kondisi sosial di mana nabi dan rasul itu diutus.

Al Mawardi memulai pembahasaannya mengenai masyarakat yang ideal dengan pernyataan yang mirip dengan apa yang pernah disampaikan Plato bahwa masyarakat dengan tempat mereka tinggal memiliki hubungan saling mempengaruhi yang sangat erat.

Manusia sangat membutuhkan kehidupan sosial untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya. Manusia telah diciptakan oleh Allah sebagai mahkluk yang lemah sehingga membutuhkan orang lain untuk saling menolong di antara mereka, dan juga membutuhkan pertolongan Allah sehingga mereka mendapatkan anugerah-Nya. Pemikirannya mengenai manusia yang merupakan makhluk sosial telah beliau tempatkan dalam kerangkan perspektif Islam. Pemikiran inilah yang kemudian bisa dikatakan bahwa al Mawardi telah melakukan islamisasi pemikiran secular mengenai manusia.

Akal merupakan sarana yang penting bagi manusia untuk menjadikannya hamba yang ta’at. Bila keta’atan kepada Allah adalah hal yang penting dalam membentuk masyarakat yang ideal, dan keta’atan tersebut hanya bisa didapat melalui ajaran agama, maka nabi pun penting dalam masyarakat karena nabi dan rasul adalah sosok yang

menyampaikan agama. Sehingga bila nabi tidak ada, maka masyarakat yang ideal pun tidak akan pernah ada.

Para penentang teori Kenabian

Pertama adalah mereka yang mengingkari adanya Tuhan. Kelompok ini berkeyakinan bahwa alam ini abadi dan alam berjalan dengan sendirinya. Maka dengan begitu, bila mereka mengingkari Tuhan, otomatis mereka pun mengingkari nabi sebagai utusan Tuhan. Kedua, adalah para Brahmana atau para pendeta. Kelompok ini tidak mengingkari kenabian secara umum, namun hanya meyakini Adam a.s dan Ibrahim a.s saja sebagai nabi.Ketiga, adalah para filosof

ilmu ketuhanan bisa dicapai dengan perenungang filosofis dengan menggunakan kemampuan akal, sehingga manusia dengan potensi akalnya mampu untuk memahami dengan sendirinya ilmu ke-Tuhan-an tersebut tanpa harus ada nabi atau rasul.

Akal sudah cukup untuk memahami Tuhan sehingga secara logis, Allah bisa dengan langsung untuk memberikan hidayahnya kepada manusia secara langsung sehingga sosok seorang nabi dan rasul tidak diperlukan.

 Al Mawardi menjawab bahwa datangnya nabi dan rasul tidak tergantung oleh akal. Allah dengan sifat-Nya muriidan dan menghendaki segala hal sesuai dengan keinginan Allah. Maka, diutusnya nabi tidak memerlukan alasan akal manusia. Akal tidak mampu untuk menerangkan hal-hal yang sifatnya ghaib,

Hal-hal tersebut hanya bisa dipahami dan diketahui dari penjelasan seseorang yang telah diberikan pengetahuan langsung dari Allah, dan mereka itu ada nabi. Sehingga nabi pun sangat diperlukan. Beberapa kalangan menilai bahwa diutusnya nabi adalah sia-sia jika diperuntukkan kepada orang-orang yang menolaknya.

Al Mawardi salah dalam dua hal. penolakan masyarakat terhadap diutusnya nabi kepada mereka bukanlah hal yang sia-sia. Seperti halnya bahwa Allah telah menganugerahkan segala yang ada di dunia ini sebaga indicator tentang wujud Allah, maka bagi yang tidak menggunakannya bukanlah hal yang sia-sia bagi Allah.

Alasan lain yang diungkapkan para pengingkar kenabian adalah bahwa pada kenyataannya, ajaran yang dibawa oleh para rasul bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Ajaran nabi dan rasul terdahulu dihapus dan diganti dengan yang baru.

Bahwa ajaran yang dibawa oleh para nabi dan rasul terdiri dari dua macam hal. Ajaran yang tidak boleh berbeda dan sekaligus tidak boleh diganti-ganti dengan berbagai macam alasan seperti ajaran Tauhid, dan sifat-sifat Allah. Lainnya adalah ajaran yang menyangkut ibadah praktis, di mana dalam beberapa hal boleh dirubah atau berbeda. Hal tersebut dikarenakan perbedaan waktu dan tempat diutusnya nabi dan rasul sehingga membutuhkan penyesuaian demi sebuah kemasalahatan.

Perbedaan antara para ahli tidak menyebabkan berkurangnya fungsi akal untuk menjadi bukti, bahwa pembuktian mengenai kebenaran nabi sangat sulit didapatkan. Hal tersebut disebabkan karena kenabian merupakan hal yang ghaib, oleh sebab tersebut seseorang yang mengaku nabi sulit untuk dipercaya kebenarannya. Mukjizat yang ada pada mereka merupakan hal yang diluar dari kemampuan mereka, sehingga dengan begitu, sulit untuk dijadikan alasan tentang kenabiannya. Al Mawardi menjawab, bahwa mukjizat merupakan perbuatan Allah SWT, maka pasti merupakan hal yang diluar kemampuan para nabi dan rasul. Kemudian, kemampuan mereka yang diluar kebiasaan tersebut sekaligus merupakan tanda bahwa mereka merupakan utusan yang diutus oleh Dzat yang memang diluar kemampuan manusia untuk mencapainya, yaitu Allah SWT.
beberapa dari mereka juga berpendapat bahwa keluar biasaan mukjizat juga terdapat pada perbuatan para ahli sulap dan sihir dan juga para ahli api dari Najyat, oleh sebab itu tidak bisa dijadikan alasan akan kenabian. Al Mawardi kembali menjawab, bahwa sulap maupun sihir merupakan perbuatan yang sudah diketahui triknya oleh orang-orang yang memang menguasai ilmu tersebut, dan juga membodohi orang-orang yang tidak mengetahuinya. Sedangkan mu’jizat adalah sesuatu yang mampu mengejutkan dan mengagumkan orang-orang yang mahir, ahli dan orang-orang pintar, yang artinya orang-orang yang ahli pun tidak memiliki pengetahuan tentang mu’jizat.

5 alasan yang bisa dijadikan jawaban mengenai kebenaran adanya kenabian. Pertama, bahwa Allah Maha Pengasih kepada hamba-Nya dengan memberikan pengetahuan kepada mereka kemasalahatan demi kesejahteraan mereka. Maka kedatangan nabi adalah untuk memberitahu mereka mengenai hal tersebut di mana akal tidak bisa menjelaskannya. Kedua, bahwa apa yang dibawa nabi dan rasul mengenai balasan surga bagi yang mengerjakan kebaikan dan neraka bagi yang mengerjakan keburukan dengan kedatangan nabi dan rasul, manusia bisa mengetahui hal-hal yang berada di luar kemampuan akal

Keempat, bahwa ber-Tuhan tidak mungkin tanpa adanya agama, dan agama tidak akan mungkin ada tanpa hadirnya nabi dan rasul yang menyampaikannya. Kelima, akal mungkin bisa menangkap beragam konsep dan teori, namun hal tersebut tidak akan sempurna kecuali disertai keimanan dan ketaatan kepada Allah melalui ajaran yang dibawa oleh nabi dan rasul. Diutusnya nabi dan rasul kepada manusia membawa ajaran dengan dua jalan. perintah langsung dari Allah atau dengan melalui utusan malaikat.

Namun ada segolongan orang yang tidak mengakui dua cara ini. tidak mungkin nabi dan rasul berhubungan langsung dengan Allah secara jasmani, karena Allah tidak ber-jism. malaikat berasal dari dunia yang berbeda dengan manusia sehingga tidak memungkinkan berhubungan langsung secara jasmani.

Ada yang menyatakan bahwa nabi dan rasul diutus dengan ilham dan bukan dengan wahyu. Al Mawardi kemudia menilai bahwa pendapat ini salah dalam dua

Pertama, bahwa sarana pengetahuan tentang tauhid adalah tidak menggunakan ilham, sehingga bila pengetahuan tentang tauhid melalui ilham itu salah, maka pengetahuan nabi dengan ilham pun lebih salah. Kedua, ilham adalah sesuatu yang ghoib dan tidak jelas.

Pendapat lain adalah bahwa Allah memiliki rahasia-rahasia dan ketentuan-ketentuan yang berlainan dengan hukum alam. Maka barangsiapa yang diberikan Allah hal tersebut, dia berhak untuk mengaku nabi. rahasia-rahasia dan ketentuan-ketentuan Allah inimustahil untuk diketahui,

seseorang menjadi nabi karena Allah telah memberikannya keistimewaan akal sehingga ia bisa sampai pada pengetahuan segala hal. Keistimewaan ini tidak terjadi pada orang lain, sehingga ia adalah orang istimewa di antara orang-orang lain.

Pertama, pendapat ini berimplikasi untuk membuktikan kebenaran tentang kenabiannya dengan ilmu yang khusus, namun bila menurut pendapat sebelumnya bahwa keilmuan tersebut tidak terdapat pada orang lain, maka mustahil bisa dibuktikan bahwa ia adalah nabi karena untuk membuktikannya orang lain tidak memiliki keilmuan tersebut. Kedua, bila pembuktian tentang kenabiannya adalah hal yang mustahil, maka ketika ia menyatakan tentang dirinya rasul, belum tentu bisa diyakini ia adalah rasul, dan ketika ia menjelaskan tentang Allah maka ia telah berbohong.

Al Mawardi menggolongkan para pengingkar kenabian dalam tiga golongan, yaitu para ateis yang tidak meyakini adanya Allah SWT, kemudian para golongan brahmana atau pendeta yang meyakini bahwa nabi hanyalah Adam a. s dan juga para filosof



Implementasi Lisensi Wajib TRIPs Agreement dalam Produk Pharmacy di Brazil

  picture: https://www.exyip.com/2021/06/24/how-the-trips-agreement-impacts-global-intellectual-property-policies/ A.     Pendahuluan Perj...