picture by https://kumparan.com/itmaamul-wafaa-s/politik-hukum-indonesia-2020-1vHTpuw6G6K
Latar belakang
Indonesia merupakan salah satu dari
sepuluh negara yang memiliki cadangan nikel terbanyak di dunia. Hampir 4 juta metric
ton dari keseluruhan 80 juta metric ton cadangan nikel dunia
tersimpan di Indonesia. Dengan 5,74% total cadangan nikel dunia, Indonesia
menduduki peringkat ke-6 penghasil nikel terbesar dunia.[1] Selain
Indonesia, Filipina merupakan negara sasaran impor dengan produksi nikel
terbesar pertama didunia. Produksi nikel Filipina mencapai 530.000 metric
ton. Akan tetapi, bijih nikel produksi Indonesia dinilai memiliki kualitas
yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan Filipina. Sementara konsumsi
terbesar nikel per tahun diduduki oleh Eropa dan China. Pada tahun 2015 misal,
sekitar 50% keseluruhan konsumsi nikel dunia dikonsumsi oleh China, sedangkan konsumsi
nikel Eropa mencapai angka 20%.[2]
Tepat pada tanggal 1 desember 2020,
pemerintah Indonesia menerbitkan kebijakan mengenai larangan ekspor nikel.
Nikel yang dimaksudkan adalah bijih nikel dengan kadar di bawah 1,7%. Larangan
ini tercantum dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor
11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25
Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).[3]
Kebijakan ini dimaksudkan untuk menjaga keberlanjutan pasokan bahan baku dan smelter
yang ada di Indonesia. Kebijakan ini menimbulkan perseteruan antara Indonesia
dan Uni Eropa (UE).
Terbitnya
larangan ekspor nikel mentah ini mulanya merupakan tindakan balasan
pemerintahan Indonesia terhadap Uni Eropa (UE). Berawal dari dikeluarkannya Resolusi
Parlemen tentang Palm Oil and Deforestation of Rainforest (minyak kelapa sawit
(CPO) dan deforestasi hutan hujan) atau Badan Pengkajian dan Pengembangan
Kebijakan-BPPK pada tahun 2017 oleh Uni Eropa (UE). putusan dalam
jajak pendapat parlemen menyatakan untuk tidak mengguanakan minyak kelapa sawit
(CPO) sebagai bahan baku utama biodiesel mulai tahun 2021. Putusan tersebut dilakukan
untuk mengurangi emisi karbon secara global sebagai bentuk komitmen Eropa
terhadap Protokol Kyoto.[4]
Tidak hanya mengatasnamakan dampak terhadap lingkungan, parlemen bahkan
menyinggung mengenai isu pelanggaran HAM, pembukaan hutan secara illegal,
pekerja lokal tak berupah dan isu negatif lainnya.
Larangan penggunaan minyak sawit
sebagai bahan utama biodiesel oleh Uni Eropa (UE) menyebabkan kerugian yang
tidak sedikit bagi Indonesia. Sebagai negara pengekspor minyak kelapa sawit
(CPO) terbesar, Indonesia telah menyumbang sekitar 55% pasokan minyak kelapa
sawit (CPO) dunia. Minyak kelapa sawit (CPO) sendiri merupakan sektor utama
ekspor non-migas Indonesia. Sedangkan Uni Eropa (UE) merupakan tujuan ekspor utama
kedua setelah India. Maka, kebijakan yang dikeluarkan oleh parlemen Uni Eropa
(UE) menimbulkan kerugian yang sangat besar. Kerugian berupa sekitar 4,78 ton
CPO yang seharusnya diekspor ke Uni Eropa. selain itu kerugian juga berimbas
kepada 4,2 juta orang tenaga kerja sektor kelapa sawit dan 12 juta orang yang
bekerja di sektor turunannya.[5]
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
skema kebijakan larangan ekspor nikel?
2. Bagaimana
keuntungan dan dampak proyek percepatan program kendaraan listrik berbasis baterai
EV?
Pembahasan
Politik hukum dapat dilihat dalam proses
maupun penerapaan hukum itu sendiri. Dalam aspek kehidupan negara maka tujuan
negara itu terdapat dalam bingkai hukum. Kesepakatan mengenai kebijakan
hukum dalam mencapai tujuan
negara dilakukan secara demokratis
oleh lembagalembaga politik
sebagai wujud representasi rakyat.
Mahfud MD mengatakan Politik
hukum adalah legal policy
atau garis (kebijakan) resmi tentang
hukum yang akan diberlakukan baik
dengan pembuatan hukum baru
maupun dengan penggantian hukum
lama, dalam rangka mencapai
tujuan negara.[6]
Dalam kasus ini, tujuan negara Indonesia adalah menjadi raja baterai dunia.
Uni Eropa (UE) merupakan salah satu importir terbesar nikel
Indonesia. Nikel di negara-negara tersebut digunakan dalam berbagai industri stainless
steel, teknologi dan mesin. Indonesia sebagai salah satu eksportir utama
nikel dunia memiliki peran yang besar sebagai pemasok bahan baku utama
penggunaan nikel UE. Seakan lupa dengan larangan penggunaan CPO yang sebelumnya
mengatasnamakan kerusakan lingkungan, UE melayangkan gugatan terhadap Indonesia
atas larangan ekspor nikel yang terapat dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan
Batubara (Minerba). Dalam gugatan yang ditujukan kepada organisasi
perdagangan dunia WTO (World Trade Organization), UE menyatakan bahwa
keputusan Indonesia melarang ekspor nikel menyulitkan industri UE dan menimbulkan
persaingan bisnis yang tidak fair.[7]
UE tidak menyebutkan bahwa dalam produksi nikel, terdapat dampak lingkungan kegiatan
pertambangan yang sama buruknya dengan pengolahan dan produksi CPO.
Gugatan yang dilayangkan oleh UE tidak menyurutkan
keputusan pemerintah dalam pelaksanaan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM
Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara
(Minerba). Larangan ekspor nikel tetap berlaku mulai tahun 2020. Pemerintah Indonesia
memiliki alasan yang cukup kuat. Presiden Joko Widodo dalam pidatonya
menyatakan tidak akan mundur dengan adanya gugatan yang dilayangkan UE terhadap
Indonesia kepada WTO.[8]
Tidak hanya nikel, setelah kerja keras yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia
menyeimbangkan isu lingkungan hidup dan pengelolaan sawit, Indonesia akan tetap
memperjuangkan ekspor CPO menghadapi larangan parlemen UE.
Dalam Prespektif Hukum Lingkungan, kesejahteraan yang
menjadi tujuan politik hukum nasional tidak cukup hanya dilandaskan pada negara
hukum dan demokrasi, namun juga harus berlandaskan pada prinsip-prinsip
pengelolaan lingkungan. Prinsip tersebut harus menjadi arahan dalam pembuatan
kebijakan lingkungan. Jika tidak, maka kesejahteraan yang dicapai tidak akann
bertahan lama, karena sumber daya alam (SDA) sebagai salah satu elemen
pembangunan tidak dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.[9]
Teori ekologi politik menilai bahwa keputusan
pengelolaan sumber daya alam tidak bisa dipahami hanya dari sudut pandang
teknis yang memprioritaskan efisiensi. Sebaliknya, seperti pendapat Adams,
“‘kehijauan’ dari perencanaan pembangunan akan ditemukan bukan dalam
kepeduliannya dengan ekologi atau lingkungan di dalam dirinya, tetapi dalam
keprihatinannya dengan masalah kekendalian, kekuasaan, dan kedaulatan“.
Penemuan-penemuan utama teori ekologi politik mengutarakan bahwa pola-pola
pengembangan sumber daya muncul dari interaksi antara sistem alam (misalnya
kualitas, kuantitas, dan lokasi air) dan sistem sosial (misalnya penyebaran
kekuasaan ekonomi, sosial, dan politikdidalam suatu masyarakat). Namun,
pemerintah justru terlalu asyik berpikir tentang pemahaman struktur sosial dan
tidak memberikan perhatian seperlunya untuk memahami dan mendokumentasikan
perubahan lingkungan, yang tidak selalu merupakan akibat dari sumber-sumber
ekonomi dan politik. Dan politik yang dimaksudkan menurut teori ini adalah
kapitalisme.
Pada
dasarnya, larangan terhadap produk tambang mentah telah dirumuskan sejak tahun
2009. dimana terdapat kebijakan yang mengharuskan para investor untuk melakukan
pengolahan pada smelter dalam negeri. Kebijakan ini dilakukan agar bahan
tambang memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan bahan mentah. Kebijakan
ini tercantum dalam Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Minerba.[10]
Alasan adanya kebijakan larangan ekspor nikel tidak jauh berbeda dengan
keberadaan UU Minerba untuk mengolah barang tambang menjadi barang setangah
jadi agar memiliki nilai yang lebih tinggi.
Sebagai
tindak lanjut larangan ekspor nikel, pemerintah Indonesia tengah bersiap untuk
menjadi produsen nikel tingkat hulu, menengah, hingga hilir. Sebagai negara
yang memiliki sumber daya alam yang nikel melimpah, Indonesia memiliki potensi
besar untuk merajai pasar nikel. Nikel adalah salah satu bahan baku komponen
mobil listrik. Dengan teknologi yang dimiliki, Indonesia dapat mengubah nikel dengan
kadar rendah menjadi cobalt dan lithium yang merupakan bahan baku komponen baterai
electric vehicle (EV) kendaraan listrik yang saat ini tengah digemari
pengembangannya di pasar internaisonal. Program ini tercantum dalam Peraturan Presiden
Nomor 55 tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik
Berbasis Baterai electric vehicle (EV) untuk Jalan. Dengan adanya progam
ini, harga nikel mentah (ore nikel) yang tadinya hanya US$ 40 per ton meningkat
hingga perkiraan US$17.000 ketika nikel telah diubah menjadi bahan siap
produksi. Dengan
permintaan pasar yang meningkat terhadap kendaraan bertenaga listrik, maka Indonesia
dapat meraup keuntungan yang besar.[11] Akan tetapi, pembangunan
industri baterai electric vehicle (EV) membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Saat ini
Presiden bersama BUMN serta Menteri Koordinator Bidang
Kemaritiman dan Investasi sedang
mengupayakan gelontoran dana investasi serta mitra usaha. Beberapa perusahaan
besar yang bergerak di bidang baterai electric vehicle (EV) dan kendaraan tenaga listrik menjadi sasaran
negosiasi. Beberapa perusahaan telah sepakat untuk menjadi mitra bisnis maupun
investor pada pembangunan industri baterai electric vehicle (EV) di Indonesia. Sebagaimana tertera dalam
siaran pers BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), BUMN bersama perusahaan
raksasa LG akan bekerja sama membangun industri produksi sel baterai electric vehicle (EV) dengan dana rencana
investasi mencapai US$ 9,8 miliar.[12]
Beberapa investor lain yang akan berinvestasi membangun smelter pengolahan
nikel antara lain PT Vale Indonesia Tbk (INCO), Sumitomo Metal Mining Co Ltd Ningbo Lygend dan
Tsinghan Group.[13] Selain investor dan mitra
dalam pembangunan industri baterai VE, Indonesia juga memulai kerjasama dengan perusahaan
kendaraan listrik diantaranya Tesla, CATL, Samsung, BYD, Farasis, dan
Panasonic.[14] Tesla yang sebelumnya
menyatakan akan mengganti bahan baku pembuatan baterai dari nikel menjadi besi
pada akhirnya sepakat untuk bekerja sama dengan Indonesia dalam pembangunan
ESS.
Dengan
dibangunnya industri sel baterai VE hingga mobil listrik, diperkiraan dapat
memaksimalkan penyerapan tenaga kerja. Selain itu, pemerintah juga
memperkirakan peningkatan ekonomi dalam negeri dan peningkatan pendapatan APBN.
Dengan adanya larangan ekspor nikel sebagaimana tercantum dalam dalam
Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2019 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang
Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Namun,
bila ditinjau lebih jauh, kekuasaan pemerintahan menerbitkan izin tambang
secara sepihak. Sehingga tidak ada partisipasi dari warga dan pihak, baik
sebagai pemilik lahan, maupun warga lain yang berpotensi menerima dampak tidak
langsung dari aktivitas tambang. Memang saat ini indonesia mengaku sebagai
negara demokrasi, namun yang terjadi pada aspek ini produk hukum yang
dihasilkan oleh pemerintah cenderung konserfatif dan hanya menguntungkan
pihak-pihak tertentu.
Terdapat
berbagai dampak negative yang seakan tertutupi dengan semangat pemerintah untuk
menjadi raja baterai dunia.
Telah menjadi issue lama bahwa industri ekstraktif di Indonesia punya dampak besar
terhadap peningkatan pengerukan kekayaan alam dan penggundulan tanah, yang bisa
memperparah krisis iklim. Tidak hanya iklim di Indonesia namun juga dunia.
Padahal telah diketahui bahwa hutan yang ada di Indonesia terutama Kalimantan
termasuk salah satu paru-paru bumi. Meskipun dalam hukum yang tertulis di atas
kertas, perizinan harus memenuhi ketentuan yang menyatakan untuk tidak
melakukan proses penambangan yang dapat merusak lingkungan. Ketentuan ini
tercantum dalam ketentuan lama dan ketentuan baru dalam Undang-Undang Cipta
Kerja.
Jaringan
Advokasi Tambang (Jatam) mencatat pada 2020 ada sebanyak 3.092 lubang tambang
yang tidak direklamasi di Indonesia, termasuk 814 di antaranya terdapat di
Kalimantan Selatan. Dapat dibayangkan berapa tambahan lubang yang akan dibuat
untuk mengimbangi program KKLB. Salah satu kasus yang tidak luput dari kegiatan
pertambangan adalah kausu yang dialami oleh 27 warga Kabupaten Konawe di Pulau
Wawonii, Sulawesi Tenggara yang dikriminalisasi atas tudingan
menghalang-halangi aktivitas tambang, melakukan pengancaman, hingga
penganiayaan. Padahal yang dilakukan oleh 27 warga tersebut adalah
mempertahankan hak kepemilikan atas tanah yang menjadi lahan pertambangan.
Selain
itu, perusahaan beberapa kali berupaya menerobos lahan warga dengan dukungan
aparat kepolisian bersenjata. Seperti pada warga Bahodopi, Banggai, Morowali
Utara di Sulawesi Tengah, dan Weda, Buli, Pulau Obi di Maluku Utara. Konflik-konflik
tersebut melibatkan aktor negara serta non negara. Dampak lingkungan yang
disebabkan oleh pembuangan limbah nikel ke laut juga terjadi di Morowali dan
Pulau Obi, Maluku Utara yang dilakukan oleh perusahaan tambang nikel. Hal ini
dapat merusak ekosistem di perairan tersebut. peningkatan industri KLBB akan
menghancurkan wilayah-wilayah lain sebagaimana yang terjadi dengan Pulau Obi.
Daftar
Pustaka
Akib,Dr. Muhammad, 2016, PolitikHukum Lingkungan, PT
Raja Grafindo Persada: Jakarta
Gusti Satriawan, Kebijakan Indonesia Dalam Melarang
Ekspor Mineral Mentah Tahun 2009-2014, Jurnal FISIP Vol. 2 Vo. 2, Oktober 2015
Hidayat, Eko, 2018 “Kontribusi Politik Hukum dalam
Pembangunan Hukum Progresif di Indonesia” Jurnal Hukum Ekonomi Syariah
Vol. 10 No. 02
Izzati dan Suhartono, 2019, Kebijakan Percepatan
Larangan Ekspor Ore Nikel dan Upaya Hilirisasi Nikel, INFO SINGKAT, Vol. XI,
No. 231/I/Puslit/Desember/2019
Muas Mustika Ananda, Upaya China Dalam Memenuhi
Kebutuhan Nikel Dalam Negeri Pasca Kebijakan UU Minerba No. 04 Tahun 2009, e
journal Ilmu Hubungan Internasional, Vol 7 No. 3, 2019
Rangkuman Gugatan Uni Eropa Terhadap Larangan Ekspor
Nikel Oleh Indonesia Di WTO, Lembar Fakta, Akses 12 April 2021
Siaran Pers Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) 30
Desember 2020, Jakarta
Windratmo Suwarno, Kebijakan Sawit Uni Eropa (UE) dan
Tantangan bagi Diplomasi Ekonomi Indonesia, Jurnal Hubungan Internasional, Vol.
8 No. 1, April – September 2019
Sekar Wiji Rahayu danFajar Sugianto, Implikasi
Kebijakan dan Deskriminasi Pelarangan Ekspor dan Impor Minyak kelapa sawit
(CPO) dan Bijih Nikel Terhadap Perekonomian Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, Vol
16 No. 2 Agustus 2020
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d952d7986e38/larangan-ekspor-nikel-berisiko-timbul-ketidakpastian-hukum/
akses 11 april 2021
https://www.cnbcindonesia.com/market/20190510155740-17-71758/4-pabrik-baterai-mobil-listrik-dibangun-siapa-untung
Akses 13 April 2021
https://money.kompas.com/read/2021/02/01/193916926/dari-tesla-hingga-lg-ini-7-perusahaan-global-calon-mitra-industri-baterai
Akses 13 April 2021
[1] Izzati dan Suhartono, 2019, Kebijakan Percepatan Larangan Ekspor
Ore Nikel dan Upaya Hilirisasi Nikel, INFO SINGKAT, Vol. XI, No.
231/I/Puslit/Desember/2019, Hlm 19
[2] Mustika Muas, Ananda, Upaya China Dalam Memenuhi Kebutuhan Nikel
Dalam Negeri Pasca Kebijakan UU Minerba No. 04 Tahun 2009, e journal Ilmu Hubungan
Internasional, Vol 7 No. 3 2019, Hlm 1200
[3] https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d952d7986e38/larangan-ekspor-nikel-berisiko-timbul-ketidakpastian-hukum/
akses 11 april 2021
[4] Wiji Rahayu, Sekar, Fajar Sugianto, Implikasi Kebijakan dan
Deskriminasi Pelarangan Ekspor dan Impor Minyak kelapa sawit (CPO) dan Bijih
Nikel Terhadap Perekonomian Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, Vol 16 No. 2 Agustus
2020, Hlm. 225
[5] Suwarno, Windratmo, Kebijakan Sawit Uni Eropa (UE) dan Tantangan
bagi Diplomasi Ekonomi Indonesia, Jurnal Hubungan Internasional, Vol. 8 No. 1,
April – September 2019, Hlm. 23
[6] Eko Hidayat, “Kontribusi Politik Hukum dalam Pembangunan Hukum
Progresif di Indonesia” Jurnal Hukum Ekonomi Syariah Vol. 10 No. 02,
2018, hlm 121
[7] Rangkuman Gugatan Uni Eropa Terhadap Larangan Ekspor Nikel Oleh
Indonesia Di WTO, Lembar Fakta, Akses 12 April 2021
[8] https://www.cnbcindonesia.com/news/20191212121629-4-122490/eropa-gugat-ri-soal-nikel-jokowi-siapkan-lawyer-terbaik
Akses 12 April 2021
[9] Dr. Muhammad Akib, 2016, PolitikHukum Lingkungan, PT Raja
Grafindo Persada: Jakarta, hlm. 6
[10] Satriawan, Gusti, Kebijakan Indonesia Dalam Melarang Ekspor Mineral
Mentah Tahun 2009-2014, Jurnal FISIP Vol. 2 Vo. 2, Oktober 2015, Hlm 1
[11] Wiji Rahayu, Sekar, Fajar Sugianto, Implikasi Kebijakan dan
Deskriminasi Pelarangan Ekspor dan Impor Minyak kelapa sawit (CPO) dan Bijih
Nikel Terhadap Perekonomian Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, Vol 16 No. 2 Agustus
2020, Hlm. 227
[12] Siaran Pers Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) 30 Desember
2020, Jakarta
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya, semoga informasi kami bermanfaat