Saturday, December 4, 2021

POLITIK HUKUM: KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR NIKEL INDONESIA




picture by https://kumparan.com/itmaamul-wafaa-s/politik-hukum-indonesia-2020-1vHTpuw6G6K

 Latar belakang

            Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara yang memiliki cadangan nikel terbanyak di dunia. Hampir 4 juta metric ton dari keseluruhan 80 juta metric ton cadangan nikel dunia tersimpan di Indonesia. Dengan 5,74% total cadangan nikel dunia, Indonesia menduduki peringkat ke-6 penghasil nikel terbesar dunia.[1] Selain Indonesia, Filipina merupakan negara sasaran impor dengan produksi nikel terbesar pertama didunia. Produksi nikel Filipina mencapai 530.000 metric ton. Akan tetapi, bijih nikel produksi Indonesia dinilai memiliki kualitas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan Filipina. Sementara konsumsi terbesar nikel per tahun diduduki oleh Eropa dan China. Pada tahun 2015 misal, sekitar 50% keseluruhan konsumsi nikel dunia dikonsumsi oleh China, sedangkan konsumsi nikel Eropa mencapai angka 20%.[2]

            Tepat pada tanggal 1 desember 2020, pemerintah Indonesia menerbitkan kebijakan mengenai larangan ekspor nikel. Nikel yang dimaksudkan adalah bijih nikel dengan kadar di bawah 1,7%. Larangan ini tercantum dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).[3] Kebijakan ini dimaksudkan untuk menjaga keberlanjutan pasokan bahan baku dan smelter yang ada di Indonesia. Kebijakan ini menimbulkan perseteruan antara Indonesia dan Uni Eropa (UE).

Terbitnya larangan ekspor nikel mentah ini mulanya merupakan tindakan balasan pemerintahan Indonesia terhadap Uni Eropa (UE). Berawal dari dikeluarkannya Resolusi Parlemen tentang Palm Oil and Deforestation of Rainforest (minyak kelapa sawit (CPO) dan deforestasi hutan hujan) atau Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan-BPPK pada tahun 2017 oleh Uni Eropa (UE). putusan dalam jajak pendapat parlemen menyatakan untuk tidak mengguanakan minyak kelapa sawit (CPO) sebagai bahan baku utama biodiesel mulai tahun 2021. Putusan tersebut dilakukan untuk mengurangi emisi karbon secara global sebagai bentuk komitmen Eropa terhadap Protokol Kyoto.[4] Tidak hanya mengatasnamakan dampak terhadap lingkungan, parlemen bahkan menyinggung mengenai isu pelanggaran HAM, pembukaan hutan secara illegal, pekerja lokal tak berupah dan isu negatif lainnya.

            Larangan penggunaan minyak sawit sebagai bahan utama biodiesel oleh Uni Eropa (UE) menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi Indonesia. Sebagai negara pengekspor minyak kelapa sawit (CPO) terbesar, Indonesia telah menyumbang sekitar 55% pasokan minyak kelapa sawit (CPO) dunia. Minyak kelapa sawit (CPO) sendiri merupakan sektor utama ekspor non-migas Indonesia. Sedangkan Uni Eropa (UE) merupakan tujuan ekspor utama kedua setelah India. Maka, kebijakan yang dikeluarkan oleh parlemen Uni Eropa (UE) menimbulkan kerugian yang sangat besar. Kerugian berupa sekitar 4,78 ton CPO yang seharusnya diekspor ke Uni Eropa. selain itu kerugian juga berimbas kepada 4,2 juta orang tenaga kerja sektor kelapa sawit dan 12 juta orang yang bekerja di sektor turunannya.[5]

Rumusan Masalah

1.       Bagaimana skema kebijakan larangan ekspor nikel?

2.       Bagaimana keuntungan dan dampak proyek percepatan program kendaraan listrik berbasis baterai EV?

Pembahasan

            Politik hukum dapat dilihat dalam proses maupun penerapaan hukum itu sendiri. Dalam aspek kehidupan negara maka tujuan negara itu terdapat dalam bingkai hukum. Kesepakatan mengenai  kebijakan  hukum  dalam mencapai  tujuan  negara  dilakukan secara  demokratis  oleh  lembagalembaga  politik  sebagai  wujud representasi  rakyat.  Mahfud  MD mengatakan  Politik  hukum  adalah legal  policy  atau  garis  (kebijakan) resmi  tentang  hukum  yang  akan diberlakukan  baik  dengan  pembuatan hukum  baru  maupun  dengan penggantian  hukum  lama,  dalam rangka  mencapai  tujuan  negara.[6] Dalam kasus ini, tujuan negara Indonesia adalah menjadi raja baterai dunia. 

Uni Eropa (UE) merupakan salah satu importir terbesar nikel Indonesia. Nikel di negara-negara tersebut digunakan dalam berbagai industri stainless steel, teknologi dan mesin. Indonesia sebagai salah satu eksportir utama nikel dunia memiliki peran yang besar sebagai pemasok bahan baku utama penggunaan nikel UE. Seakan lupa dengan larangan penggunaan CPO yang sebelumnya mengatasnamakan kerusakan lingkungan, UE melayangkan gugatan terhadap Indonesia atas larangan ekspor nikel yang terapat dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Dalam gugatan yang ditujukan kepada organisasi perdagangan dunia WTO (World Trade Organization), UE menyatakan bahwa keputusan Indonesia melarang ekspor nikel menyulitkan industri UE dan menimbulkan persaingan bisnis yang tidak fair.[7] UE tidak menyebutkan bahwa dalam produksi nikel, terdapat dampak lingkungan kegiatan pertambangan yang sama buruknya dengan pengolahan dan produksi CPO.

Gugatan yang dilayangkan oleh UE tidak menyurutkan keputusan pemerintah dalam pelaksanaan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Larangan ekspor nikel tetap berlaku mulai tahun 2020. Pemerintah Indonesia memiliki alasan yang cukup kuat. Presiden Joko Widodo dalam pidatonya menyatakan tidak akan mundur dengan adanya gugatan yang dilayangkan UE terhadap Indonesia kepada WTO.[8] Tidak hanya nikel, setelah kerja keras yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia menyeimbangkan isu lingkungan hidup dan pengelolaan sawit, Indonesia akan tetap memperjuangkan ekspor CPO menghadapi larangan parlemen UE.

Dalam Prespektif Hukum Lingkungan, kesejahteraan yang menjadi tujuan politik hukum nasional tidak cukup hanya dilandaskan pada negara hukum dan demokrasi, namun juga harus berlandaskan pada prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan. Prinsip tersebut harus menjadi arahan dalam pembuatan kebijakan lingkungan. Jika tidak, maka kesejahteraan yang dicapai tidak akann bertahan lama, karena sumber daya alam (SDA) sebagai salah satu elemen pembangunan tidak dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.[9]

Teori ekologi politik menilai bahwa keputusan pengelolaan sumber daya alam tidak bisa dipahami hanya dari sudut pandang teknis yang memprioritaskan efisiensi. Sebaliknya, seperti pendapat Adams, “‘kehijauan’ dari perencanaan pembangunan akan ditemukan bukan dalam kepeduliannya dengan ekologi atau lingkungan di dalam dirinya, tetapi dalam keprihatinannya dengan masalah kekendalian, kekuasaan, dan kedaulatan“. Penemuan-penemuan utama teori ekologi politik mengutarakan bahwa pola-pola pengembangan sumber daya muncul dari interaksi antara sistem alam (misalnya kualitas, kuantitas, dan lokasi air) dan sistem sosial (misalnya penyebaran kekuasaan ekonomi, sosial, dan politikdidalam suatu masyarakat). Namun, pemerintah justru terlalu asyik berpikir tentang pemahaman struktur sosial dan tidak memberikan perhatian seperlunya untuk memahami dan mendokumentasikan perubahan lingkungan, yang tidak selalu merupakan akibat dari sumber-sumber ekonomi dan politik. Dan politik yang dimaksudkan menurut teori ini adalah kapitalisme.

Pada dasarnya, larangan terhadap produk tambang mentah telah dirumuskan sejak tahun 2009. dimana terdapat kebijakan yang mengharuskan para investor untuk melakukan pengolahan pada smelter dalam negeri. Kebijakan ini dilakukan agar bahan tambang memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan bahan mentah. Kebijakan ini tercantum dalam Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Minerba.[10] Alasan adanya kebijakan larangan ekspor nikel tidak jauh berbeda dengan keberadaan UU Minerba untuk mengolah barang tambang menjadi barang setangah jadi agar memiliki nilai yang lebih tinggi.

Sebagai tindak lanjut larangan ekspor nikel, pemerintah Indonesia tengah bersiap untuk menjadi produsen nikel tingkat hulu, menengah, hingga hilir. Sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang nikel melimpah, Indonesia memiliki potensi besar untuk merajai pasar nikel. Nikel adalah salah satu bahan baku komponen mobil listrik. Dengan teknologi yang dimiliki, Indonesia dapat mengubah nikel dengan kadar rendah menjadi cobalt dan lithium yang merupakan bahan baku komponen baterai electric vehicle (EV) kendaraan listrik yang saat ini tengah digemari pengembangannya di pasar internaisonal. Program ini tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 55 tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai electric vehicle (EV) untuk Jalan. Dengan adanya progam ini, harga nikel mentah (ore nikel) yang tadinya hanya US$ 40 per ton meningkat hingga perkiraan US$17.000 ketika nikel telah diubah menjadi bahan siap produksi. Dengan permintaan pasar yang meningkat terhadap kendaraan bertenaga listrik, maka Indonesia dapat meraup keuntungan yang besar.[11] Akan tetapi, pembangunan industri baterai electric vehicle (EV) membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Saat ini Presiden bersama BUMN serta Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sedang mengupayakan gelontoran dana investasi serta mitra usaha. Beberapa perusahaan besar yang bergerak di bidang baterai electric vehicle (EV) dan kendaraan tenaga listrik menjadi sasaran negosiasi. Beberapa perusahaan telah sepakat untuk menjadi mitra bisnis maupun investor pada pembangunan industri baterai electric vehicle (EV) di Indonesia. Sebagaimana tertera dalam siaran pers BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), BUMN bersama perusahaan raksasa LG akan bekerja sama membangun industri produksi sel baterai electric vehicle (EV) dengan dana rencana investasi mencapai US$ 9,8 miliar.[12] Beberapa investor lain yang akan berinvestasi membangun smelter pengolahan nikel antara lain PT Vale Indonesia Tbk (INCO), Sumitomo Metal Mining Co Ltd Ningbo Lygend dan Tsinghan Group.[13] Selain investor dan mitra dalam pembangunan industri baterai VE, Indonesia juga memulai kerjasama dengan perusahaan kendaraan listrik diantaranya Tesla, CATL, Samsung, BYD, Farasis, dan Panasonic.[14] Tesla yang sebelumnya menyatakan akan mengganti bahan baku pembuatan baterai dari nikel menjadi besi pada akhirnya sepakat untuk bekerja sama dengan Indonesia dalam pembangunan ESS.

Dengan dibangunnya industri sel baterai VE hingga mobil listrik, diperkiraan dapat memaksimalkan penyerapan tenaga kerja. Selain itu, pemerintah juga memperkirakan peningkatan ekonomi dalam negeri dan peningkatan pendapatan APBN. Dengan adanya larangan ekspor nikel sebagaimana tercantum dalam dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Namun, bila ditinjau lebih jauh, kekuasaan pemerintahan menerbitkan izin tambang secara sepihak. Sehingga tidak ada partisipasi dari warga dan pihak, baik sebagai pemilik lahan, maupun warga lain yang berpotensi menerima dampak tidak langsung dari aktivitas tambang. Memang saat ini indonesia mengaku sebagai negara demokrasi, namun yang terjadi pada aspek ini produk hukum yang dihasilkan oleh pemerintah cenderung konserfatif dan hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Terdapat berbagai dampak negative yang seakan tertutupi dengan semangat pemerintah untuk menjadi raja baterai dunia. Telah menjadi issue lama bahwa industri ekstraktif di Indonesia punya dampak besar terhadap peningkatan pengerukan kekayaan alam dan penggundulan tanah, yang bisa memperparah krisis iklim. Tidak hanya iklim di Indonesia namun juga dunia. Padahal telah diketahui bahwa hutan yang ada di Indonesia terutama Kalimantan termasuk salah satu paru-paru bumi. Meskipun dalam hukum yang tertulis di atas kertas, perizinan harus memenuhi ketentuan yang menyatakan untuk tidak melakukan proses penambangan yang dapat merusak lingkungan. Ketentuan ini tercantum dalam ketentuan lama dan ketentuan baru dalam Undang-Undang Cipta Kerja.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat pada 2020 ada sebanyak 3.092 lubang tambang yang tidak direklamasi di Indonesia, termasuk 814 di antaranya terdapat di Kalimantan Selatan. Dapat dibayangkan berapa tambahan lubang yang akan dibuat untuk mengimbangi program KKLB. Salah satu kasus yang tidak luput dari kegiatan pertambangan adalah kausu yang dialami oleh 27 warga Kabupaten Konawe di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara yang dikriminalisasi atas tudingan menghalang-halangi aktivitas tambang, melakukan pengancaman, hingga penganiayaan. Padahal yang dilakukan oleh 27 warga tersebut adalah mempertahankan hak kepemilikan atas tanah yang menjadi lahan pertambangan.

Selain itu, perusahaan beberapa kali berupaya menerobos lahan warga dengan dukungan aparat kepolisian bersenjata. Seperti pada warga Bahodopi, Banggai, Morowali Utara di Sulawesi Tengah, dan Weda, Buli, Pulau Obi di Maluku Utara. Konflik-konflik tersebut melibatkan aktor negara serta non negara. Dampak lingkungan yang disebabkan oleh pembuangan limbah nikel ke laut juga terjadi di Morowali dan Pulau Obi, Maluku Utara yang dilakukan oleh perusahaan tambang nikel. Hal ini dapat merusak ekosistem di perairan tersebut. peningkatan industri KLBB akan menghancurkan wilayah-wilayah lain sebagaimana yang terjadi dengan Pulau Obi.

 


 

Daftar Pustaka

Akib,Dr. Muhammad, 2016, PolitikHukum Lingkungan, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta

Gusti Satriawan, Kebijakan Indonesia Dalam Melarang Ekspor Mineral Mentah Tahun 2009-2014, Jurnal FISIP Vol. 2 Vo. 2, Oktober 2015

Hidayat, Eko, 2018 “Kontribusi Politik Hukum dalam Pembangunan Hukum Progresif di Indonesia” Jurnal Hukum Ekonomi Syariah Vol. 10 No. 02

Izzati dan Suhartono, 2019, Kebijakan Percepatan Larangan Ekspor Ore Nikel dan Upaya Hilirisasi Nikel, INFO SINGKAT, Vol. XI, No. 231/I/Puslit/Desember/2019

Muas Mustika Ananda, Upaya China Dalam Memenuhi Kebutuhan Nikel Dalam Negeri Pasca Kebijakan UU Minerba No. 04 Tahun 2009, e journal Ilmu Hubungan Internasional, Vol 7 No. 3, 2019

Rangkuman Gugatan Uni Eropa Terhadap Larangan Ekspor Nikel Oleh Indonesia Di WTO, Lembar Fakta, Akses 12 April 2021

Siaran Pers Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) 30 Desember 2020, Jakarta

Windratmo Suwarno, Kebijakan Sawit Uni Eropa (UE) dan Tantangan bagi Diplomasi Ekonomi Indonesia, Jurnal Hubungan Internasional, Vol. 8 No. 1, April – September 2019

Sekar Wiji Rahayu danFajar Sugianto, Implikasi Kebijakan dan Deskriminasi Pelarangan Ekspor dan Impor Minyak kelapa sawit (CPO) dan Bijih Nikel Terhadap Perekonomian Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, Vol 16 No. 2 Agustus 2020

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d952d7986e38/larangan-ekspor-nikel-berisiko-timbul-ketidakpastian-hukum/ akses 11 april 2021

https://www.cnbcindonesia.com/news/20191212121629-4-122490/eropa-gugat-ri-soal-nikel-jokowi-siapkan-lawyer-terbaik Akses 12 April 2021

https://www.cnbcindonesia.com/market/20190510155740-17-71758/4-pabrik-baterai-mobil-listrik-dibangun-siapa-untung Akses 13 April 2021

https://money.kompas.com/read/2021/02/01/193916926/dari-tesla-hingga-lg-ini-7-perusahaan-global-calon-mitra-industri-baterai Akses 13 April 2021

 

           



[1] Izzati dan Suhartono, 2019, Kebijakan Percepatan Larangan Ekspor Ore Nikel dan Upaya Hilirisasi Nikel, INFO SINGKAT, Vol. XI, No. 231/I/Puslit/Desember/2019, Hlm 19

[2] Mustika Muas, Ananda, Upaya China Dalam Memenuhi Kebutuhan Nikel Dalam Negeri Pasca Kebijakan UU Minerba No. 04 Tahun 2009, e journal Ilmu Hubungan Internasional, Vol 7 No. 3 2019, Hlm 1200

[4] Wiji Rahayu, Sekar, Fajar Sugianto, Implikasi Kebijakan dan Deskriminasi Pelarangan Ekspor dan Impor Minyak kelapa sawit (CPO) dan Bijih Nikel Terhadap Perekonomian Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, Vol 16 No. 2 Agustus 2020, Hlm. 225

[5] Suwarno, Windratmo, Kebijakan Sawit Uni Eropa (UE) dan Tantangan bagi Diplomasi Ekonomi Indonesia, Jurnal Hubungan Internasional, Vol. 8 No. 1, April – September 2019, Hlm. 23

[6] Eko Hidayat, “Kontribusi Politik Hukum dalam Pembangunan Hukum Progresif di Indonesia” Jurnal Hukum Ekonomi Syariah Vol. 10 No. 02, 2018, hlm 121

[7] Rangkuman Gugatan Uni Eropa Terhadap Larangan Ekspor Nikel Oleh Indonesia Di WTO, Lembar Fakta, Akses 12 April 2021

[9] Dr. Muhammad Akib, 2016, PolitikHukum Lingkungan, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, hlm. 6

[10] Satriawan, Gusti, Kebijakan Indonesia Dalam Melarang Ekspor Mineral Mentah Tahun 2009-2014, Jurnal FISIP Vol. 2 Vo. 2, Oktober 2015, Hlm 1

[11] Wiji Rahayu, Sekar, Fajar Sugianto, Implikasi Kebijakan dan Deskriminasi Pelarangan Ekspor dan Impor Minyak kelapa sawit (CPO) dan Bijih Nikel Terhadap Perekonomian Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, Vol 16 No. 2 Agustus 2020, Hlm. 227                                                                                                                

[12] Siaran Pers Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) 30 Desember 2020, Jakarta

No comments:

Post a Comment

Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya, semoga informasi kami bermanfaat

Implementasi Lisensi Wajib TRIPs Agreement dalam Produk Pharmacy di Brazil

  picture: https://www.exyip.com/2021/06/24/how-the-trips-agreement-impacts-global-intellectual-property-policies/ A.     Pendahuluan Perj...