Wednesday, May 31, 2017

Biografi Imam Al-Ghazali



BIOGRAFI IMAM AL GHAZALI- Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali.  Kadang-kadang di ucapkan Al-Ghozzali (dua) kata ini yang berasal dari kata Ghazzal, yang artinya tukang pintal benang karena pekerjaan ayahnya memintal benang wol sedangkan al ghazali yang kedua, diambil dari ghazalah, nama Kampung kelahiran  Al- Ghazali. Yang terakhir ini inlah yang banyak dipakai.[1] Sedangkan Al-Ghazali lahir di Thus bagian dari kota Kurasan, Irak pada 450 H (1056 M). Ayahnya tergolong orang yang hidup sangat sederhana sebagai pemintal benang, tetapi mempunyai semangat keagamaan yang tinggi seperti terlihat pada simpatiknya kepada ulama’ dan mengharapkan anaknya menjadi ulama’ yang selalu memberi nasehat kepada umat. Itulah sebabnya, ayahnya sebelum wafat menitipkan anaknya, Al-Ghozali dan  audaranya, Ahmad yang ketika itu masih kecil, kepada seorang ahli tasawuf untuk mendapatkan didikan dan bimbingan.[2] Diperkirakan Al-Ghozali, hidup dalam suasana kesederhanaan sufi tersebut sampai usia 15 tahun (450-465 H).

 Imam Al-Ghazali lebih dikenal sebagai ulama thasawuf dan akidah. Oleh sebab itu sumbangannya terhadap bidang falsafah dan ilmu pengetahuan lain tidak boleh dinafikan. Al-Ghazali merupakan seorang ahli Sufi yang bergelar "Hujjatul Islam". Abu Hamid Ibnu Muhammad Al-Tusi Al-Ghazali adalah tokoh yang dilahirkan di Thus, Parsi pada tahun 450 Hijrah. Sejak kecil lagi, beliau telah menunjukkan keupayaan yang luar biasa menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan. Beliau bukan saja produktif dari segi menghasilkan buku dan karya tetapi merupakan seorang ahli fikir Islam yang terulung.

Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan begitu mendalam sehingga mendorongnya menggembara dan merantau dari satu tempat ke tempat yang lain untuk berguru dengan ulama-ulama yang hidup pada zamannya. Sewaktu berada di Baghdad, Al-Ghazali telah dilantik sebagai Mahaguru Universitas Baghdad. Pada tahun 488 H (1095 M) Al-Ghozali dilanda keragu-raguan, skeptis, terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (hukum, teologi dan filsafat), kegunaan pekerjaanya, dan karya-karya yang dihasilkannya, sehingga ia menderita penyakit selama 2 bulan, dan sulit diobati. Karena itu, Al-Ghozali tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai guru besar di madrasah Nizhamiyah. Akhirnya ia menimggalkan Baghdad menuju kota Damaskus.

 Selama kira-kira dua tahun Al-Ghozali di kota ini, ia melakukan uzlah, riyadhah, dan mujahadah. Kemudian ia pindah ke bait al-Maqdis, Palestina untuk melaksanakan ibadah serupa, setelah itu tergerak hatinya untuk menunaikan ibadah haji dan menziarahi maqam Rasulullah.[3]

Sepulang dari tanah suci, Al-Ghozali mengunjungi kota kelahirannya, Thus disini pun ia tetap berkhalwat. Keadaan skeptis Al-Ghozali berlangsung selama 10 tahun4. Pada periode itulah ia menulis karyanya yang terbesar ihya Ulumudin Karena desakan penguasa saljuk. Al-Ghozali mengajar kembali pada madrasah Nizhamiyah di Naisabur, tetapi hanya berlangsung selama 2 tahun, kemudian ia kembali ke Thus untuk mendirikan madrasah bagi para fuqaha’, dan sebuah Zawiyah atau khanaqah untuk para mutasawwifin. Imam Al -Ghazali yang bergelar Hujjatul Islam meninggal dikota kelahirannya Thus pada hari Senin 14 Jumadil Akhir 505 H (111 M).


CORAK PEMIKIRAN TASAWUF IMAM AL-GHAZALI

Di dalam tasawufnya, Imam al-Ghozali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi, ditambah dengan doktrin Ahlussunnah Wal Jamaah yang kebangkitannya kembali dipelopori oleh al-Imam Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari. Dari paham tasawufnya itu, beliau menjauhkan semua kecenderungan genotis yang mempengaruhi para filosuf Islam, sekte Isma'iliyah, aliran Syi’ah, Ikhwan al-Shofa, dan lain-lain. Beliau menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan. Itulah sebabnya dapat dikatakan bahwa tasawuf al-Ghozali benar-benar bercorak Islam.

Corak tasawufnya lebih ditekankan pada adab dan tatakrama. Beliau berkata: Adab adalah pendidikan dhohir dan bathin, oleh karenanya apabila seorang hamba telah berbuat baik secara dhohir dan bathin maka ia telah menjadi sufi yang beradab. Barang siapa selalu berperilaku sesuai dengan Sunah maka Allah SWT akan menerangi hatinya dengan cahaya kemarifatan karena tidak ada kedudukan yang lebih mulia dari mengikuti Nabi Muhammad yang dicintai Allah dalam perintah, perbuatan, dan ahlaknya, baik dalam niat, ucapan maupun perbuatan.

 Tasawuf Al - Ghazali menghimpun akidah, syariat dan akhlak dalam suatu sistematika yang kuat dan amat berbobot, karena teori - teori tasawufnya lahir dari kajian dan pengalaman pribadi setelah melaksanakan suluk dalam riyadhah dan  ujahadah yang intensif dan berkesinambungan, sehingga dapat dikatakan bahwa seumur hidupnya ia bertasawuf. Dalam pandangannya, Ilmu Tasawuf mengandung 2 bagian penting, pertama  menyangkut ilmu mu'amalah dan bagian kedua menyangkut ilmu mukasyafah, hal ini diuraikan dalam karyanya Ihya 'Ulumiddin, Al -Ghazali menyusun menjadi 4 bab  utama dan masing-masing dibagi lagi kedalam 10 pasal yaitu :

·         Bab pertama : tentang ibadah (rubu' al - ibadah)
·         Bab kedua : tentang adat istiadat (rubu' al - adat)
·         Bab ketiga : tentang hal -hal yang mencelakakan (rubu' al - muhlikat)
·         Bab keempat : tentang maqamat dan ahwal (rubu' al - munjiyat)

ersihan diri dan pembeningan hati terus menerus sehingga mampu mencapai musyahadah. Oleh karena itu ia menekankan pentingnya pelatihan jiwa, penempatan moral atau akhlak yang terpuji baik disisi manusia maupun Tuhan.[4]

 AJARAN TASAWUF AL-GHAZALI

Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-jama’ah. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral yang dapat di lihat dalam karya-karyanya seperti Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al Hidayah, M’raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad. Al Ghazali menilai negatif terhadap syathahat dan ia sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan wujud), untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya

a.      Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat

Menurut Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada, alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir-qolb dan roh. Pada saat sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya akan mengalami iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya kepada sang sufi sehingga yang dilihatnya hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke tingkat ma’rifat.

b.      PandanganAl-Ghazali tentang As-As’adah

Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah) di dalam kitab Kimiya As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya; nikmatnya mata terletak pada ketika melihat gambar yang bagus dan indah, nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara merdu.

MA’RIFATULLAH DALAM WACANA

Menurut Abdul Qadir al-Jailani, Ma’rifat adalah tidak dapat dibeli atau dicapai melalui usaha manusia. Ma’rifat adalah anugerah dari Allah swt. Setelah seseorang berada pada tingkatan ma’rifat, maka akan mengenal rahasia-rahasia Allah.  Allah memperkenalkan rahasia-rahasia-Nya kepada mereka hanya apabila hati mereka hidup dan sadar melalui zikrullah. Dan hati memiliki bakat, hasrat, dan keinginan untuk menerima rahasia Ketuhanan.

Menurut Tgk. H. Abdullah Ujong Rimba ma’rifat dalam pandangan sufi adalah mengetahui bagaimana hakikat Allah yang sebenarnya. Para sufi membagi ilmu mereka kepada empat bagian yaitu; ilmu syari’at, ilmu thariqat, ilmu hakikat, dan ilmu ma’rifat. Tujuan terakhir dari sufi ahli tharikat adalah ilmu ma’rifat yakni ilmu mengetahui hakikat Allah karena demikian zat Allah dan sifat-sifat-Nya dijadikan sebagai maudhu’ ilmu tasawuf yaitu ilmu latihan untuk mencapai hakikat guna untuk mencapai ma’rifat (mengetahui hakikat Allah swt).

Ma’rifatullah menurut konsep al-Ghazali adalah berupaya untuk mengenal Tuhan sedekat-dekatnya yang diawali dengan pensucian jiwa dan zikir kepada Allah secara terus-menerus, sehingga pada akhirnya akan mampu melihat Tuhan dengan hati nuraninya.31 Ma’rifah yang paling lezat adalah yang paling mulia daripadanya. Kadar kemuliaannya, menurut kadar kemuliaan ilmu yang telah diketahuinya. Jikalau dalam ilmu yang diketahui itu lebih agung, lebih sempurna, lebih mulia dan lebih besar, maka mengetahuinya itu akan menjadi ilmu yang paling lezat, paling mulia dan yang paling baik.

Maqam Dan Hal Ma’rifatullah

Ma’rifatullah menurut konsep al-Ghazali adalah berupaya untuk mengenal Tuhan  edekat-dekatnya yang diawali dengan pensucian jiwa dan zikir kepada Allah secara  erus-menerus, sehingga pada akhirnya akan mampu melihat Tuhan dengan hati sanubarinya.

Ma’rifatullah adalah sebagai pengarah yang akan meluruskan orientasi hidup seorang muslim. Dari sinilah dia menyadari bahwa hidupnya bukan untuk siapapun kecuali hanya untuk Allah, jika seseorang hidup dengan menegakkan prinsipprinsip ma’rifatullah ini, insya Allah alam semesta ini akan Allah tundukkan untuk melayaninya. Misalnya dalam beramal bukan untuk dilihat oleh orang lain agar mendapatkan pujian, bekerja bukan karena ada pemimipin di depan baru akan bekerja.

Maksudnya apapun amalan dan pekerjaan yang dilakukan sematamata untuk   endapatkan keridhaan dari Allah swt. Dengan fasilitas itulah, manusia akan  emperoleh kemudahan dalam setiap urusan yang dihadapi dan diperbuatnya. Menurut al-Ghazali, seorang muslim selayaknya memahami bahwa keindahan cinta yang paling hakiki adalah ketika mencintai Allah swt. Pondasi utama yang harus dibangun oleh seorang muslim untuk menggapai keindahan cinta tersebut dengan mengenal Allah.
Bagi seorang muslim,  ma’rifatullah adalah bekal untuk meraih prestasi hidup setinggi-setingginya.  Sebaliknya, tanpa ma’rifatullah, tidak mungkin seorang muslim memiliki keyakinan dan keteguhan hidup. Berdasarkan penjelasan di atas dalam kondisi ini, maka Allah kemudian mengisi hati orang tersebut dan memenuhi hatinya dengan rahmat, memancarkan nur-Nya, melapangkan dada, membuka padanya rahasia alam malakut, tersingkaplah dari hati orang tersebut kelengahan sebab kelembutan rahmat-Nya, serta berkilaulah di sana hakikat masalah-masalah ilahiyat. Para nabi dan waliullah memperoleh pengetahuan dan dadanya terpenuhi oleh nur dengan cara serupa ini.

Mereka memperolehnya tanpa belajar dan membaca, tetapi dengan zuhud di dunia dan membebaskan diri dari belenggunya, mengosongkan hati dari kotoran-kotorannya, serta menghadap secara utuh kepada Allah. Ini bisa terjadi karena barangsiapa keberadaannya untuk Allah, maka Allah juga baginya.

 ٞ ليۡوَفَ هۦِۚبِّرَّ نمِّ رٖونُ ىٰلَعَ وَهُفَ مِلَٰسۡإِلۡلِ هۥُرَدۡصَ هُلَّلٱ حَرَشَ نمَفَأَ ٢٢ نٍيبِمُّ لٖلَٰضَ يفِ كَئِلَٰٓوْأُ هِۚلَّلٱ رِكۡذِ نمِّ مهُبُولُقُ ةِيَسِقَٰلۡلِّ
Artinya:  Maka Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)?...” (Q.S. Az-Zumar: 22)
Berdasarkan penjelasan ayat di atas, sama-sama berbicara tentang cahaya Tuhan. Cahaya tersebut ternyata dapat diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang dia kehendaki. Mereka mendapatkan cahaya akan dengan mudah mendapatkan petunjuk hidup, sedangkan merekan yang tidak mendapatkan cahaya akan mendapatkan kesesatan hidup. Dalam ma’rifah kepada Allah yang didapat seorang sufi adalah cahaya. Dengan demikian, ajaran ma’rifah sangat dimungkinkan terjadi dalam Islam.

1.      Maqam

Pengertian dan macam-macam maqam.

Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia.[5] Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah.[6] Dalam bahasa Inggris  aqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga.

a.      Maqam Taubat

Al-Taubah berasal dari bahasa Arab taba, yatubu, taubatan yang artinya kembali.34 Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal kebajikan. Harun Nasution, mengatakan taubat yang dimaksud sufi ialah taubat yang sebenarnya, taubat yang tidak akan membawa kepada dosa lagi.[7]

 Menurut imam al-Ghazali taubat adalah kembali (ruju’). Dengan demikian, taubat kembali dari yang dicela syara’ menuju pada sesuatu yang dituju syara’.[8] Taubat adalah rumah tingkat pertama bagi seorang salik. Ia adalah ibarat batu pondasi pertama yang harus ditapaki manusia dalam perjalanannya menuju Allah. Untuk mencapai taubat yang sesungguhnya dan dirasakan diterima oleh Allah terkadang tidak dapat dicapai satu kali saja. 

b.      Maqam Zuhud         

Secara harfiah al-zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian.[9] sedangkan menurut Harun Nasution zuhud artinya keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Selanjutnya al-Qusyairi mengatakan bahwa di antara para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan zuhud. Menurut al-Ghazali, Zuhud berarti membenci dunia demi mencintai akhirat.[10]
Lebih lanjut ia menjelaskan sikap zuhud dalam melihat dunia dan meninggalkan perhiasannya yang kelak pasti akan musnah adalah salah satu ciri istimewa orang-orang yang saleh dan orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah swt. Ia juga mengatakan hakikat keimanan ini dengan mengatakan dimulai dengan menampakkan hakikat keimanan dengan menjauhkan jiwa dari kemewahan dunia dan menyertai tindakan keimanan dengan keyakinan.

c.       Maqam Sabar

Secara harfiah, sabar berarti tabah hati.  Menurut Zun al-Nun al-Mishry, sabar artinya  menjauhkan dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapatkan cobaan, dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi. Selanjutnya Ibn Atha mengatakan sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap yang baik. Dan pendapat lain mengatakan sabar berarti menghilangkan rasa mendapatkan cobaan tanpa menunjukkan rasa kekal.

d.      Maqam Tawakkal

Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri. Menurut Sahalbin Abdullah bahwa  tawakkal adalah apabila seorang hamba di hadapan Allah seperti bangkai di hadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti semaunya yang memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun al-Qashshar mengatakan tawakkal adalah berpegang teguh pada Allah.[11]  Pengertian tawakkal yang demikian itu sejalan pula dengan yang dikemukakan Harun Nasution. Ia mengatakan tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah. Selamanya dalam keadaan tenteram, jika mendapat pemberian berterima kasih, jika mendapat apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada qada dan qadar Tuhan.

e.       Maqam Khauf (Takut)

Khauf  atau takut menurut pandangan Imam al-Ghazali adalah rasa sakit dalam  hati karena khawatir akan terjadinya sesuatu yang tidak disenangi pada masa datang. Hati seseorang terikat dengan Allah dan dia tidak melihat apa-apa di alam ini selain Allah, sibuk menyaksikan keagungan Allah dan keindahan kehadiran Allah di sisi-Nya secara terus-menerus. Jika ia mengalami hal ini, maka ia tidak akan merasa takut dan tidak pula memiliki harapan, sebab keadaannya telah jauh berada di atasnya. Menurut Imam al-Ghazali, titik terendah dari derajat khauf adalah jika manusia menjauhkan diri dari segala yang haram. Sikap ini disebut dengan wara’. Derajat selanjutnya adalah menjauhi segala sesuatu yang memungkinkannya terjebak dalam  perbuatan  haram  atau perbuatan  yang syubhat (tidak jelas halal-haramnya).

Sikap ini disebut dengan ‘takwa’. Khauf juga bisa mendorong manusia meninggalkan sesuatu yang sebenarnya tidak haram, namun karena ia takut kalau di dalamnya terkandung unsur haram, maka ia meninggalkannya.         

f.       Maqam Ar-Raja’ (Harapan)

Ar-Raja’ atau pengharapan adalah salah satu maqam para salik (penempuh jalan  menuju Allah). Menurut Imam al-Ghazali, Ar-Raja’ adalah suatu keadaan di mana hati merasa nyaman karena menanti sesuatu yang cintai atau didambakan. Keberadaan sesuatu yang dicintai itu pastilah didahului dengan adanya sebab Ar-Raja’telah didefinisikan oleh al-Qusyairi dalam pernyataannya, “Ar-Raja’ adalah keterikatan hati dengan sesuatu yang dicintai yang akan didapatkan pada hari esok.[12]

2.      Hal

Imam al-Ghazali berkata: hal adalah kedudukan yang dimiliki seorang hamba pada suatu waktu. Hamba itu akan menjadi jernih hatinya pada saat berada dalam hal itu dan sesudahnya. Lebih lanjut al-Ghazali mengatakan hal adalah satu waktu dimana seorang hamba pada saat tertentu hatinya berubah, inilah yang disebut dengan hal. Imam At Thusi mengatakan: hal adalah kejernihan yang menempati atau kejernihan yang ditempati hati.[13]

 Ahmad bin Ujaibah mengatakan; amal dilakukan dengan menggerakkan badan dengan melalui mujahadah. Sedangkan hal adalah gerakan hati yang dilakukan dengan bersabar menghadapi penderitaan. Sementara maqam adalah ketenangan hati. Sesuai dengan penjelasan di atas, hal adalah pemberian Allah. Ia bisa berubah dan hilang. Sedangkan maqam hanya bisa didapatkan dengan cara beramal, usaha, dan usaha keras yang dilakukan secara kontinyu dan tidak terputus. Maqam bisa didapatkan oleh seorang hamba setelah ia membersihkan jiwanya dari segala sesuatu yang bisa membuatnya melalaikan Tuhan.







DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim

IAIN Sumatra Utara, Penantar Ilmu Tasawuf, Departemen Agama, 1982

Ebook, Al-Ghozali, 2004

Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Iman Al-Ghozali, Jakarta, Bulan Bintang,1975
Abbudin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta, Rajawali Pres, 2001

Ejournal, Tasaawuf Al-Ghozali, 2015

Scribd, Corak Tasawuf Imam Al-Ghozali, 2016

Drs. H. Ahmad Syadeli M.A ,Filsafat Umum, CV Pustaka Setia.1997

B. Lewis, (ed), The Encyclopaedia of Islam, Vol. II (Leiden : Ej. Brill, 1983)

Al Ghozali, Al-Munqidz min al-Dhalal (kairo : Al-Matba’ah al-Islamiyah, 1977)

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: HidakaryanAgung, 1990)

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Cet,bIII, (Jakarta: Bulan               Bintang, 1993)

Al-Qusyairi, Ath-Thusi, Terj. Abdul Halim Mahmud, (Mesir. Darul Kutub Al-Haditsah)

B. Lewis, (ed), The Encyclopaedia of Islam, Vol. II (Leiden : Ej. Brill, 1983)




[1] Drs. H. Ahmad Syadeli M.A ,Filsafat Umum, CV Pustaka Setia.1997, Hal 178.
[2] B. Lewis, (ed), The Encyclopaedia of Islam, Vol. II (Leiden : Ej. Brill, 1983), hlm. 1038
[3] Al Ghozali, Al-Munqidz min al-Dhalal (kairo : Al-Matba’ah al-Islamiyah, 1977), hlm. 21-22
[4] Ahmad saifudin, Akhlaq Tasawwuf, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009
               
[5] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: HidakaryanAgung, 1990), hal. 362.
[6] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Cet,bIII, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal. 62.
[7] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam…, hal, 67.
[8] Abdul Fattah Sayyid Ahma, Tasawuf antara al-Ghazali dan Ibnu Taymiyah…, hal.111.
[9] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia.., hal.158.
[10] Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Jld. IV,…, hal. 217.
[11] Al-Qusyairiyah, al-Naisabury, al-Rialah al-Qusyairah fi’Il, al-Tasawwuf…,
hal. 163.
[12] Abul Qasim Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah…, hal. 318
[13] Al-Qusyairi, Ath-Thusi, Terj. Abdul Halim Mahmud, (Mesir. Darul
Kutub Al-Haditsah), hal. 66.
[14] Ebook, Al-Ghozali, 2004

[15] Ejournal, Tasaawuf Al-Ghozali, 2015

[16] Scribd, Corak Tasawuf Imam Al-Ghozali, 2016

No comments:

Post a Comment

Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya, semoga informasi kami bermanfaat

Implementasi Lisensi Wajib TRIPs Agreement dalam Produk Pharmacy di Brazil

  picture: https://www.exyip.com/2021/06/24/how-the-trips-agreement-impacts-global-intellectual-property-policies/ A.     Pendahuluan Perj...