Wednesday, May 31, 2017

Metode Istinbath Hukum

Istinbath Hukum-Istinbath hukum merupakan sebuah cara pengambilan hukum dari sumbernya. Ilmu yang membahas tentang istinbath hukum (metodologi penggalian hukum), dinamakan ushul fiqh. Untuk memahami syari’at Islam yang dibawa Rasulullah, ulama ushuliyyin mengemukakan dua bentuk pendekatan, yaitu melalui kaidahkaidah kebahasaan dan melalui pendekatan maqashid al-syari’ah (tujuan syara’ dalam menetapkan hukum).

  Bentuk-bentuk Istinbath Hukum

Untuk memahami teks-teks ini secara tepat, para ulama telah menyusun semantik khusus untuk keperluan istinbath hukum. Yaitu :

1.       Metode Bayani

disebut dengan al-qawaid al-ushulliyah al-lughawiyyah, atau dilalat al-lafadz, yaitu metode istinbath melalui penafsiran terhadap kata yang digunakan dalam nash dan susunan kalimatnya sendiri. Para ulama membagi pembahasan tentang makna lafadz kepada empat bagian, yaitu:

a.       dari segi cakupan artinya, dibagi menjadi tiga, yaitu khas, amm dan musytarak

b.      dari segi artinya dalam pemakaian, terbagi empat, yaitu haqiqat, majaz, sharih dan kinayah

c.    dari segi kemudahan dan kesulitan memahaminya, terbagi menjadi  dalil yang jelas ( dhahir, nash, mufassar dan muhkam) dan dalil yang samar (khafy, musykil, mujmal dan mutasyabih)

d.      dari segi cara menemukan makna yang dimaksud oleh teks, terbagi menjadi ibarat alnash, isyarat al-nash dan dilalat aliqtidha’

Contoh pembahasan metode bayani sebagaimana lafadz khas yang muqayyad yaitu lafadz khash yang diberi lafadz yang dapat mempersempit keluasan artinya, adalah firman Allah dalam surat al-Nisa ayat 92:

“Dan barang siapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba shaya yang beriman serta membayar diat yang diserhkan kepada keluarganya …”. (Q.S. al-Nisa’: 92)


Pada ayat tersebut terdapat tiga lafadz khash yang muqayyad. Pertama, lafadz qatala (membunuh) yang diqayyidkan dengan lafadz khata’an (karena salah). Sehingga dengan demikian kewajiban membayar kafarat yang semacam itu dibebankan terhadap pembunuhan yang dilakukan karena kesalahan, bukan pembunuhan karena yang lain. 

Kedua, lafadz raqabalin (hamba sahaya) yang diqayyidkan dengan mukhminatin (yang beriman). Oleh karena itu, tidaklah cukup memerdekakan hamba sahaya yang bukan orang beriman. Ketiga lafadz diyatun (denda) yang diqayyidkan dengan lafadz musallamatun (yang diserahkan). Dengandemikian denda itu harus diserahkan kepada keluarga orang yang terbunuh.

2.      Metode Ta’lili

Merupakan metode yang berusaha menemukan illat (alasan) dari pensyariatkan suatu hukum. digunakan untuk mengetahu apakah sesuatu ketentuan dapat diteruskan berlaku atau sudah sepantasnya berubah karena illat yang mendasarinya telah bergeser.

 Dirumuskan dalam sebuah kaidah kulliyah; al-hukm yadurru ma’a al-illat wujudan wa’adaman. Banyaknya ketentuan fiqh yang dapat dilihat dari dua segi; pertama, pemahaman tentang illat hukum itu sendiri yang berubah. Kedua, pemahaman terhadap illat masih tetap seperti sediakala.

Unsur dan syarat qiyas; pertama, untuk masalah pokok (maqis alaih) harus mempunyai ketentuan yang berdasarkan dalil nash dan tidak ada keterangan bahwa ketentuan tersebut berlaku dan Kedua, untuk masalah baru (maqis) harus tidak ada ketentuan nash yang mengaturnya secara langsung, Ketiga, untuk illat yang ada pada masalah pokok betul-betul ditemukan pada masalah baru dan relatif sama kualitasnya.

Sedangkan kekuatan illat yang tidak sama ada yang jelas dan ada yang tersembunyi itu karena ada pertimbangan khusus. dinamakan istihsan atau qiyas khafi.

3.      Methode Istishlahi

perpanjangan dari metode ta’lili, Dimaksudkan dengan istihslahi atau mashalih mursalah adalah penetapan suatu ketentuan berdasarkan asas kemaslahatan yang diperoleh dari dalil-dalil umum, karena untuk masalah tersebut tidak ditemukan dalil-dalil khusus. Dalam menggunakan metode ini ada dua hal penting yang harus diperhatikan, yaitu:

a.    sasaran-sasaran yang ingin dicapai dan dipertahankan oleh syari’at melalui aturan-aturan yang dibebankan kepada manusia ( dharuriyah, hajiyyah dan tahsiniyah ).

Dharuriyah yakni hal-hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia yang harus ada demi kemaslahatan mereka. Hajjiyah yakni hal-hal yang sangat dihajatkan dalam kehidupan manusia untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dan menolak halangan dan Tahsiniyah yaitu tindakan dan sifat yang harus dijauhi oleh akal yang sehat, dipegangi oleh adat kebiasaan yang bagus dan dihajati oleh kepribadian yang kuat.

b.     persyaratan penggunaan metode istishlahi.  Masalah yang ingin diketahui kedudukan hukumnya, dikembalikan kepada dalil-dalil umum yang biasanya merupakan gabungan makna dari beberapa ayat al-Qur'an, hadits atau kedua-duanya.

Urgensi Istinbath Hukum dan Aplikasinya

Periode awal yang muncul dan karya-karya yang terkemudian merupakan hasil perkembangan sejarah. Terdapat dua methode dalam pendekatan sejarah, yaitu historicocritical method dan hermeneutic method.

Historicocritical method merupakan sebuah pedekatan kesejaharan yang padaprinsipnya bertujuan menemukan fakta-fakta obyektif secara utuh dan ncari nilai-nilai tertentu yang terkandung di dalamnya. Sedangkan hermeneutic method adalah metode untuk memahami dan menafsirkan teks-teks kuno seperti teks kitab suci, sejarah dan hukum.

Contoh aplikasi kedua metode tersebut ada dalam menghukumi poligmai. Perdebatan poligami dimulai dari pemahaman terhadap surat al-Nisa ayat 3:

“Kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.” (Q.S. al-Nisa: 3).22
Ayat itulah yang dianggap sebagai dasar pembolehkan poligami. Tetapi, menurut Fazlur Rahman, poligami merupakan suatu yang di luar etika manusia. Rahman berpendapat bahwa al-Qur'an dalam menerima poligami hanya bersifat sementara dan membuat perbaikan terhadapnya lewat rancangan-rancangan hukum. Pada hakikatnya cita-cita moral al-Qur'an menuju pada konsep monogami.23 Pendapat tersebut, Rahman kemukakan berdasarkan argumentasi al-Qur'an sendiri yang tercantum dalam surat al-Nisa ayat 129:

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antra isteri-isterimu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung ….”. (Q.S. al-Nisa: 129)
Menurut Rahman, tidak mungkin seorang suami dapat berbuat adil terhadap isteri-isterinya meski ia sangat meninginkannya sebagaimana tercantum dalam ayat tersebut. Bagi Rahman, secara jelas al-Qur'an menyatakan mustahil mencintai lebih dari seorang wanita dalam acara yang sama. Memang al-Qur'an membenarkan poligami, tetapi itu merupakan untuk menerima sementara struktur sosial Arab tentang kebiasaan hidup berpoligami, tetapi pada hakikatnya, idea moral al-Qur'an adalah monogami.

Salah satu tujuan hukum Islam adalah untuk menciptakan kamslahatan manusia baik
di dunia maupun di akhirat  membawa maslahat bagi umat Islam, khususnya pemeliharaan stabilitas politik, memerangi orang-orang murtad (ahl al-riddat).

Abu Hanifah dan Syafi’ipun mempraktekkannya, baik dilakukan secara sadar atau tidak. Apalagi Hanafi yang dikenal sebagai seorang yang paling menonjol dalam menggunakan proporsi akal dalam ijtihadnya, sangat sulit untuk mengatakan bahwa ia tidak mempertimbangkan maslahat. Prinsip istihsan yang ia kembangkan, kalau dianalisa lebih jauh dalam pembinaan hukum Islam (fiqh), justru berpijak atas dasar maslahat. Sedangkan al-Syafi’i, praktek qiyas yang dilakukannya seringkali berdasar atas maslahat.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya, semoga informasi kami bermanfaat

Implementasi Lisensi Wajib TRIPs Agreement dalam Produk Pharmacy di Brazil

  picture: https://www.exyip.com/2021/06/24/how-the-trips-agreement-impacts-global-intellectual-property-policies/ A.     Pendahuluan Perj...