Istinbath Hukum-Istinbath
hukum merupakan sebuah
cara pengambilan hukum dari sumbernya. Ilmu yang membahas tentang istinbath hukum (metodologi penggalian hukum),
dinamakan ushul fiqh. Untuk memahami syari’at Islam yang dibawa Rasulullah,
ulama ushuliyyin
mengemukakan dua bentuk
pendekatan, yaitu melalui kaidahkaidah kebahasaan dan melalui pendekatan maqashid al-syari’ah (tujuan syara’ dalam menetapkan hukum).
Bentuk-bentuk Istinbath Hukum
Untuk memahami teks-teks ini secara tepat,
para ulama telah menyusun semantik khusus untuk keperluan istinbath hukum. Yaitu :
1.
Metode Bayani
disebut
dengan al-qawaid
al-ushulliyah al-lughawiyyah, atau
dilalat al-lafadz, yaitu metode istinbath melalui penafsiran terhadap kata yang
digunakan dalam nash dan susunan kalimatnya sendiri. Para ulama membagi
pembahasan tentang makna lafadz kepada empat bagian, yaitu:
a.
dari
segi cakupan artinya, dibagi menjadi tiga, yaitu khas, amm dan musytarak
b.
dari
segi artinya dalam pemakaian, terbagi empat, yaitu haqiqat, majaz, sharih
dan kinayah
c. dari
segi kemudahan dan kesulitan memahaminya, terbagi menjadi dalil yang jelas ( dhahir, nash, mufassar dan muhkam) dan dalil
yang samar (khafy,
musykil, mujmal dan mutasyabih)
d.
dari
segi cara menemukan makna yang dimaksud oleh teks, terbagi menjadi ibarat alnash, isyarat al-nash dan dilalat aliqtidha’
Contoh
pembahasan metode bayani
sebagaimana lafadz khas yang muqayyad yaitu lafadz khash yang diberi lafadz yang dapat mempersempit
keluasan artinya, adalah firman Allah dalam surat al-Nisa ayat 92:
“Dan barang siapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba shaya yang beriman serta membayar diat yang diserhkan kepada keluarganya …”. (Q.S. al-Nisa’: 92)
Pada ayat
tersebut terdapat tiga lafadz khash
yang muqayyad. Pertama, lafadz qatala (membunuh) yang diqayyidkan dengan lafadz khata’an
(karena salah).
Sehingga dengan demikian kewajiban membayar kafarat yang semacam
itu dibebankan terhadap pembunuhan yang dilakukan karena
kesalahan, bukan pembunuhan karena yang lain.
Kedua, lafadz raqabalin (hamba sahaya) yang diqayyidkan dengan mukhminatin (yang beriman). Oleh karena itu, tidaklah cukup memerdekakan hamba sahaya yang bukan orang beriman. Ketiga lafadz diyatun (denda) yang diqayyidkan dengan lafadz musallamatun (yang diserahkan). Dengandemikian denda itu harus diserahkan kepada keluarga orang yang terbunuh.
Kedua, lafadz raqabalin (hamba sahaya) yang diqayyidkan dengan mukhminatin (yang beriman). Oleh karena itu, tidaklah cukup memerdekakan hamba sahaya yang bukan orang beriman. Ketiga lafadz diyatun (denda) yang diqayyidkan dengan lafadz musallamatun (yang diserahkan). Dengandemikian denda itu harus diserahkan kepada keluarga orang yang terbunuh.
2. Metode Ta’lili
Merupakan
metode yang berusaha menemukan illat
(alasan) dari
pensyariatkan suatu hukum.
digunakan untuk
mengetahu apakah sesuatu ketentuan dapat diteruskan berlaku atau sudah
sepantasnya berubah karena illat
yang mendasarinya telah
bergeser.
Dirumuskan dalam sebuah kaidah kulliyah; al-hukm yadurru ma’a al-illat
wujudan wa’adaman. Banyaknya
ketentuan fiqh yang dapat dilihat dari dua segi; pertama, pemahaman tentang illat hukum itu sendiri yang berubah. Kedua, pemahaman terhadap illat masih tetap seperti sediakala.
Unsur dan
syarat qiyas; pertama, untuk masalah pokok (maqis alaih) harus mempunyai ketentuan yang berdasarkan
dalil nash dan tidak ada keterangan bahwa ketentuan tersebut berlaku dan Kedua, untuk masalah baru (maqis) harus tidak ada ketentuan nash yang
mengaturnya secara langsung, Ketiga,
untuk illat yang ada pada masalah pokok betul-betul
ditemukan pada masalah baru dan relatif sama kualitasnya.
Sedangkan
kekuatan illat yang tidak sama ada yang jelas dan ada yang
tersembunyi itu karena ada pertimbangan khusus. dinamakan istihsan atau qiyas khafi.
3. Methode Istishlahi
perpanjangan
dari metode ta’lili, Dimaksudkan dengan istihslahi atau mashalih mursalah adalah penetapan suatu ketentuan berdasarkan
asas kemaslahatan yang diperoleh dari dalil-dalil umum, karena untuk masalah
tersebut tidak ditemukan dalil-dalil khusus. Dalam menggunakan metode ini ada
dua hal penting yang harus diperhatikan, yaitu:
a.
sasaran-sasaran
yang ingin dicapai dan dipertahankan oleh syari’at melalui aturan-aturan yang
dibebankan kepada manusia ( dharuriyah,
hajiyyah dan tahsiniyah ).
Dharuriyah
yakni hal-hal yang
menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia yang harus ada demi kemaslahatan
mereka. Hajjiyah yakni hal-hal yang sangat dihajatkan dalam
kehidupan manusia untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dan menolak halangan
dan Tahsiniyah
yaitu tindakan dan
sifat yang harus dijauhi oleh akal yang sehat, dipegangi oleh adat kebiasaan
yang bagus dan dihajati oleh kepribadian yang kuat.
b. persyaratan penggunaan metode istishlahi. Masalah yang ingin diketahui kedudukan hukumnya,
dikembalikan kepada dalil-dalil umum yang biasanya merupakan gabungan makna
dari beberapa ayat al-Qur'an, hadits atau kedua-duanya.
Urgensi
Istinbath Hukum dan Aplikasinya
Periode
awal yang muncul dan karya-karya yang terkemudian merupakan hasil perkembangan
sejarah. Terdapat dua methode dalam pendekatan sejarah, yaitu historicocritical method dan hermeneutic method.
Historicocritical
method merupakan
sebuah pedekatan kesejaharan yang padaprinsipnya bertujuan menemukan
fakta-fakta obyektif secara utuh dan ncari nilai-nilai tertentu yang terkandung
di dalamnya. Sedangkan hermeneutic
method adalah
metode untuk memahami dan menafsirkan teks-teks kuno seperti teks kitab suci,
sejarah dan hukum.
Contoh
aplikasi kedua metode tersebut ada dalam menghukumi poligmai. Perdebatan
poligami dimulai dari pemahaman terhadap surat al-Nisa ayat 3:
“Kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.” (Q.S. al-Nisa: 3).22
Ayat itulah
yang dianggap sebagai dasar pembolehkan poligami. Tetapi, menurut Fazlur
Rahman, poligami merupakan suatu yang di luar etika manusia. Rahman berpendapat
bahwa al-Qur'an dalam menerima poligami hanya bersifat sementara dan membuat
perbaikan terhadapnya lewat rancangan-rancangan hukum. Pada hakikatnya
cita-cita moral al-Qur'an menuju pada konsep monogami.23 Pendapat tersebut, Rahman kemukakan berdasarkan argumentasi
al-Qur'an sendiri yang tercantum dalam surat al-Nisa ayat 129:
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antra isteri-isterimu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung ….”. (Q.S. al-Nisa: 129)
Menurut
Rahman, tidak mungkin seorang suami dapat berbuat adil terhadap
isteri-isterinya meski ia sangat meninginkannya sebagaimana tercantum dalam
ayat tersebut. Bagi Rahman, secara jelas al-Qur'an menyatakan mustahil
mencintai lebih dari seorang wanita dalam acara yang sama. Memang al-Qur'an
membenarkan poligami, tetapi itu merupakan untuk menerima sementara struktur
sosial Arab tentang kebiasaan hidup berpoligami, tetapi pada hakikatnya, idea
moral al-Qur'an adalah monogami.
Salah satu
tujuan hukum Islam adalah untuk menciptakan kamslahatan manusia baik
di dunia maupun di akhirat membawa maslahat bagi umat Islam, khususnya pemeliharaan
stabilitas politik, memerangi orang-orang murtad (ahl al-riddat).
Abu Hanifah
dan Syafi’ipun mempraktekkannya, baik dilakukan secara sadar atau tidak.
Apalagi Hanafi yang dikenal sebagai seorang yang paling menonjol dalam
menggunakan proporsi akal dalam ijtihadnya, sangat sulit untuk mengatakan bahwa ia
tidak mempertimbangkan maslahat. Prinsip istihsan yang ia kembangkan, kalau dianalisa lebih
jauh dalam pembinaan hukum Islam (fiqh),
justru berpijak atas dasar maslahat. Sedangkan al-Syafi’i, praktek qiyas yang dilakukannya seringkali berdasar atas maslahat.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya, semoga informasi kami bermanfaat