Mahar - Mahar merupakan serapan dari Bahasa Arab yakni ‘al-mahr’ yang juga
dalam Bahasa Indonesia dapat diesebut mas kawin. Dalam al-Qur’an tidak pernah
disebutkan kata mahar, akan tetapi terdapat enam istilah yang digunakan untuk
mengganti kata mahar, yakni shadaq, nihlah, ujur, tawl,
faridhah, qintar.
Beberapa ayat dalam al-Qur’an yang membahas
mengenai mahar adalah,
{وَآتُوا
النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ
نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا} [النساء: 4]
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya.
{فَانْكِحُوهُنَّ
بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ
مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ} [النساء: 25]
... karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan
mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun
wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang
mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya.
Sedangkan istilah mahar yang ada dalam
al-Hadis dan tradisi Arab setempat yakni Shadaq, serumpun dengan kata shidq (kebenaran,
ketulusan, kejujuran) dan shadaqah (derma, pemberian). Artinya, bahwa maskawin
yang diberikan kepada istri adalah bukti kejujuran, kesucian dan
ketulusan cintanya terhadap gadis yang dinikahinya.
Mahar bukan salah satu dari syarat sah nikah. Sehingga, tidak akan
batal akad nikah ketika tidak membayarkan mahar. Namun, mahar wajib dibayarkan
sebelum cerai mati maupun cerai hidup.
Mahar merupakan harta pribadi istri dan merupakan hak istri, bukan
termasuk dalam harta gono gini. Ketika terjadi cerai gugat maupun cerai talak ba’da
dukhul, laki-laki wajib untuk membayarkan mahar yang merupakan harta
pribadi perempuan. Apabila cerai talak terjadi qobla dukhul, maka jumlah
yang wajib dibayarkan adalah setenga dari jumlah yang disebutkan (selama pihak
perempuan meminta kepada pihak laki-laki). Sedangkan apabila cerai gugat qobla
dukhul terjadi, maka mahar tidak wajib dibayarkan.
Berbagai tulisan telah menyebutkan bahwa mahar tidak harus sesuatu
yang ‘mahal’. Salah satu riwayat yang menyebutkan adalah dari ‘Uqbah bin ‘Amir
yang dikeluarkan oleh Abu Daud yang artinya sebagai berikut “sebaik-baiknya
mahar itu yang paling mudah” (Syarifuddin, 2005: 101).
Namun, mahar yang mudah bukan pula berarti harga yang terlalu
remeh. Dalam beberapa kasus, mahar merupakan sesuatu yang menyebabkan
ketegangan antara pihak keluarga laki-laki maupun perempuan sebelum
melaksanakan pernikahan. Dalam beberapa ungkapan, banyak laki-laki yang
menyayangkan mahar yang terlalu besar dan menganggap bahwa mahar seharusnya tidak
memberatkan pihak laki-laki. Tidak salah memang, namun banyaknya artikel
mengenai mahar yang cenderung membentuk mainset bahwa seorang
wanita atau keluarga yang menentukan mahar yang besar adalah sesuatu yang tidak
baik dan dianggap matrealistis dan seakan-akan merupakan sesuatu yang tidak
baik.
Padahal, dalam islam mahar bukan hanya sebuah symbol yang diucapkan
dalam akad pernikahan. Mahar juga bukan hanya sesuatu yang memiliki harga
matrealis. Terdapat beberapa maksud dan tujuan dari mahar yang diberikan oleh
seorang suami kepada calon istri.
Dalam konsep hukum Islam, mahar bukan merupakan “harga” dari
seorang perempuan yang dinikahi, sebab pernikahan bukanlah akad jual beli. Oleh
karenanya, tidak ada ukuran dan jumlah yang pasti dalam mahar. Mahar bersifat
relatif disesuaikan dengan kemampuan dan kepantasan dalam suatu masyarakat
(Jayakrama, 2014).
Syarat harta yang dijadikan mahar adalah
berharga, diketahui, mampu dan sanggup untuk diberikan. Apabila harta tersebut
berupa hal yang bermanfaat maka hendaknya manfaatnya bermanfaat untuk seseorang
ataupun hendaknya barang tersebut pantas untuk dihargai.
Pemberian mahar kepada perempuan (istri) merupakan salah satu
bentuk penghargaan dan perlindungan hak perempuan untuk mengurus dan mengelola
hak-haknya. Ketika seorang perempuan menikah, maka kewajiban dari seorang istri
adalah memenuhi perintah suami. Berbeda dengan laki-laki yang masih memiliki
kewajiban terhadap orang tuanya.
Mahar memiliki arti bagaimana seorang laki-laki menghormati
perempuan sebagai istrinya. Oleh karena itu, sesungguhnya adanya batasan mahar
dalam beberapa adat di masayarakat tidak sepenuhnya negative untuk memberatkan
pihak laki-laki. Namun sebaliknya, semakin besar mahar tersebut semakin besar
kesadaran masyarakat untuk menghargai perempuan. Namun, tentu saja mahar yang
baik adalah mahr yang ‘mudah’ dalam artian masih dalam kemampuan pihak
laki-laki.
https://zlatasilver.com/cincin-kawin-alika.html
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya, semoga informasi kami bermanfaat