Tuesday, August 4, 2020

Pernikahan Persilangan Saudara (Dadung Kepuntir) Menurut Undang-Undang dan Hukum Islam



Masyarakat adat jawa merupakan salah satu masyarakat yang memiliki budaya yang cukup beragam dan cenderung kental dengan keyakinan adat dan budaya. Berbagai upacara adat, ramalan dan juga budaya jawa masih hidup di tengah-tengah masyarakat jawa modern. Salah satu kepercayaan yang masih sangat kental di masyarakat adalah mengenai keyakinan atas larangan-larangan yang terdapat dalam aturan adat jawa. Istilah ini sering disebut dengan pamali.

Menurut masyarakat jawa, apabila seseorang melanggar hal-hal yang dianggap pamali maka akan menimbulkan kesialan ataupun kemalangan. Salah satu hal pamali yang terdapat dalam aturan pernikahan adalah pernikahan persilangan saudara atau biasa disebut dadung kepuntir.

Perkawinan Dadung  Kepuntir merupakan  perkawinan  yang  dilakukan oleh dua keluarga, yang kedua keluarga saling menikahkan antara adik dengan kakak    dan    kakak    dengan    adiknya. Sebagaimana istilah-istilah dalam adat, perkawinan dadung kepuntir diistilahkan secara turun temurun oleh nenek moyang masyarakat adat jawa. Ketika perkawinan dadung kepuntir dilakukan, maka akan menimbulkan pergunjingan dalam masyarakat dan mempersulit kehidupan dalam berumah tangga. Terutama terhadap keluarga besar kedua belah pihak.

Dalam islam, perkawinan juga memiliki aturan yang tidak boleh dilanggar oleh pemeluknya. Menurut hukum islam, terdapat beberapa wanita yang tidak boleh dinikahi. Aturan ini tercantum dalam al-Qur’an surat an-nisa ayat 23 yang berbunyi,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

Yang artinya:
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Terdapat dua aturan larangan perkawinan dalam Islam . Yakni larangan yang berlaku ‘selamanya’ dan larangan yang berlaku hanya pada waktu tertentu (sementara). Wanita yang dilarang untuk dinikahi selamanya disebut mahram muabbad, sedangkan wanita yang dilarang untuk dinikahi sementara disebut mahram muaqqad.

Mahram muabbad terbagi menjadi tiga kelompok. Yakni mahram karena hubungan kekerabatan, hubungan perkawinan, dan hubungan persusuan.

Wanita yang dilarang dinikahi karena hubungan kekerabatan yakni:

a. Ibu, ibunya ibu, ibunya ayah dan seterusnya garis lurus ke atas;

b. Anak perempuan, anak perempuannya anak laki-laki, anak perempuannya anak perempuan dan seterusnya garis lurus ke bawah;

c. Saudara perempuan sekandung, seayah, maupun seibu;

d. Saudara perempuan ayah baik hubungan kepada ayah kandung, seayah atau seibu. Termasuk saudara perempuan kakek kandung, seayah atau seibu, dan seterusnya garis lurus ke atas.

e. Saudara perempuan ibu, baik hubungannya kepada ibu secara kandung, seayah, atau seibu. Termasuk saudara perempuan nenek kandung, seayah atau seibu dan seterusya garis lurus ke atas;

f. Anak perempuan saudara laku-laki, baik sekandung, seayah atau seibu. Cucu perempuan saudara laki-laki, baik sekandung, seayah atau seibu, dan seterusnya garis lurus ke bawah.

g. Anak perempuan saudara perempuan            baik sekandung, seayah atau seibu. Cucu perempuan saudara laki-laki, baik sekandung, seayah atau seibu, dan seterusnya garis lurus ke bawah.

Ketujuh kategori di atas juga berlaku sebaliknya bagi pihak perempuan. 

Kategori selanjutnya yakni dari karena hubungan perkawinan (musaharah). Terdapat empat wanita yang selama dilarang dinikahi oleh laki-laki karena hubungan perkawinan, yakni ibu tiri, menantu, mertua, dan anak tiri. Berbeda dengan tiga wanita lain yang dilarang untuk dinikahi karena hubungan perkawinan, anak tiri tidak boleh dinikahi ketika telah terjadi hubungan badan dengan istri (ibu dari anak tersebut) atau telah digauli. 

Ketentuan ini terdapat dalam surat an-nisa ayat 22 yang berbunyi,

وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۚ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا

Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).

Kategori terakhir wanita yang dilarang untuk dinikahi selamanya adalah karena hubungan sepersusuan. Mereka adalah ibu susuan, anak susuan, saudara sepersusuan, paman susuan, bibi susuan, anak saudara laki-laki atau perempuan susuan.

Sedangkan wanita yang haram dinikahi sementara (muaqqat) adalah,

1. Dua wanita bersaudara (kakak adik kecuali setelah meninggal salah satunya);

2. Mantan istri yang telah ditalak dua kali (kecuali setelah menikah satu kali dengan orang lain kemudian menikah kembali);

3. Wanita pezina sebelum bertaubat

4. Wanita yang sedang dalam ikatan laki-laki lain meskipun masih dalam status pinangan ataupun masa iddah (jangan jadi pebinor)

5. Dalam keadaan ihram

6. Perbedaan agama (bila perempuannya ahlul kitab, laki-lakinya islam tidak apa-apa)

7. wanita kelima (meskipun masih memiliki empat istri)


Pada berbagai kategori di atas, pernikahan silang antar saudara tidak termasuk dalam perkawinan yang dilarang. Oleh karena itu pernikahan persialangan antar saudara tidaklah dilarang dalam hukum islam. Lalu bagaimana dengan aturan undang-undang yang merupakan aturan hukum positif yang berlaku di Indonesia?

Dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan  “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. 

Jadi, dalam hukum positif pun perkawinan dadung  kepuntir tidak dilarang dan boleh dilaksanakan :))

 Teman-teman bisa cek di undang-undang perkawinan langsung klik link di bawah

DOWNLOAD DI SINI


Sumber:
Syaiful, implikasi pemahaman ‘dadung kepuntir’ terhadap pola hubungan dalam keluarga, Skripsi, UIN Maulana Malik Ibrahim, 2011
Tafsirq.com
abdul wahab khallaf, usul fiqh, (Jakarta; PT Rineka Cipta: 2015)
www.hukumonline.com


sumber gambar:

Implementasi Lisensi Wajib TRIPs Agreement dalam Produk Pharmacy di Brazil

  picture: https://www.exyip.com/2021/06/24/how-the-trips-agreement-impacts-global-intellectual-property-policies/ A.     Pendahuluan Perj...