Saturday, December 4, 2021

Perlindungan Hak Konsumen Oleh BPK dan OJK sebagai Lembaga perlindungan konsumen Pada Beberapa Jenis financial technology di Indonesia

 Financial Technology

            Revolusi  industri  4.0  sangat  mempengaruhi  gaya  hidup  masyararakat  Indonesia,  terutama  dalam  bidang  pelayanan  jasa  keuangan.  Salah  satu  bentuk  revolusi  industri  tersebut  yang berkembang  adalah  penggunaan  sistem  pembiayaan bidang  keuangan.  Masyarakat  semula  menggunakan pembiayaan berbasis  konvensional beralih  menjadi  berbasis financial  technologi  (fintech).  Layanan  pinjam  meminjam  uang  berbasis  teknologi  informasi  merupakan  penyelenggaraan  layanan  jasa  keuangan  untuk mempertemukan  pemberi  pinjaman  dengan  penerima  pinjaman  dalam  rangka  melakukan  perjanjian  pinjam  meminjam  dalam  mata  uang  rupiah  secara  langsung  melalui  sistem  elektronik  dengan  menggunakan  jaringan  internet. Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial (selanjutnya disebut PBI 19/2017), teknologi finansial diartikan sebagai berikut: “Teknologi Finansial adalah penggunaan teknologi dalam sistem keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru serta dapat berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau efisiensi, kelancaran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran.”

Tujuan dari adanya Fintech adalah sebagai inovasi di bidang teknologi dalam melakukan penyampaian layanan serta meningkatkan kegiatan di bidang keuangan yang cepat dan efisien tanpa perlu memakan waktu yang cukup lama adanya fintech ini untuk bersaing dengan metode keuangan tradisional. Ini merupakan salah satu tujuan dari adanya intermediasi keuangan yang membuat transaksi keuangan jadi lebih efisien karena adanya perantara sebagai pihak yang menghubungkan konsumen selaku nasabah dan konsumen selaku pemberi dana bagi pihak yang memerlukan pembiayaan. Fintech adalah produk financial dan jasa melalui penggabungan platform teknologi dan model bisnis yang inovatif adapun asal-usul fintech itu sendiri datang dari Silicon Valley salah satu bagian selatan dari San Fansisco Bay Area di California, kemudian berkembang ke New York, Singapore, Hong Kong, dan beberapa negara global. Di negara asia seperti Singapura merupakan tempat di mana teknologi dan kepercayaan membentuk dasar untuk lini keuangan yang inovatif jasa.

            Perkembangan  industi fintech  di  Indonesia  merupakan  inovasi  keuangan  yang baru, namun sangat pesat pertumbuhannya. Bentuk fintech di Indonesia ada dua macam yakni  fintech  konvensional  dan  fintech  syariah.  Perkembangan  tersebut  menjadi tantangan  sekaligus  peluang  bagi  pemerintah  Indonesia  dalam  mengembangkan peraturan transaksi keuangan fintech. Berikut merupakan skema pengembangan peraturan transaksi fintech

 

Jenis-jenis financial technology

Terdapat beberapa bentuk dari financial technologi. Beberapa jenis dari financial technology menurut Bank Indonesia adalah sebagai berikut :

1.     Peer to peer landing

Peer to peer landing pertama kali dikenalkan oleh software file sharing, beberapa diantaranya adalah Napster dan KazaA. Peer to peer landing merupakan praktik meminjam dan memberi pinjaman secara online melalui market place. P2P landing adalah praktik atau metode memberikan pinjaman uang kepada individu atau  bisnis  dan  juga  sebaliknya,  mengajukan  pinjaman  pada  pemberi  pinjaman yang  menghubungkan  antara  pemberi  pinjaman  dengan  peminjam  atau  investor  secara online.

Pinjaman Peer to Peer telah mengakar di Singapura dan dihargai karena langsung menghubungkan pihak peminjam dan penerima pinjaman. Singapura memiliki ekonomi intensif uang tunai di mana banyak peminjaman dan peminjaman sudah dilakukan di luar Singapura, ini adalah salah satu alasan yang membuat Singapura kondusif untuk pengembangan sistem kredit alternatif, terutama pengembangan platform pinjaman online yang bertujuan untuk menyediakan akses modal ke UKM. 7 Sementara itu di Indonesia ada startup yang sudah menghasilkan sekitar US $ 56 juta. Pendanaan Fintech adalah pasar pinjaman peer-to-peer di mana pemberi pinjaman pihak ketiga menyediakan uang tunai dan dimana mendapatkan keuntungan dalam pengembaliannya.

Skema peer to peer lending

2.     Crowdfunding

Crowdfunding merupakan sebuah platform intermediasi finansial dengan basis internet dengan cara mengumpulkan dana dari masyarakat dengan tujuan pembiayaan proyek maupun unit usaha. adalah  teknik  pendanaan unit  usaha  atau  proyek  usaha  yang melibatkan manusia secara luas. Crowdfunding adalah saah satu financial technology yang menjadi sebuah solusi dalam permodalan dan kesulitan ekonomi dalam pengembangan dan pembangunan usaha. Berikut skema crowdfunding

Skema crowdfunding

 

3.     Market Aggregator

Market Aggregator adalah layanan keuangan digital yang dapat digunakan untuk membandingkan beberapa layanan keuangan melalui informasi-informasi layanan tersebut. Beberapa bantuan informasi dari market aggregator adalah layanan kredit, KPR, dan agunan. Layanan informasi keuangan tersebut dapat dilihat dari informasi yang disediakan. Duitpintar.com, Cekaja, Cermati dan kartuku merupakan salah satu contoh dari market aggregator yang ada di Indonesia.

Skema market aggregator

 

4.     Risk and investment management

Platform financial technologi yang sudah lama ada di Indonesia ini merupakan platform perencanaan keuangan dengan bentuk digital. Risk and investment  management  atau biasa yang disebut dengan risiko dan investasi  manajemen  dalam  financial  technology  digunakan  sebagai  perencanaan dalam bentuk digital. Contoh dari platform ini adalah Finansialku, Cekpremi, TanamDuit, Bareksa, Rajapremi dan lain-lain.

[1]

Skema Risk and investment management

5.     Payment, settlement and clearing

Merupakan sebuah layanan keuangan digital yang bergerak di bidang pembayaran. Payment, settlement and clearing merupakan layanan pembayaran yang diselenggarakan oleh Lembaga perbankan maupun industry perbankan. Layanan ini dapat juga disebut dengan e-wallet atau dompet digital. Beberapa contoh dari e-wallet telah populer dan banyak diminati, antara lain shopee pay, ovo, go pay, link aja, dan lain-lain.

 

Skema Payment, settlement and clearing

Dari ke empat jenis teknologi financial, tentu tidak semuanya berjalan dengan lancer tanpa hambatan. Beberapa konsumen mengalami kerugian dengan beberapa kendala, antara lain eror system, mimim informasi elektronik, penipuan, hingga bunga yang terlalu tinggi. Selain itu, banyak pihak yang membuat platform illegal. Otoritas jasa keuangan sebagai Lembaga penanggung jawab keuangan memiliki wewenang dalam bidang financial technology. Sedangkan BPKN memiliki wewenang dalam perlindungan konsumen. Namun terdapat kendala kurangnya regulasi peraturan yang memberikan wewenang bagi ojk maupun bpkn dalam menyelesaikan masalah. Selain itu, penyelesaian masalah yang berputar-putar dan Kembali lagi ke pengadilan untuk melakukan eksekusi juga memberikan masalah efisiensi penyelesaian sengketa financial technology.

            Pengawasan  OJK  dalam  pelaksanaan  fintech  di  lapangan  juga  perlu  mendapat perhatian.  Pengawaan  OJK  dalam  melakukan  perlindungan  dan  pengawasan  dinilai kurang  intensif  sehingga  mengakibatkan problem menimbulkan beberapa  kasus  yang berdampak  terhadap  inklusif  keuangan.  Salah  satu  problem  di  masyarakat  adalah adanya  penarikan  intimidasi  yang  merupakan  lemahnya  perlindungan  terhadap konsumen. Rizal E. Halim, Koordinator Komisi Advokasi BPKN menyampaikan, “Pesatnya pertumbuhan penyedia layanan pinjam - meminjam uang berbasis teknologi informasi tersebut rupanya belum diimbangi dengan edukasi yang memadai kepada masyarakat, sehingga menimbulkan berbagai efek/resiko yang muncul dari banyaknya macam pinjaman online dan masih banyaknya ditemukan perusahaan penyelenggara yang tidak terdaftar atau illegal serta potensi bocornya data pribadi pengguna yang dapat disalahgunakan oleh perusahaan  penyelenggara atau pihak lain”.

Regulasi perlindungan konsumen financial technology

Saat ini ada 161 penyelenggara fintech lending  yang terdaftar/berizin di OJK, dan juga 2.486 penyelenggara fintech lending ilegal yang ditutup oleh satgas waspada investigasi (SWI). Oleh karena itu perlu aturan tegas mengenai pelanggaran dalam entitas financial technology. Peraturan yang mengatur fintech di Indonesia sampai saat ini diantaranya adalah POJK  No.  77/POJK.01/2016  tentang  Layanan  Pinjam  Meminjam  Uang  Berbasis Teknologi Finansial (POJK Fintech), PBI No. 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial (selanjutnya disebut PBI Fintech), PBI No. 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran, PBI No. 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik yang telah diubah dalam PBI No. 16/8/PBI/2014. Selain itu, perlu juga didukung dengan peraturan pendukung pelaksanaan fintech yang diantaranya berkaitan dengan perlindungan data penggunan data pribadi.

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan nasional dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara. Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen, serta tidak menafikan masih terbuka kemungkinan terbentuknya undang-undang baru yang pada dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen.

Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK), maka perlindungan konsumen, khususnya pada sektor jasa keuangan turut menjadi tanggung jawab OJK. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 4 UU OJK yang berbunyi:“OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:

(a) terselenggaranya secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;

(b) mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil;

(c) mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat.”

Untuk menjalankan tujuannya tersebut, maka Pasal 5 UU OJK menjelaskan fungsi dari OJK. Adapun Pasal 5 tersebut berbunyi “OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.”

Sedangkan, BPKN sebagai lembaga perlindungan konsumen juga memiliki peran dan kewajiban sesuai dengan undang-undang perlindungan konsumen antara lain pasal 3 ayat 1 sampai 3 yang berbunyi,

(1)  BPKN mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.

(2)  Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), BPKN mempunyai tugas :

a.     memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;

b.     melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;

c.     melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;

d.     mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;

e.     menyebarluaskan  informasi   melalui  media mengenai perlindungan 

konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;

f.      menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, ataupelaku usaha; dan

g.     melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.

Bentuk perlindungan konsumen OJK dan BPKN dalam lima jenis financial technology

            Secara umum, OJK memiliki beberapa regulasi yang mengatur mengenai financial technology, yakni (1) Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan, dikeluarkan sebagai ketentuan yang memayungi pengawasan dan pengaturan industri fintech, (2) POJK 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, dan (3) Nomor 21/SEOJK.03/2017 tentang Penerapan Manajemen Resiko Dalam Penggunaan Teknologi Informasi.

 

1.              Peer to peer landing

Perkembangan  globalisasi  yang  semakin  membuat  perubahan  besar  terhadap  segala aktivitas  yang  dilakukan  oleh  manusia  terutama di  bidang  teknologi.  Perkembangan  teknologi dari  tahun  ke  tahunnya  telah membawa  dampak  positif, khususnya dalam masalah ekonomi seperti financial technology atau sering disebut Fintech. Perkembangan Fintech  pada  saat  ini  dibantu  oleh  internet,  dengan  tumbuhnya  hal  tersebut  maka secara  pasti  mendorong  munculnya  banyak  perusahaan  start  up  dalam  sektor  keuangan dalam  hal  pinjaman  online  yang  berbasis  teknologi  informasi  atau  “fintech peer to peer Lending” atau biasa disebut P2P Lending.

            Dalam kegiatan pinjam meminjam tentu saja terdapat beberapa masalah. Mekanisme  dalam  penagihan  hutang  pada  penyelenggaraan  pinjaman  online  sering  sekali  menjadi  masalah  terutama  terhadap  konsumen  seperti  cara  penagihan  lewat  telepon  yang  dilakukan  dengan  kasar  dan  tidak  semestinya. mengenai penggunaan  pihak  ketiga  (debt collector)  dalam  penagihan  hutang,  adapun  hubungan pihak ketiga sebagai  debt collector  dengan penyelenggara pinjaman online  P2P Lending adalah selaku pihak yang menjadi penghubung dalam penagihan atas pinjaman gagal bayar  oleh  nasabah  selaku  penerima  pinjaman.

Dalam Penyelenggaraan P2P Lending sudah terdapat beberapa kasus yang meresahkan

konsumen selaku penerima pinjaman dana terutama terkait tingginya suku bunga dari  pinjaman dan cara penagihan yang merugikan konsumen akibat gagal bayar dengan melakukan  pencemaran  nama  baik  dan  hal  tersebut  sudah  dirasa  melanggar  aturan. Guna mendukung layanan keuangan Indonesia, sebagai Lembaga resmi yang ditunjuk oleh  OJK  lewat  surat  No.  S-5/D.05/2019  sebagai  asosiasi  yang  secara  resmi  dalam penyelenggaraan P2P Lending, lembaga ini diresmikan secara langsung oleh  OJK pada tanggal  5  Oktober  2018.”Asosiasi  Fintech  Pendanaan  Indonesia  atau  disingkat  AFPI memiliki  peran  penting  membantu  OJK  terutama  dalam  hal  pengaturan  kebijakan serta  pengawasan  terhadap  para  pelaku  usaha  yang  melakukan  kegiatan  usaha  pinjaman online  Fintech  P2P Lending  sesuai dengan  POJK Layanan  P2P Lending  dalam Bab XIII pasal 48.

Pihak  penyelenggara wajib dalam proses penagihan hutang atas pinjaman gagal bayar menerapkan prinsip good faith atau itikad baik, seperti:

a.  Prosedur  penyelesaian  dan  penagihan  hutang  yang  gagal  bayar  wajib diberitahukan kepada pihak pemberi dan juga pihak penerima pinjaman online oleh Penyelenggara pinjaman online

b.  Penyampaian  langkah-langkah  yang  ditempuh  dalam  penyelesaian  apabila terjadi  gagal  bayar  atas  pinjaman  uang  oleh  konsumen  selaku  peminjam  uang patut  untuk  diberitahukan  kepada  peminjam  yang  bersangkutan,  adapun langkah-langkahnya antara lain:

1.  “Pihak penyelenggara mengeluarkan surat peringatan untuk nasabah”

2.  “Restrukturisasi pinjaman atau perbaikan kegiatan perkreditan bagi debitur yang dirasa sulit untuk pemenuhan kewajibannya

3.  Saat terjadi gagal bayar, pihak penyelenggara melakukan korespondensi secara jarak jauh (desk collection) dengan konsumen selaku penerima pinjaman dana, korespondensi dilakukan melalui via telepon, email, ataupun dengan melalui bentuk-bentuk percakapan lainnya;

4.    Pihak penyelenggara wajib untuk memberitahukan sebelumnya mengenai kunjungan atau komunikasi melalui debt collector;

5.    Pinjaman yang dihapuskan.

c.  Sertifikasi untuk para  debt collector  P2P sebagai pihak ketiga penagih hutang  wajib dimiliki  seluruh  karyawan  internal  debt collector”,  dan  sertifikasi  agen  penagihan harus dikeluarkan dengan mekanisme serta seleksi yang ketat oleh AFPI;

d.  Apabila  sudah  jatuh  tempo  dan  melewati  sembilan  puluh  hari  maka  tidak diperkenankan  untuk  menagih  hutang  secara  langsung  kepada  nasabah  yang gagal  untuk  membayar  pinjamannya  kepada  pihak  penyelenggara  secara langsung;

e.  Sebagai  Pihak  penyelenggara  pinjaman  online  fintech  P2P  Lending  wajib  untuk melakukan pemberitahuan terhadap peminjam  risiko  secara rinci tentang  hal apa saja  yang  akan  diterima  ke  depannya  apabila  mereka  tidak  menyelesaikan kewajibannya sampai selesai.

f.  Kepentingan  Konsumen  selaku  pemberi  pinjaman  dan  konsumen  penerima pinjaman  dana  wajib  diperhatikan  oleh  pihak  penyelenggara  pinjaman  online fintech  P2P  Lending  dalam  melakukan  prosedur  penyelesaian  dan  penagihan kepada masing-masing pihak.

Dalam  Hukum perlindungan konsumen yang diatur di Indonesia, hanya menjelaskan pihak  orang/badan  usaha  yang  melakukan  kegiatan  usaha  di  wilayah  Indonesia disebut  sebagai  pelaku  usaha, yang  apabila  dikaitkan  dengan  pinjaman  berbasis teknologi informasi yang  dalam hal ini adalah platform dari Fintech P2P Lending itu sendiri harus berbentuk badan hukum Perseoran Terbatas atau Koperasi. Pelaku usaha dalam  menjalankan  kegiatannya  sudah  tentu  memerlukan  orang  lain  agar  timbul suatu perjanjian, karena perjanjian merupakan kesepakatan yang sifatnya timbal balik.

2.              Crowdfunding

Perkembangan finansial teknologi saat ini telah memberikan opsi penjualan saham oleh perseroan terbatas kepada masyarakat secara luas guna mendapatkan dana bagi perusahaan tanpa melalui penawaran umum saham (initial public offering) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.8 Teknologi informasi menciptakan inklusifitas layanan keuangan sehingga akses atas produk maupun layanan keuangan menjadi sangat beragam. Salah satu inovasi teknologi dalam industri jasa keuangan, yang dapat digunakan masyarakat adalah Layanan Urun Dana melalui penawaran saham berbasis Teknologi Informasi, atau yang lebih dikenal dengan Layanan Urun Dana (Equity Crowdfunding)

Crowdfunding merupakan praktik yang melibatkan banyak orang dalam penggalangan dana guna memenuhi kebutuhan finansial bisnis atau kegiatan tertentu dengan menggunakan teknologi internet. Dana yang terkumpul atas penyelenggaraan crowdfunding tersebut dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti penyelesaian proyek tertentu, donasi kegiatan kemanusiaan, dan lainnya. Crowdfunding dalam hal ini terdapat beberapa macam diantaranya donation based crowdfunding, reward based crowdfunding, lending based crowdfunding, equity based crowdfunding.  

Terdapat tiga pihak yang terlibat dalam equity crowdfunding, yakni penerbit,   penyelenggara, dan pemodal (investor). Penyelenggara dalam POJK No. 57 tahun 2020 dapat melaporkan penerbit apabila melakukan pelanggaran dalam laporan sebagaimana tercantum dalam pasal 23 ayat (1) nomor 2 huruf c dan d, yakni :

c.       laporan pengaduan Pengguna disertai dengan tindak lanjut penyelesaian pengaduan jika terdapat pengaduan;

d.       laporan pelanggaran Penerbit dan tindakan yang telah dilakukan Penyelenggara atas pelanggaran Penerbit, jika Penerbit melakukan pelanggaran;

Selain itu terdapat pula aspek perlindungan konsumen lain yang diberikan oleh OJK. Diantaranya penyelenggara wajib menerapkan prinsip dasar perlindungan pengguna, penyelenggara wajib melaksanakan kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan, penyelenggara juga dilarang untuk memberikan data dan/atau informasi mengenai pengguna dan/atau calon pengguna kepada pihak ketiga dan menetapkan persetujuan pengguna dan/atau calon pengguna sebagai persyaratan penggunaan layanan urun dana.

3.     Payment, settlement and clearing

Terdapat  beberapa startup finansial  yang sering menyediakan payment gateaway atau e-wallet yang  mana  kedua  produk  tersebut masih   masuk   dalam   kategori payment, clearing, dan settlement. Antara lain, shopee pay, ovo, go-pay dan lain-lain. Termasuk juga bitcoin dan bank-bank yang menyediakan system online. Pengguna e-wallet dilindungi oleh Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen pertanggung jawaban pelaku usaha diatur pada bab VI yang dimulai dari Pasal 19 sampai Pasal 28. Hal-halsubstansial yang diatur dalam bab VI ini adalah pertanggung jawaban pelaku usaha untuk memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian kon- sumen akibat mengkonsumsi barang dan/ atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Hak konsumen terletak pada tertuang dalam UndangUndang perlindungan konsumen pada bab III mengenai hak dan kewajiban konsumen Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi

“hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.”

            Dengan adanya revolusi industry 4.0, maka tidak dapat dielakkan bahwa masyarakat harus mengikuti era digitalisasi. Termasuk didalamnya penggunaan financhial technology, namun, banyak dari pengguna maupun calon pengguna yang merasa takut terhadap pelanggaran yang akan terjadi. Akan tetapi, bagi konsumen financial technology sebenarya terdapat berbagai perlindungan. Bahkan untuk saat ini, pengaduan dapat dilakukan di OJK maupun di BPKN. Dengan adanya regulasi terkait, maka konsumen dapat merasa tenang apabila melakukan transaksi financial technology.

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Anggun Lestari, Deka, Endah Dewi Purnamasari, Budi Setiawan (2020) “Jurnal Manajemen SDM” vol 1 no 1, Pemasaran, dan Keuangan, Pengaruh Payment Gateway terhadap Kinerja Keuangan UMKM, Palembang, Sumatra Selatan

 

Ardiansyah, Tedy (2019) “Jurnal Majalah Ilmiah Bijak” Model Financial dan Teknologi (Fintech) Membantu Permasalahan Modal Wirausaha UMKM di Indonesia, vol 16 No. 2 jakarta

 

Dakum dan Aang Asari, “Jurnal Borobudur law Review” Vol. 2 No. 1 ‘Urgaensi Pembentukan Undang-Undang Fintech sebagai Upaya Legalisasi Penyelesaian Sengketa Transaksi Fintech di Indonesia, Magelang, Jawa Tengah

 

Dhian Novita, Yustina dan Budi Santoso (2021) “Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia” Vol 3 No. 1 Urgensi Pembaharuan Regulasi Perlindungan Konsumen di Era Bisnis Digital Semarang, Jawa Tengah

 

Dwi Pambudi, Rakhmat, (2019) “Jurnal Harmony” vol 4 no. 2  Perkembangan Fintech di Kalangan Mahasiswa UIN Walisongo, Semarang

 

Erie Hotman H Tobing dan Adrian (2020) “Jurnal Manajemen dan Bisnis Jayakarta” Volume 1, No. 2, Fintech Era and Govermet Regulation

 

Hartanto, Ratna (2020) “Jurnal  Hukum  Ius  Quia  Iustum  Faculty  of  Law” Volume  27, Hubungan Hukum Para Pihak Dalam Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi, Yogyakarta,

 

Noviana, Veronica (2020) “Jurnal Magister Hukum Udayana” Perlindungan Konsumen dari Penyebarluasan Data Pribadi oleh Pihak Ketiga : Kasus Fintech Peer to Peer Landing, Bali

 

Nugroho, Arief Yuswanto dan Fatichatur Rachmaniah (2019) “Jurnal ekonika” Vol. 4 No.1 fenomena perkembangan crowdfunding di Indonesia, Lamongan

 

Nur Sugiarti, Evy, Nur Diana, M. Cholid Mawardi (2019) “Jurnal E-JRA” Vol. 08 No. 04 Agustus, Peran Fintech dalam Meningkatkan Literasi Keuangan Pada Usaha Mikro Kecil Menengah di Malang, Malang

 

Sya'bani Nurul Jannah, Ulfah, Eva Misfah Bayuni, Panji Adam Agus Putra (2020) “jurnal Prosiding Hukum Ekonomi Syariah, Volume 6, No. 2 Tinjauan Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap Sistem Keamanan pada Dompet Elektronik.



 

No comments:

Post a Comment

Terimakasih atas kunjungan dan komentarnya, semoga informasi kami bermanfaat

Implementasi Lisensi Wajib TRIPs Agreement dalam Produk Pharmacy di Brazil

  picture: https://www.exyip.com/2021/06/24/how-the-trips-agreement-impacts-global-intellectual-property-policies/ A.     Pendahuluan Perj...